Letusan Gunung Api Tonga yang terjadi pada awal tahun secara resmi telah dikonfirmasi sebagai letusan eksplosif terbesar abad 21. Hasil tersebut berdasarkan beberapa analisis data yang cermat.
Letusan gunung berapi ini terbilang sangat dahsyat karena gunung berapi bawah laut ini mengeluarkan material sekitar 10 kilometer kubik dalam volume, serta menghasilkan gelombang kejut atmosfer yang mengelilingi dunia beberapa kali.
Bahkan letusan Gunug Berapi Tonga ini menghasilkan gumpalan abu setengah ukuran Prancis, letusan itu setara dengan kekuatan bencana tahun 1991 letusan Gunung Pinatubo di Filipina. Seperti dikutip dari Science Alert, Jum’at (22/4).
Para peneliti menggunakan algoritma yang baru dikembangkan untuk mengidentifikasi skala letusan Tonga, diketahui peringkat Volcanic Explosivity Index (VEI) untuk ledakan itu ditetapkan pada skala 6 dan skala letusan seperti itu terjadi setiap 50-100 tahun sekali.
Peneliti menggunakan algoritma baru yang dikembangkan untuk mengidentifikasi skala letusan gunung berapi bawah laut Tonga. Penggunaan algoritma ini, dalam mengidentifikasi letusan eksplosif terbesar di abad 21 dari gunung berapi Tonga ini, secara signifikan mengurangi jumlah pekerjaan lapangan dan pengukuran langsung yang diperlukan.
Algoritma seperti ini berpotensi sangat berguna, mengingat banyak letusan terjadi di lokasi terpencil yang tidak memiliki banyak peralatan di sekitar untuk mengukur peristiwa secara langsung.
Apa yang para ilmuwan miliki sekarang adalah jaringan luas yang terdiri dari ratusan stasiun pemantauan seismik. Hal ini dapat dengan sangat cepat menangkap gaung di tanah, bahkan melintasi jarak yang jauh.
Gelombang seismik inilah yang digunakan pendekatan baru ini untuk menghitung ukuran letusan yang dihasilkan Gunung Tonga. Berdasarkan studi ini, disebutkan bahwa letusan gunung Tonga terbesar di abad 21.
Selain itu, algoritme dapat memperkirakan ukuran letusan gunung berapi seperti yang terjadi pada Gunug Tonga, hanya dalam waktu satu jam jika tersedia cukup data. Hal tersbeut tentunya dapat membantu menilai ukuran awan abu yang dihasilkan dan bagaimana awan itu dapat memengaruhi lingkungan di sekitarnya.
Letusan Gunung Tonga terjadi pada Januari 2022. Letusan gunung berapi bawah laut ini telah menghancurkan 90% pulau Hunga Tonga Ha'apai yang tidak berpenghuni, yang dengan sendirinya baru muncul pada 2015 setelah letusan lain yang lebih kecil.
Para ahli berpikir cara gunung berapi meledak langsung ke air laut daripada ke udara terbuka mungkin ada hubungannya dengan skala ledakan berikutnya dan juga kekuatan dan jarak yang ditempuh dari tsunami berikutnya.
“Letusan Gunung Tonga tak dapat diperkirakan dengan cepat dengan algoritma pemantauan standar. Ini menekankan perlunya mengembangkan pendekatan baru untuk analisis observasi instrumental. Ini menekankan perlunya mengembangkan pendekatan baru untuk analisis observasi instrumental,” tulis para peneliti dalam makalah yang diterbitkan.
Meski begitu, para peneliti mengakui algoritme yang mereka kembangkan saat ini masih “kerangka kerja sederhana” untuk saat ini yang dapat disempurnakan dalam banyak cara di masa depan.
Namun untuk sementara algoritma sudah dapat membuat perhitungan secara real time tanpa banyak adanya komputasi. Akan tetapi, apabila terdapat lebih banyak lagi data yang dikumpulkan, maka algoritma pun makin dapat lebih ditingkatkan.(M-4)