HIU tikus, atau yang akrab disebut thresher shark, barangkali belum banyak mendapat sorotan di Tanah Air. Popularitasnya tidak seperti pari manta yang sudah ditetapkan dilindungi penuh oleh pemerintah Indonesia. Padahal, hiu tikus merupakan salah satu jenis hiu unik yang tak banyak ditemukan di dunia. Beruntung perairan Indonesia, yakni Alor, menjadi salah satu tempat hiu tikus berkumpul.
“Pemerintah setempat belum pernah menaruh perhatian, dan bahkan tidak mengetahui mengenai keberadaan hiu tikus di wilayah perairan daerahnya. Padahal, di Filipina, hiu tikus menjadi salah satu atraksi andalan pariwisata laut di sana. Keberadaan hiu tikus menjadi magnet bagi wisatawan dan pencinta diving,” tutur Rafi d Shidqi saat berbincang dengan Media Indonesia via platform digital, Rabu (22/12).
Rafid ialah pemuda asal Tangerang Selatan yang mengabdikan masa mudanya demi perlindungan dan upaya konservasi hiu tikus di Alor, Nusa tenggara Timur (NTT). Sejak 2017, Rafid mulai menjalankan kegiatannya dalam membantu upaya konservasi hiu tikus lewat sebuah wadah bernama threshershark.id. Bersama rekannya, ia mendirikan komunitas itu setelah sebelumnya mereka memenangi kompetisi pendanaan gerakan konservasi lingkungan yang diadakan konsorsium organisasi nirlaba internasional, Conservation Leadership Programme.
Sarjana jurusan ilmu kelautan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto tersebut kemudian memutuskan untuk mulai bergerak mandiri. Dengan begitu ia bisa lebih bebas menentukan bantuan untuk wilayah yang sangat membutuhkan pendampingan dalam upaya konservasi, tetapi belum terjangkau oleh organisasi besar.
Pada 2017, Rafid menemukan keberadaan thresher shark di Alor. Hiu tikus merupakan salah satu jenis hiu yang ramah pada manusia. Karena itu, mereka kerap dijadikan sebagai daya tarik wisata selam. Selain itu, hiu tikus juga memiliki ciri khas unik dengan ekor yang panjangnya bisa mencapai 2 meter. Mereka menggunakan ekor untuk menarik perhatian dan menangkap mangsanya.
Rafid menjelaskan, hiu tikus merupakan salah satu hiu yang paling terancam punah di Indonesia. Itu karena mereka banyak ditangkap tanpa ada upaya konservasi berarti. Bahkan, pada saat ia pertama kali datang, pemerintah setempat tidak mengetahui perihal keberadaan serta kondisi hiu tikus yang sudah semakin terancam.
“Akhirnya aku ke Alor dan mulai memasuki beberapa wilayah yang masyarakatnya sangat bergantung pada hiu tikus sebagai sumber mata pencaharian,” ujarnya.
Dari pengamatan Rafid, warga di beberapa desa di Alor sangat senang manangkap hiu tikus karena lebih mudah dan dapat dijual cepat. Sayangnya, hiu tikus yang sering mereka tangkap justru hiuhiu dalam kondisi hamil. Akibatnya, populasi hiu tikus dikhawatirkan dapat menurun drastis dalam waktu dekat.
“Kami berkeliling di lapangan, mendatangi para penyelam di berbagai titik selam Alor. Mereka mengatakan, dulu, sekitar lima tahun lalu, mereka bisa menemui belasan hiu tikus setiap kali menyelam. Namun, saat ini mereka umumnya hanya melihat beberapa ekor saja, bahkan tidak setiap hari mereka bisa melihatnya seperti dulu,” lanjut Rafid.
Meski sudah ada cerita penurunan jumlah hiu tikus, sayangnya belum ada sama sekali data atau hasil riset mengenai hiu tikus yang dimiliki pemerintah setempat. Akhirnya ia memulai gerakannya dengan melakukan riset untuk mendapatkan data-data terbaru mengenai hiu tikus di Alor.
