20 September 2022, 09:35 WIB

Kisah Pelestari Anggrek di Lereng Merapi


Devi Harahap |

Gunung Merapi yang mengalami erupsi cukup dahsyat pada 1994 tidak hanya dan memakan korban jiwa. Letusan itu juga ikut merusak habitat asli anggrek hutan di kawasan lereng selatan gunung yang berada di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut.

Salah seorang pria asal Yogyakarta, Musimin tidak tinggal diam melihat kerusakan itu. Dia berinisiatif menyelamatkan beberapa sisa varietas anggrek hutan yang masih selamat. Sudah lebih dari 25 tahun dia membudidayakan anggrek hutan demi kelestarian tanaman tersebut.

Pria 56 tahun yang bekerja sebagai petani ini adalah seorang konservasionis otodidak dalam tumbuhan anggrek. Meski tak pernah mengenyam latar belakang pendidikan formal dalam bidang botani, dia telah mendedikasikan dirinya untuk membudidayakan tanaman yang dia bandingkan setara dengan batu permata.

Musimin pun jadi tahu nama-nama latin dari jenis anggrek, bagaimana cara mengembangbiakkan di habitatnya dengan baik, hingga mengetahui jenis-jenis anggrek beserta cara hidup anggrek yang berbeda-beda.

Musimin membudidayakan anggrek hutan Gunung Merapi di halaman rumahnya. Dia juga telah menjalankan misi pelestarian lingkungan dan mengajak semua orang menyelamatkan bunga eksotis yang unik yang terletak di tanah pinggiran Yogyakarta ini.

Pada 1996, Musimin mulai mengembangbiakkan tujuh spesies anggrek. Setelah itu, tepatnya pasca-erupsi Merapi 2010, Musimin kembali belajar banyak tentang anggrek bersama dengan seorang peneliti tanaman ini, Sulistyono.

"Saya ingat anggrek dulu melimpah di hutan," katanya seperti dilansir dari AFP pada  Senin (19/9).

"Penduduk setempat dari desa-desa sekitar dapat mengambil anggrek apa pun yang mereka inginkan, dan mereka menjual bunganya di tujuan wisata terdekat."

Namun tanaman anggrek hutan banyak yang rusak akibat awan abu letusan gunung Merapi. Musimin pun mulai menyelamatkan kekayaan endemik hutan yang layu tersebut. Selama bertahun-tahun dia membangun dua rumah kaca bambu (green house) di mana dia bisa melestarikan ratusan jenis anggrek dan dapat dibiakkannya menjadi berlipat.

Dia tak lelah keluar masuk hutan untuk mencari anggrek liar yang masih tersisa dan membudidayakannya di rumah kaca, untuk kemudian dikembalikan lagi ke alam.

Letusan Merapi telah menewaskan sekitar 60 orang dan menghancurkan ribuan hektare hutan ketika erupsi pada tahun 1994. Letusan lain pada tahun 2010 menewaskan lebih dari 300 orang dan mendatangkan malapetaka di sejumlah desa.

"Hutan di dekat rumah saya terbakar kering dan anggrek yang biasa saya temukan hilang. Saya menyesal tidak memelihara satu atau dua dari mereka," kata Musimin mengingat tentang tragedi Merapi 1994.

Hal itu mendorongnya untuk bergabung bersama pemerintah setempat dalam upaya menemukan beberapa anggrek yang masih hidup pasca erupsi tersebut. Dia dan beberapa tentangga serta pemerintah setempat menjelajahi hutan dan mencari anggrek yang masih tersisa. Hingga saat ini, Musimin telah berhasil mengumpulkan setidaknya lebih dari 90 spesies anggrek endemik Merapi.

Pelopor konservasi

Sekarang Musimin lebih banyak bekerja sendiri dan menginginkan agar bunga anggrek bisa kembali ke habitat aslinya di hutan, dia lebih memilih untuk membiarkan anggrek bermekaran di hutan atau di kebun daripada mencoba menjual dan mengambil keuntungan darinya.

Bunga anggrek yang dia budidayakan tentu menarik perhatian para kolektor bunga. Tapi, Musimin punya kebijakan tegas menolak orang-orang yang mau membelinya meskipun harga yang ditawarkan fantastis.

“Sekarang banyak orang memilih untuk memetik dan menjual anggrek dari hutan. Menurut saya pribadi anggrek lebih baik di habitatnya, di mana mereka bisa hidup sebagai mahkota hutan,” katanya.

Meski menolak jual beli bungga anggrek, menariknya, Musimin membuka sistem adopsi anggrek bagi masyarakat sejak. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara mengajak masyarakat untuk turut serta dan berkontribusi dengan melakukan konservasi lingkungan.

Konsepnya pun cukup unik karena masyarakat diminta untuk memilih anggrek spesies Merapi yang akan dilepas di hutan dan memberikan dana perawatan kepada Musimin. Jadi, anggrek tidak dibawa pulang, tapi dikembalikan ke habitatnya dalam hutan biar tetap lestari.

Juru bicara Taman Nasional Gunung Merapi, Akhmadi mengatakan bahwa Pusat anggrek lain yang dijalankan oleh penduduk setempat yang belajar tentang konservasi dari Musimin telah bermunculan di hutan sekitar gunung berapi,

“Dia memang pelopor konservasi anggrek di Gunung Merapi. Karya dan dedikasinya menjadi contoh bagi kelompok-kelompok lain yang bekerja sama dengan kami, banyak juga dari mereka yang telah mengembangkan dan meniru lebih lanjut program-program Musimin,” katanya.

Semangat dan antusias masyarakat yang kini telah berpartisipasi dalam upaya pelestarian lingkungan, menjadikan ayah dua anak ini ingin melanjutkan warisan penyelamatan anggreknya dengan mengajarkan tentang pengetahuan botani otodidak kepada cucunya yang sering ia bawa ke hutan.

"Saya sudah memperkenalkan anggrek kepada cucu saya sedini mungkin.Siapa tahu, dia bisa menjadi penerusku," ujarnya. (M-4)

BERITA TERKAIT