Film cerita panjang debut Randolph Zaini total mendapat delapan nominasi di Festival Film Indonesia (FFI) 2021, termasuk untuknya sebagai sutradara terbaik dan penulis skenario asli terbaik. Film yang diperankan Khiva Iskak, Kiki Narendra, dan Muzakki Ramdhan itu pun berhasil membawa dua Piala Citra untuk penata rias terbaik dan efek visual terbaik.
Pada gelaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-16, Preman turut diputar dalam program Indonesian Screen Awards. Film itu mengangkat tokoh seorang preman tuli yang melindungi anaknya, seorang saksi peristiwa pembunuhan.
Di sela festival, Media Indonesia berbincang dengan sutradara Randolph Zaini mengenai ide awal dan simbolisme yang ia tempatkan dalam film berdurasi 92 menit itu. Berikut petikan wawancara yang dilakukan di Empire XXI Yogyakarta, Rabu, (1/12).
Bagaimana proses ide cerita film Preman?
Naskahnya terinspirasi dari cerita-cerita yang pernah terjadi di hidupku. Dari yang diri dan keluargaku alami, juga apa yang sempat dibagikan orang-orang dekatku. Dari pengalaman-pengalaman itu lalu ditulis ke naskah.
Setelah di-pitch dan diajukan ke kru dan pemeran, mereka juga memberi masukan tentang elemen personal ke naskah ini. Banyak hal yang terjadi di hidup kami semua. Jadi ini ditulis bersama-sama. Draft awal itu pengerjaan empat bulan. Lalu ada masukan dari pemeran, kru, komunitas tuli, pemeran dan kru dengan perspektif perempuan, mereka yang punya pengalaman perisakan. Dari situ berlanjut ke praproduksi hingga rehearsal dua bulan.
Pernyataan sutradara tentang film Preman?
Pertama-tama, kami tidak punya tujuan untuk membuat film moralistik. Tidak mau bilang ini benar dan salah. Itu terserah penonton. Tapi dari dialog yang paling mendekati dengan apa yang mau kami sampaikan sebagai ekspresi diri kita adalah, dunia ini tidak semuanya hitam putih. Ada elemen kelompok marginal, ada ormas, preman, dan di balik semua kedok itu, di bawahnya, kita semua adalah manusia.
Film dengan tema perisakan, suka dilihatnya yang merisak adalah yang salah dan korban adalah pihak yang benar. Tapi, kadang dalam hidup, tidak sejelas sehitam putih itu. Orang yang ada dalam lingkaran kekerasan itu bisa jadi juga ada alasan atau trauma di masa lalu. Memang itu bukan pembenaran, tapi kalau tidak berusaha mengerti motivasi, trauma, atau latar belakang mereka, kita tidak akan sampai ke solusi untuk memutus lingkaran setan itu.
Anda juga turut menjadi koreografer laga di film Preman?
Untuk koreografi fighting aku bekerja sama dengan Jonathan Ozoh. Dia adalah coordinator stunt yang berpengalaman dengan action yang dahsyat. Kami ingin membuat film drama dengan sentuhan action. Jadi tidak mau action yang kuasai ceritanya. Dari sisi itu, aku dan Om Jo (Jonathan) sudah setuju cerita yang menjadi prioritasnya. Misal, kenapa harus ada fighting di bagian tertentu. Kalau memang tidak ada tujuannya, ya tidak digunakan.
Aku sendiri punya latar belakang bela diri, jadi aku berdiskusi dengan Om Jo mengenai beberapa makna di balik cerita fighting yang ada di film ini. Tidak ada dua orang yang musuhan langsung berantem gitu aja. Tiap kali ada tempur, juga akan menguak si karakter. Atau dua orang yang saling menguji satu sama lain. Di situ, adegan fighting jadi device plot kami.
Karakter Sandi (Khiva Iskak) punya senjata dengan bentuk seperti cambuk pendek dengan bandul bola besi. Dari mana itu?
Senjata yang dipakai oleh Sandi adalah monkey fist. Itu bukan senjata sebenarnya ya. Aslinya itu dipakai oleh pelaut, dulu. Jadi kalau mereka mabuk, berantem, itu jadi senjata improvisasi mereka. Bandul itu dihantamkan ke orang. Kenapa (Sandi) gunakan senjata? Karena ini dunia premanisme, bukan dunia bela diri. Jadi tidak ada berantem dengan koreo indah. Mereka berantemnya ceroboh, ada kepleset. Kami mau menjaga realismenya.
Kok bisa terinspirasi memakai monkey fist?
Dalam film tentang perisakan ini, kami banyak mengambil metafora dari rantai makanan binatang. Siapa karnivora, siapa herbivora. Geng preman di sini menggunakan logo musang karena mereka ketika berburu, cara kerjanya keroyokan.
Sementara itu, suara hati si protagonis itu kelinci, yang mana adalah herbivora dan tidak ada di defend mechanism. Kami punya protagonis monyet, omnivora. Terjebak di antara dua sisi (karnivora-herbivora). Untuk melanjutkan motif itu, kami selalu menggunakan simbolisme monyet, termasuk monkey fist. Dan sahabat masa lalu Sandi, menggambarkan Sandi sebagai monyet.
Ada lanskap urban dan rural di film Preman. Bagaimana produksinya?
Proses produksi 25 hari. Lokasi yang di Jakarta tidak ada sebenarnya, selain di studio. Sisanya, permukiman, established warga itu di pinggiran Jakarta. Kebanyakan adegan yang kami ambil di desa, area persawahan di Cibarusah, di Jonggol, dan beberapa wilayah di Bekasi.
FFI 2021, film debut langsung masuk nominasi. Bagaimana Anda melihat itu?
Aku merasa benar-benar terharu dan terhormat bisa diperhitungkan sebegitu jauhnya oleh industri perfilman Indonesia. Ini bisa terjadi karena kolaborator pemeran dan kru yang membimbingku hingga di tahap itu. Jadi aku merasa bangga, semua yang ada di film Preman sudah memberikan usaha hingga 5.000%.
Ke depan, ingin bekerja sama dengan kolaborator ini dan para kolaborator baru untuk membuat film yang bisa menghubungkan dengan audiens. Dan menyampaikan pengalaman ekspresi yang membuat merasa bahwa kita tidak terlalu sendirian di dunia ini.
Apalagi yang bisa dinanti dari Randolph Zaini?
Aku ada story bank banyak, tinggal cari partner produksi saja. Sedikit bocoran, aku ada feature film tentang proses embalming (pembalsaman). Tapi itu drama keluarga yang menyentuh. Semoga saja bisa produksi dengan segera. (M-2)