17 January 2021, 00:10 WIB

Tamu Tengah Malam


Jimmy Anggara |

DI luar dingin dan gelap. Jalanan sepi dan angin November menembus ke dalam tulang. Ia berpikir, tentu saja akan lebih nyaman berada dalam ruangan. Dan rasa ini, pikirnya. Ia harus segera mengisi perutnya. Ia berdiri dan memandang rumah di hadapannya. Ia hanya memakai kemeja lengan panjang tipis tanpa kaus dalam. Jika hujan datang, seperti dua hari yang lalu, kemeja itu akan menempel lengket ke kulit badannya sehingga sepintas tampak seolah ia tidak memakai baju. Rumah di hadapannya itu menjanjikan kehangatan dan makanan.

Ia segera membuka pintu pagarnya. Ia berjalan sampai ke muka pintu dan sebelum mengetuk, ia melihat ada dua buah kursi dan sebuah meja bundar di beranda. Hanya ada pot bunga, sebuah buku TTS dan pulpen di atas meja. Ia mengetuk. Seorang tamu di tengah malam seharusnya segera dibukakan pintu. Ia mengetuk sekali lagi dan sekali lagi dan sekali lagi. Seorang anak remaja membuka pintu.

“Ya, mencari siapa?”

Untuk sesaat ia terdiam.

Apa yang harus ia katakan? Ia seorang tamu. Seorang tamu tentu mencari tuan pemilik rumah. Tugas seorang tamu hanyalah bertamu. Ia mengetuk pintu, tuan rumah menyambut lalu mempersilakan duduk, dan jika nasibnya sedang baik, dihidangkan minuman dan makanan jika mereka melihat bahwa ia begitu membutuhkannya. Tugas tuan rumah adalah melayani.

“Saya tamu.”

“Ya. Cari siapa?”

“Saya cuma ingin bertamu.”

Remaja itu memandanginya dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Bocah itu ingin tahu ia datang mencari siapa. Dia memerlukan nama. Nama! Apakah seorang tamu harus mengenal nama tuan rumahnya sebelum ia dipersilakan masuk? Sebegitu pentingnyakah nama? Sudah lama sekali sejak seseorang memanggilnya dengan nama. Sudah lama sekali ia tidak lagi memanggil seseorang dengan nama.

Remaja itu memanggil ibunya. Seorang perempuan dengan rambut agak berantakan dan seorang gadis cilik muncul di depan pintu. Gadis cilik itu berdiri di belakang ibunya, berpegangan pada rok ibunya, menggigitgigit rok ibunya. Wajah ibunya masih terlihat cantik. Selintas ada tercium bau parfum dari tubuhnya.

“Ya, mencari siapa?”

“Saya mencari bapak.”

Lewat bahunya, perempuan itu menengok ke dalam rumah. Mungkin ada seseorang yang menunggunya di dalam sana.

“Bapak siapa?” tanya perempuan itu kemudian.

Sekejap ia terdiam. Ia tidak tahu bapak siapa. Sebelum ia sempat menjawab, perempuan itu sudah berjalan masuk ke dalam. Tapi gadis cilik itu tidak ikut. Wajahnya mirip dengan wajah ibunya. Gadis cilik itu memandang dengan matanya yang bundar dan tersenyum kepadanya.

“Halo,” sapanya. Gadis cilik itu tidak membalas.

“Halo,” sapanya lagi.

“Ya, mencari siapa?” Gadis cilik itu menirukan pertanyaan ibunya.

Seorang lelaki setengah baya muncul di pintu. Di belakangnya, ibu gadis cilik itu dan anak remaja yang pertama kali membuka pintu. Di hadapannya, ia melihat sebuah keluarga.

“Ya, mencari siapa?” lelaki itu bertanya. Suaranya dalam dan berat. Tapi ia sudah menemukan sebuah nama.

“Saya mencari Bapak Danu.” Ia melihat nama itu di pelat nama rumah sebelah.

“Oh, Bapak Danu ada di rumah sebelah,” kata lelaki itu dengan ramahnya. Kini ia berada dalam posisi sulit. Ia tidak ingin pergi ke rumah Bapak Danu. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah secangkir teh hangat dan makanan. Ia sudah berjalan cukup jauh dan tidak makan selama beberapa hari ini. Apakah mereka tidak bisa melihat hal itu? Ia tidak sedang mencari Bapak Danu!

“Jadi, ini bukan rumah Bapak Danu?”

“Bukan, bukan. Bapak Danu ada di rumah sebelah, nomor 87. Di sini nomor 85.”