“Data-data seperti itu yang dicoba kumpulkan karena sangat dibutuhkan untuk melakukan konservasi. Pemda tidak tahu soal hiu tikus itu, jadi benar-benar zero data soal hiu tikus itu di sini,” ucapnya.
Tiga pendekatan
Setidaknya ada tiga hal yang ia lakukan melalui thershershark. id untuk menyelamatkan hiu tikus. Pertama ialah riset dengan menanamkan alat pelacak pada tubuh hiu. Metode itu memungkinkan mereka memperoleh data pergerakan dan habitat hiu tikus, untuk kemudian bisa mendapat data lebih lengkap soal populasinya.
“Dipasang satellite tag, seperti GPS untuk tahu pergerakannya. Kami juga menggunakan accoustic tag untuk melihat habitat hiu tikus ada di mana saja. Data dari alat pelacak tadi akan kami kumpulkan sebagai hasil riset kami. Nantinya kalau pemerintah membutuhkan data untuk mendukung upaya konservasi atau pemberdayaan lain itu bisa kami sediakan,” ujar Rafid.
Adapun alat pelacak yang ditanam saat ini sebanyak 25 buah. Risetnya itu dibuat dengan harapan dapat menyajikan data awal tentang hiu tikus di Indonesia.
Kegiatan kedua yang dilakukan ialah upaya advokasi untuk warga Alor agar mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Ia mengatakan, untuk bisa melakukan konservasi yang dibarengi larangan penangkapan hiu tikus, harus ada tawaran solusi atau alternatif mata pencaharian bagi warga setempat.
“Sekarang kami juga tengah mengadvokasi agar bisa dikeluarkan peraturan bupati untuk pemberdayaan nelayan kecil yang bergantung hidupnya pada hiu tikus, agar mereka punya alternatif pendapatan lain,” tutur pemuda berusia 26 tahun itu.
Ia menceritakan, sebenarnya para nelayan tak keberatan dilakukan larangan menangkap hiu tikus. Namun, mereka membutuhkan bantuan untuk bisa mencari ikan yang lebih sulit djjangkau seperti tuna dan kakap merah. Karena itu, dukungan pemerintah untuk memberi bantuan demi peningkatan kapasitas nelayan menjadi hal yang terus diperjuangkan.
Adapun menurut informasi yang dikutip dari laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), disebutkan bahwa dua spesies hiu tikus yang ada di Indonesia yakni Alopias pelagicus dan Alopias superciliosus, berdasarkan CoP 17 tahun 2016 merupakan jenis Apendix II CITES dan dilarang untuk diekspor. Selain itu, bila tak sengaja tertangkap, nelayan juga wajib mengembalikannya ke laut lepas.
Treshershark.id juga aktif mengupayakan edukasi atau literasi mengenai pentingnya melakukan upaya konservasi ke berbagai kalangan, termasuk sekolah-sekolah.
Saat ini, salah satu kegiatan utama yang juga tengah dijalankan ialah program pelatihan konservasi bagi pemuda-pemuda di Alor. Kegiatan dilakukan dengan pemuda dari 11 kecamatan di Alor. Nantinya akan diberikan pendanaan bagi 20 pemuda agar bisa memulai gerakan seputar konservasi laut dan pesisir di wilayah mereka masing-masing.
Rafid menjelaskan, untuk melakukan berbagai kegiatannya itu, pihaknya mencari pendanaan secara mandiri. Mulai dari melakukan penggalangan dana atau crowdfunding, hingga mengikuti berbagai kompetisi untuk mendapatkan pendanaan.
Ia berharap ke depan akan ada perhatian lebih besar dari pemerintah setempat untuk upaya konservasi hiu tikus. Dengan begitu upaya yang telah ia mulai saat ini dapat dilanjutkan oleh pemerintah dan warga lokal di Alor hingga masa yang akan datang.
Keberadaan hiu tikus di wilayah laut menjadi sangat penting dijaga karena ia merupakan salah satu pengisi rantai makanan tertinggi di lautan. Bila populasinya anjlok, atau bahkan punah, dapat terjadi ketimpangan dalam. ekosistem laut yang bukan tidak mungkin memengaruhi kehidupan manusia di sekitarnya. (M-2)