Meski Buya Syafii Maarif telah wafat pada Mei tahun ini, tetapi buah pemikirannya akan terus lestari. Terlebih dengan diterbitkannya tiga buku baru dari tulisan-tulisannya. Tiga buku itu berjudul Bulir-bulir Refleksi Sang Mujahid (Kompas), Indonesia Jelang Satu Abad, Refleksi tentang Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan (Mizan), dan Al-Quran Untuk Tuhan Atau Untuk Manusia? (Suara Muhammadiyah). Ketiganya diterbitkan pertama kali secara bersamaan pada 27 Oktober 2022.
Direktur Eksekutif Maarif Institute Abd. Rohim Ghazali, mengatakan buah pikiran mendiang Buya Syafii merupakan hal yang harus terus digaungkan agar dapat tersampaikan pada publik secara luas. Pemikirannya tentang ke-Islam-an, kebangsaan, kemanusiaan, keberagaman, hingga keadilan sosial menjadi warisan tak ternilai bagi bangsa Indonesia.
"Penerbitan ini, tentu merupakan usaha keras untuk merekam riwayat intelektualisme Buya Syafii yang selama ini berkembang di ruang publik. Kami berharap kehadiran ketiga buku ini dapat memberikan sumbangan dalam memperkaya khazanah Islam Indonesia,” kata Rohim dalam sambutan peluncuran dan diskusi tiga buku karya Buya di Bentara Budaya, Jakarta, Kamis, (27/10).
Wartawan senior Kompas, Budiman Tanuredjo, melihat sosok Buya adalah pribadi yang selalu gelisah dengan permasalahan bangsa. Dalam kumpulan tulisan Buya di buku Bulir-bulir Refleksi Seorang Mujahid, Buya selalu memiliki diksi yang kuat. Buku itu merupakan kumpulan tulisan Buya di Kompas dalam rentang sedekade (2011-2021), berjumlah sekira 37 judul.
“Dari sisi komunikasi, saya melihat tulisan Buya di buku ini semacam sistem pengingat dini bahaya yang mengancam republik. Pilihan katanya yang indah tapi terus terang dan lugas,” kata Budiman.
Sementara itu guru besar UIN Jakarta, Profesor Musdah Mulia menambahkan, ada sisi yang seharusnya kini lebih ditonjolkan mengenai sosok Buya. Di tengah aparatur negara, politikus, dan figur publik saling berlomba menunjukkan kehidupan mewah, sosok Buya bisa menjadi teladan tentang kesederhanaannya.
“Dia (Buya) adalah sosok yang sangat sederhana. Menurut saya penting hal itu dikemukakan di situasi sekarang ini ketika kehidupan bermewah-mewah ditunjukkan para aparat negara. Dia adalah muzahid, perilaku zuhud-nya (sederhana) kurang banyak diangkat,” kata Profesor Musdah.
Musdah mengatakan, ketika ia membaca buku berjudul Al-Quran untuk Tuhan atau Manusia, dia merasa tergugah. Di buku tersebut, ia juga melihat sebelum Buya mengkritik orang lain, ia juga mengkritik dirinya sendiri.
(M-4)