“Kalau begitu maaf. Saya salah alamat.” Saat menutup pintu pagar, ia melihat mereka masih berdiri di depan pintu. Jelas mereka ingin melihatnya masuk ke rumah Bapak Danu. Mereka ingin tahu ada perlu apa tamu Bapak Danu datang malam-malam begini. Untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka, ia membuka pintu pagar rumah Bapak Danu, dan mengetuk pintunya. Kini mereka sudah tidak bisa melihatnya lagi. Tapi ia tahu, mereka masih berdiri di depan pintu.

Ia menyebut nama Bapak Danu keras-keras. “Pak Danu! Halo! Pak Danu!” Ia merasa takut. Apa yang akan ia katakan pada Bapak Danu? Ia memberanikan diri mengetuk lagi. Sambil menunggu ia membaca pelat nama Bapak Danu. Bapak Danu ternyata dokter hewan. Seorang lelaki muncul di depan pintu. Tampangnya kelihatan ramah.

“Ya, cari siapa?”

“Ada Bapak Danu?”

“Ya, saya sendiri.”

“Anjing saya sakit, Pak Danu. 

Saya harap Bapak bisa menyembuhkannya. Dia tidak mau makan selama berhari-hari Pak Danu...”

“Maaf, Pak, sekarang sudah malam. Praktik sudah tutup. Bagaimana kalau Bapak kembali besok pagi saja? Sekarang saya ingin beristirahat.”

“Tapi, Pak Danu, keadaannya sudah gawat! Saya tidak tahu mau pergi ke mana lagi, Pak! Tolonglah saya, Pak.”

“Di mana anjingnya sekarang?”

“Ada di rumah, Pak. Saya tidak membawanya sekarang karena sakitnya sudah parah. Kalau Bapak mau, saya akan memberikan alamat saya.”

“Sebentar.” Bapak Danu menutup pintu dan kembali lagi dengan sebuah kertas dan sebuah pulpen. Tapi, bagaimana seseorang yang tidak mempunyai rumah memiliki alamat?

Dengan cepat, ia menyebutkan Jl Melati No 88.

“Besok pagi saya akan datang,” kata Bapak Danu lalu menutup pintu.

“Terima kasih, Pak.” 

Saat menutup pintu pagar Bapak Danu, ia melihat keluarga rumah sebelah sudah tidak ada lagi di depan pintu. Seorang diri, ia berdiri di tengah jalan yang sepi. Ia hanya ingin secangkir teh hangat dan sedikit makanan. Mengapa begitu sulit?

Ia memandang ke arah kiri jalan. Sepi. Ia memandang ke arah kanan jalan. Juga sepi. Tiba-tiba ia menggigil. Matanya berkunangkunang. Ia merasa pusing. Ke mana ia harus mencari makanan sekarang?

Ia memandang ke arah rumah gadis cilik itu. Rumah itu masih menjanjikan kehangatan dan makanan. Ia memutuskan untuk masuk ke rumah itu. Ia akan beristirahat sebentar di sana. Dan kalau beruntung, besok pagi dia akan bisa makan. Dengan perlahan, dengan gemetar, ia membuka pagar.

Berusaha tidak bersuara, ia duduk di kursi. Ia melihat ke meja. Ada buku TTS. Ia mengambil buku itu dan membukanya dengan asal. Mendatar: ibu kota Zimbabwe. Ia tidak tahu ibu kota Zimbabwe. Menurun: Udang kecil.  Ia menuliskan: Ebi. Ia menulis dengan tangan gemetar. Bosan dengan pertanyaan, ia melihat gambar sampul depan buku TTS itu. Seorang perempuan cantik yang tersenyum. Pasti dia sudah makan, pikirnya. Ia menggambar kumis dan jenggot pada gambar perempuan cantik itu lalu mencorat-coretnya selama beberapa waktu sebelum ia letakkan kembali di atas meja.

Ia memandang rumah di depannya. Rumah itu memiliki pohon rindang dan sebuah mobil di garasinya. Bagaimana orang bisa mempunyai rumah? Bagaimana orang lain bisa makan sementara dirinya tidak?

Ia mulai keringatan. Berpikir menguras tenaganya. Ia bersandar pada kursi dan menutup matanya. Aku akan tidur sebentar, pikirnya. Mudah-mudahan, besok aku bisa makan.

Ia berpikir untuk mengetuk pintu rumah itu sebenarnya. Tapi hari sudah larut. Ia tidak ingin mengganggu tidur mereka. Yang dibutuhkannya saat ini adalah tidur. Satu hari lagi telah lewat, pikirnya.

Esok paginya, penghuni rumah nomor 85 gaduh. Di beranda rumah mereka, ada sesosok laki-laki kurus yang tidak lagi bernapas. Badannya kaku. Di sampingnya, pada lembar buku TTS yang terbuka, ada coretcoretan gambar semangkok bakso dan sepiring nasi. Dua kata dengan huruf-huruf besar cakar ayam tertulis di atas gambar: SAYA LAPAR. (M-2)

BERITA TERKAIT