PANDEMI covid-19 sedikit banyak memengaruhi proses konsultasi dan pendampingan korban kekerasan seksual yang dilakukan LBH APIK Jakarta. Direktur LBH APIK Siti Mazumah mengatakan periode setahun belakangan menjadi pelajaran bagi dirinya dan lembaga tersebut.
Proses yang biasanya berlangsung tatap muka langsung kini, seperti banyak kegiatan lain, beralih ke platform daring. “Dalam pandemi ini, soal interaksi manusia, kan, jadi berubah. Keputusan kami dalam memberikan layanan daring berdasar pertimbangan yang sangat matang. Bagaimanapun, kami perlu tetap memberikan keamanan ke para pengacara juga agar tidak tertular oleh covid-19. Tapi, ada juga beberapa kasus yang harus kami dampingi secara langsung,” kata perempuan yang akrab disapa Zuma itu saat berbincang dengan Media Indonesia via telepon, Kamis (2/12).
Situasi pandemi, menurutnya, juga sempat berdampak pada tutup sementaranya layanan konseling. Pasalnya, ketika gelombang kedua melanda pada medio Juli-Agustus, tim LBH APIK bahkan ada yang terpapar positif hingga 10 orang.
Meski begitu, pihaknya membuat satu capaian tersendiri pada masa pandemi dengan menyediakan rumah aman milik sendiri. Tidak lagi merujuk pada rumah aman yang dikelola lembaga lain.
“Dalam perjalanan pendampingan LBH APIK Jakarta, kami memberikan layanan daring, rumah aman, dan juga banyak melakukan mediasi-mediasi lewat daring. Jadi, setahun ini benar-benar dipaksa untuk melakukan pelayanan secara maksimal,” ucapnya.
Layanan daring sejatinya memperluas akses bagi korban kekerasan untuk mencari bantuan. Meski begitu, Zuma tidak menampik, masih banyak anggota masyarakat di Tanah Air yang mengalami kesulitan karena tidak memiliki ponsel, misalnya, terlebih masyarakat yang tinggal di daerah pelosok.
“Ketika saya berdiskusi dengan para hakim di MA, mereka memang juga mengutarakan bagaimana para hakim di Indonesia, di pelosok sana itu, menceritakan susahnya mengakses layanan pendamping korban. Itu hakim, lo, sampai kesulitan. Bagaimana dengan korban yang tidak bisa gunakan ponsel pintar?”
Oeh karena itu, dirinya tetap menyarankan para lembaga penyedia bantuan hukum agar bisa melakukan lebih banyak sosialisasi dan tidak hanya menyediakan layanan daring sebagai satu-satunya pintu masuk.
“Kami memahami adanya keterbatasan. Sebab itu, kami pun punya paralegal di simpul komunitas. Seperti teman Miskin Kota (Jaringan Rakyat Miskin Kota). Jadi, itu bisa jadi salah satu pintu masuk juga. Tugaskan satgas di daerah, komunitas di pelosok sana untuk bisa dijangkau korban.”
Di tengah sulitnya korban yang masih sulit mencari akses layanan bantuan, kondisi diperparah masih diskriminatifnya para penegak hukum terhadap korban kekerasan seksual. Ia menyuarakan keinginan agar para penegak hukum berbenah dan jangan cuma memproses suatu kasus yang viral di media sosial.
Kepolisian salah satu yang juga harus berbenah. Ia merujuk Mahkamah Agung punya peraturan untuk mengadili perempuan yang berhadapan dengan hukum agar tidak ada diskriminasi dan trauma, atau kejaksaan yang punya Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam penanganan perkara pidana, maka kepolisian harusnya juga punya instrumen serupa.
“Tinggal menunggu kepolisian. Tentu dibarengi dengan perspektif keberpihakan kepolisian kepada korban yang adukan kasusnya. Jadi, upaya-upaya perbaikan harus terus dilakukan.” (Jek/M-2)