Dari studi dan kajian yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, saat ini tercatat ada 718 bahasa daerah di Indonesia. Dari jumlah tersebut, hanya 12 yang aktif digunakan, sementara ada 625 yang perlu diuji status vitalitasnya. Sementara itu, ada lima bahasa daerah yang kritis, dan setidaknya ada delapan bahasa daerah yang sudah punah.
Dalam upaya proses perlindungan bahasa daerah, setidaknya ada lima tahap yang diawali dengan pemetaan untuk mengkaji bahasa dari segi persebaran dan kekerabatannya. Setelah dilakukan pemetaan, selanjutnya adalah kajian vitalitas, yang merupakan cara untuk menguji daya hidup suatu bahasa, apakah akan berumur panjang dengan dilihat dari pengguna dan penuturnya, serta niat politik dari pemerintah dalam mewariskan bahasa daerah lewat lembaga-lembaga resmi.
Baru kemudian dilakukan konservasi untuk menyusun sistem kebahasaan. Dan revitalisasi, untuk bahasa yang dianggap akan mengalami kemunduran atau ancaman kepunahan. Dan terakhir registrasi bahasa.
Namun, dalam melakukan upaya pelindungan bahasa daerah, ada beberapa tantangan yang dihadapi.
Menurut Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek Prof. E Aminuddin Aziz menyampaikan setidaknya ada empat tantangan, yaitu sikap bahasa penutur jati, migrasi dan mobilitas, kawin silang, dan globalisasi.
Sikap bahasa penutur jati bersinggungan dengan bagaimana para penutur bahasa asli yang menganggap apakah bahasa yang mereka gunakan tersebut masih penting atau tidak.
“Kedua itu migrasi dan mobilitas. Misal ada perpindahan orang dari satu wilayah ke wilayah lain, dan ketika mereka sudah tidak menggunakan bahasa daerah mereka, itu bahasa akan mati dengan sendirinya. Seperti pindah dari kampung ke kota, atau bahkan ke negara lain,” kata Prof. Amin, dalam gelar wicara virtual Urgensi Pelestarian Bahasa Daerah Sebagai Kekayaan Bangsa dan Penyokong Bahasa Nasional, yang menjadi rangkaian Festival Bahasa dan Sastra 2021 Media Indonesia, Rabu, (27/10).
Fenomena kawin silang yang terjadi antar individu dengan latar belakang daerah yang berbeda juga turut menjadi tantangan dalam pelindungan bahasa daerah. “Akan ‘menimbulkan’ konflik di dalam keluarga. Misalnya mereka mau membesarkan anak itu dengan bahasa apa, apakah bahasa milik si ayah, si ibu, atau bahasa lain?”
Tantangan lainnya, imbuh dia, adalah globalisasi yang mengarah pada monolingualisme, yaitu dominasi penggunaan satu bahasa di media-media yang digunakan saat ini. (M-2)