06 August 2022, 07:45 WIB

Pemberontakan untuk Dunia Baru Dropadi


Pro/M-2 |

Meski tak pernah absen dalam kisah-kisah epos Mahabharata, Dropadi hampir selalu hanya memiliki porsi kecil di dalamnya. Padahal, ia memiliki peran penting dalam keseluruhan kisah Bharatayuda.

Kegelisahan akan hal itu memicu penulis Triyanto Triwikromo untuk merombak kisah tentang Bharatayuda dalam novel barunya, Pertempuran Lain Dropadi.

“Saya merombak kisah tentang Dropadi yang telah ada selama ini. Saya benar-benar melakukan perombakan,” ujat Triyanto dalam diskusi virtual di platform Instagram Penerbit KPG, Kamis (21/7).

Dijelaskan Triyanto, Pertempuran Lain Dropadi menceritakan pertempuran agung keluarga Bharata dengan Dropadi sebagai tokoh sentral. Namun, berbeda dengan novel Istana Khayalan karya Chitra Divakaruni yang juga menjadikan Dropadi tokoh utama, narasi pada novel Triyanto dituturkan oleh pencerita yang dianggap gila, yakni Dewi Sarasvati.

“Karena kalau Dropadi menceritakan dirinya sendiri, cerita akan terkesan penuh dengan ego pribadi Dropadi. Keseluruhan kesan cerita akan sangat berbeda ketika saya menggunakan sudut pandang Dropadi sendiri dalam cerita,” ujarnya.

Sarasvati menceritakan sosok Dropadi sebagai seorang yang mungkin tak pernah terbayangkan oleh para pembaca Mahabharata sebelumnya. Bukan Dropadi yang tidak bisa apa-apa, melainkan perempuan perkasa yang memicu pertempuran akbar di Kurusetra. Ia juga berjuang menegakkan martabat dan akhirnya menjadi bagian terpenting dari Perang Bharatayuda.

“Dropadi merupakan tokoh penting dalam Mahabharata, tapi sayang ruang ekspresinya sangat sedikit. Rata-rata kisah Dropadi hanya menyoroti bagaimana Dropadi dikorbankan dalam perjudian. Saya merasa ia butuh ruang untuk kisah hidupnya sejak lahir hingga akhir hidupnya,” tutur Triyanto.

Sebagai penikmat cerita-cerita Mahabharata, lanjutnya, ia merasa tak puas dengan kehadiran kisah Dropadi dalam berbagai teks yang ada selama ini. Ketidakpuasan itu yang membuatnya melakukan pemberontakan dengan merancang ulang dunia baru untuk Dropadi.

Salah satu hal 'nyeleneh' yang direka Triyanto ialah tentang kondisi mata Dropadi. Dalam teks atau buku-buku lainnya, kata dia, tak akan ada pembaca menemukan Dropadi yang terkadang buta atau hanya bisa melihat satu pertiga bagian.

Kebutaan Dropadi itu membuat cerita jadi lebih menarik. Pembaca akan dibuat penasaran tentang bagaimana sosok Dropadi yang buta tetap bisa hadir begitu kuat dan berpengaruh besar dalam keseluruhan kisah karangan Triyanto.

“Bagaimana saya menuliskannya dalam perspektif orang buta itu yang menjadi tantangan buat saya. Ini jadi semacam sebuah teks metafor, melihat dari perspektif orang buta itu kias. Di mana dunia yang riuh rendah dengan pertempuran, kehancuran, dan keriuhan kekuasaan dipandang dari sudut pandang perempuan, perempuan buta pula,” ujar Triyanto.

Pertempuran Lain Dropadi pun sengaja ia buat penuh dengan perombakan atau dekonstruksi dari cerita-cerita Bharatayuda yang telah ada. Hal itu disebutnya sebagai keutamaan yang paling ia tonjolkan dalam buku karangannya ini.

“Konstruksinya sudah saya acak sedemikian rupa. Pembaca Mahabharata yang asli pasti reaksinya akan beragam. Ada senang mungkin, ada yang tidak setuju, ada yang marah,” ujarnya.

Triyanto mengatakan, selama ini mungkin orang tak bisa membayangkan bagaimana Dropadi ikut berperang, apalagi dalam kondisi buta. Dalam teks-teks lain tak ada yang menceritakan bahwa Dropadi ikut bertempur.

“Meski begitu, tetap saya hadirkan kisah yang masuk akal dalam setiap adegannya,” ujar Triyanto.

Tak hanya menciptakan sebuah kisah yang seakan menjadi dunia baru bagi sosok Dropadi, Triyanto juga seperti menghadirkan sebuah kisah berbeda tentang Bharatayuda. Sisi lain dari kisah perang tersebut akan dihadirkan dengan cara yang lebih feminis.

“Karena begitu perspektif diubah, dunia akan berubah semua. Begitu perspektif diubah maka pertempuran Bharatayuda akan berubah. Orang akan melihat perspektif Bharatayuda dari sisi yang lain,” tuturnya.

Hal lain yang juga membuat buku karangannya terlihat sekali berbeda ialah pemilihan penggunaan nama Dropadi, bukan Drupadi. Ia mengatakan sengaja memilih nama Dropadi agar ada kesan pembaruan dalam sosok sang dewi.

“Tidak ada perbedaan sebenarnya dalam konteks makna. Saya memilih pakai Dropadi sebenarnya sebagai bagian dari pemberontakan atau penanda baru. Penanda baru harus muncul dengan tanda baru, maka saya pilih Dropadi, bukan Drupadi,” ujar Triyanto.

Dalam proses kreatifnya menulis Pertempuran Lain Dropadi, Triyanto mengaku melakukan banyak riset. Termasuk membaca banyak buku yang memuat sosok Dropadi, meski hanya sekilas.

“Saya sangat dibantu oleh beberapa bacaan tentang Mahabharata dalam menulis buku ini. Terutama saya termotivasi oleh buku Perempuan-perempuan Mahabharata yang menunjukkan seharusnya ada ruang lebih bagi Dropadi,” ujar Triyanto.

Pertempuran Lain Dropadi juga disebut Triyanto sebagai ruang bagi kisah perempuan di era tersebut yang jarang terbangun secara utuh. Sebuah perspektif yang tak kalah penting, tapi sering terabaikan dalam kisah-kisah Mahabharata.

“Teks ini saya buat sebagai ruang bagi perempuan dan tentang perempuan. Dalam proses membuatnya saya reading as a woman dulu baru kemudian writing as a woman. Jadi saya menempatkan diri untuk masuk dalam diri keperempuanan untuk memunculkan kisah ini,” tutur Triyanto.

Ia berharap bukunya bisa menjadi jawaban dan pemuas dahaga para penggemar kisah Mahabharata yang haus akan perspektif yang lebih beragam. Khususnya dari perspektif perempuan yang penuh akan unsur feminis yang menggairahkan keseluruhan cerita. (Pro/M-2)

 

Judul : Pertempuran Lain Dropadi

Pengarang : Triyanto Triwikromo

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Tahun : 2022

BERITA TERKAIT