13 February 2023, 12:00 WIB

Manis Getir Masa Remaja di Dear David


Fathurrozak |

Sutradara Lucky Kuswandi bermain dengan kejenakaan dalam film remaja terbaru, Dear David. Berkisah tentang Laras (Shenina Cinnamon), siswi berprestasi di sekolahnya yang tersandung skandal cerita sensual tentang teman segereja dan sekelasnya, David (Emir Mahira). 

Fantasi-fantasi Laras tentang David, selama ini hanya tersimpan di draf personal media sosialnya. Sampai suatu ketika saat ia mengakses komputer sekolah, cerita-cerita fantasinya menjadi viral akibat ada yang mengunggahnya. Titik itu menggulirkan konflik film.

Identitas Laras belum terungkap karena nama akunnya menggunakan nama alter. Tapi, Davidlah yang kemudian jadi sorotan di sekolahnya. Siswa biasa-biasa itu mendadak jadi ‘bintang.’

Ide tentang fiksi fan (fan-fiction), yang biasanya ditulis oleh para fan untuk para idola figur publik mereka menjadi hal paling dekat dengan generasi penonton dengan usia yang lebih muda. Terinspirasi itu, naskah yang ditulis Winnie Benjamin dan Daud Sumolang, punya kesolidan yang mampu dieksekusi dengan apik oleh Lucky Kuswandi dan disampaikan dengan prima oleh para pemerannya.

Secara terampil, Winnie memberikan dialog-dialog jenaka secara lugas dalam keseharian. Misal, saat David menanyakan isi risoles dan pastel, dagangan Laras, usai ibadah di gereja, yang disahuti, “Emangnya lo enggak pernah makan risoles?”

Dari perspektif Winnie, ia juga mampu memberikan sudut perempuan yang lebih peka dan menghadirkan pengadeganan yang dieksekusi Lucky menjadi adegan dengan lensa "kevulgaran" dan sensualitas sudut pandang perempuan: soal fantasi-fantasi Laras, atau sesimpel adegan kecil mandi bareng antara Laras dan Dilla (Caitlin North Lewis). Suatu adegan yang bisa muncul apik jika itu memang ditulis dan ditangkap dengan sudut perempuan. 

Dear David juga banyak mengingatkan pada film pendek Sleep Tight, Maria (2015, Monica Tedja). Tentang Maria, remaja yang dibesarkan di keluarga dan sekolah Katolik yang memiliki ritual masturbasi menjelang tidur. Di film itu, Monica juga banyak menghadirkan visual fantasi-fantasi Maria lewat ritual masturbasinya.

Laras juga demikian, dalam bentuk ritual menuliskan cerita-cerita fiksi-fan (fan-fiction). Bentuk yang mungkin kini lebih lazim dan banyak ditemukan, atau dilakukan oleh remaja di masa kini dalam berbagai nama akun alter mereka di media sosial. Atau bahkan bukan saja oleh remaja.

Lucky Kuswandi dengan baik mengeksekusi naskah Winnie dan Daud menjadi efektif. Cerita remaja (coming of age) yang memiliki sisi kejenakaan, tragis, dan menjadi lebih dekat (tak berjarak) dari subjrk karakter yang ada di cerita. Latar karakter yang dibangun, juga menjadi tawaran yang bagus sebagai representasi keberagaman dalam produk kebudayaan populer film. 

Laras tumbuh di keluarga keturunan Tionghoa Kristen yang cukup taat. Setidaknya itu tecermin dari lagu-lagu rohani Kristen yang dilantunkan ibu Laras (Maya Hasan) baik saat di dapur atau saat mengerjakan pekerjaan domestik. Keduanya juga rajin ibadah di gereja. Meski, secara latar belakang juga masih menggunakan arketipe keluarga Tionghoa Indonesia. Ibu Laras punya toko bangunan.

Tapi dengan kehadiran latar belakang ini memberikan keberagaman representasi yang muncul di film-film remaja kita, yang secara dominasi kerap kali karakter-karakternya dari latar belakang muslim-Jawa.

Pemilihan pemeran juga menjadi salah satu hal krusial di film ini. Baik Shenina, Emir, dan Caitlin, memberikan penampilan yang  meyakinkan. Melihat persahabatan antara Laras dan Dilla, melahirkan perasaan hangat. Hubungan keduanya memberikan dinamika emosi dan perkembangan karakter yang bertumbuh. 

Sebagai dua sahabat yang sedang mengalami keretakan dan menemukan titik balik hubungan mereka lagi, hingga penerimaan keduanya terhadap kesalahan yang dibuat dan keterbukaan secara utuh. Lucky juga dengan manis memberikan ruang saat Dilla melela pada Laras, dan bagaimana penerimaan Laras terhadap Dilla adalah ruang aman yang dibutuhkan. Menegaskan sikap sutradara pada keberagaman gender dan orientasinya, yang juga itu meneruskan sikapnya itu seperti di Madame X (2010) atau Selamat Pagi, Malam (2014).

Melelanya Dilla itu, bukan saja kemudian hanya sebagai tempelan. Sebab Lucky lalu memilih opsi untuk mempertemukan karakter tersebut dengan karakter perempuan lain pada babak akhir film. Suatu yang juga bukan menjadi sikap abu-abu terhadap pilihan ekspresi dan keberagaman gender di filmnya.

Dinamika Shenina dan Emir, juga sejalan memberikan performa yang baik untuk keutuhan film. Perjalanan kedua karakter dari polar yang berjauhan ke titik temu yang lebih mendekatkan juga secara manis dihadirkan keduanya sebagai remaja yang tengah mengeksplorasi diri, mengenali perasaan cinta, saling kagum, cemburu, dan menghadapi ketakutan konflik.

Studio produksi Palari Films yang memproduksi Dear David, sebelumnya juga pernah memproduksi film yang berfokus pada genre coming of age, Posesif (2017), disutradarai oleh Edwin. Di film itu, mungkin secara tema dan nuansa film lebih kelam karena bahasan hubungan cinta toksik remaja. Di Dear David, memang irisan problematika sosial masih jadi salah satu pilihan yang muncul. Seperti bagaimana institusi sekolah yang mengurusi ruang privat para murid mereka, dan upaya membersihkan nama baik dari skandal-skandal yang menyeret mereka. Juga soal bagaimana jebakan-jebakan media sosial menjadi peer pressure bagi kehidupan remaja saat ini. 

Namun, meski berbagai ketragisan yang dilalui para karakter di filmnya, Dear David memberikan kehidupan remaja yang manis. Tentang eksplorasi, penerimaan diri, romansa, dan persahabatan. Dear David menjadi salah satu film terbaik Lucky Kuswandi.

Film Dear David tayang di Netflix mulai 9 Februari.

BERITA TERKAIT