08 July 2018, 07:20 WIB

Kisah Gadis Berbando Putih


Furqon Ulya Himawan |

PAPA Puno kembali ke meja kerjanya. Lampu sorot kecil yang tergantung di meja kerja sudah menyala. Papa Puno memakai kacamata, membetulkan letaknya. Tangannya meraih pensil.

Anggap saja papa Puno akan melukis. Sederet lukisan sketsa wajah anak perempuannya, Tala, terpajang di samping kiri meja kerjanya. Semua tertata rapi. Tergantung pada seutas tali.

Tala masih kecil. Dia sering bermain bersama ayahnya. Rambutnya panjang sebahu dan selalu memakai bando warna putih. Suatu hari, mereka main petak umpat. Tala bersembunyi dan papa Puno mencarinya. Beberapa kali Tala memanggil papa Puno agar ayahnya itu mencarinya.

"Papa Puno. Papa Puno," begitu Tala memanggil.

Tala kaget, ketika dia menengok ke kanan, ternyata papa Puno telah berada di samping kirinya. Mereka berdua tertawa, gembira, dan bahagia.

Tak hanya bermain petak umpet. Suatu hari mereka pergi jalan-jalan ke kota. Papa Puno menggendong gadis kecilnya yang lucu itu di pundaknya keliling kota.

Saat duduk sambil menikmati pemandangan di kota, Tala mendengar suara penjual es krim lewat. Dia lalu berbisik ke papa Puno, minta dibelikan es krim. Papa Puno pun memanggil penjual es krim, memesan satu.

Loh, kok cuma satu? Iya, satu es krim untuk berdua. Sungguh menyenangkan melihat mereka berdua, ayah dan anak berbagi es krim.

Itulah secuil kisah kebahagiaan keluarga kecil, ayah dan anak. Papa Puno dan Tala. Kebahagiaan itu dikisahkan dalam sebuah pementasan teater boneka berjudul Puno: Letters to the Sky, atau Surat ke Langit oleh Papermoon Puppet Theatre.

Puno: Letters to the Sky, sebenarnya naskah lama dan sudah pernah dipentaskan pada 2014. Berkisah tentang pertemanan yang memang dipersembahkan untuk teman mereka yang telah meninggal.

Pada versi pertama itu tokohnya lebih banyak, sedangkan di versi anyar ini hanya dua tokoh, Puno dan Tala.

Tahun ini, Papermoon sudah mementaskan Puno: Letters to the Sky, versi anyar di 3 negara: Bangkok, Singapura, dan Filipina. Sebagai penutup, Papermoon mementaskannya di Yogyakarta, DIY, mulai 5-8 Juli 2018 di Institut Francais Indonesia atau Lembaga Indonesia Prancis (IFI-LIP).

Berlayar ke langit

Papermoon terbaru mengisahkan kebahagiaan keluarga kecil, rasa sayang orangtua kepada anaknya, papa Puno dan Tala. Seperti ketika papa Puno berbunga hatinya melihat seorang perempuan. Tala pun tahu kalau ayahnya sedang senang dan dia ikut memberikan semangat.

Kepiawaian papa Puno dalam mengerjakan kerja-kerja domestik seorang ibu pun mampu tersampaikan dengan apik. Katakanlah ketika papa Puno memasak, menggoreng lauk, menanak nasi, dan menumis sayur. Dia pun menyuapi Tala ketika makan, meskipun sebenarnya Tala sudah bisa makan sendiri.

Namun, kebahagiaan itu mendadak hilang ketika suatu hari sebuah boneka gendut berwarna putih, selalu muncul membayangi papa Puno. Red Cloud nama boneka itu. Dia penjelmaan dari makhluk yang bersiap-siap menjemput papa Puno.

Papa Puno punya isyarat kalau ia akan meninggalkan Tala selama-lamanya. Ia pun memberikan sebuah perahu kertas berwarna kuning kepada Tala, sesaat sebelum ayahnya sakit.

Musik pengiring garapan Yennu Ariendra yang tadinya ceria pun berubah menjadi sendu dan sedih. Red Cloud benar-benar menjemput papa Puno.

Gadis kecil berbando putih di kepalanya sedih karena harus kehilangan ayah yang selalu membuatnya bahagia. Dia tak sanggup menerimanya. Perahu kertas pemberian papa Puno menjadi pelipur lara.

Tala marah mengapa ayahnya meninggalkannya sendiri. Dia berlari sejauh-jauhnya. Sampai suatu saat dia tahu ayahnya masih terus menyertainya, dia menjadi malaikat yang menjaganya. Hujan yang turun tak membasahinya, papa Puno menjadi mantel baginya. Tala tahu, itu ayahnya.

Tala lalu menulis pesan kepada ayahnya. Pesan-pesan itu dia tuliskan di perahu kertas pemberian papa Puno. Surat itu ditujukan ke langit. Tala tahu, surat itu akan sampai ke langit dan papa Puno membacanya.

Surat-surat yang sama pun bertebaran di angkasa, perahu kertas bertuliskan pesan rindu kepada yang mereka cintai dan telah meninggal. Tala tak sendiri, banyak yang menemaninya.

Perahu-perahu itu mengingatkan pada kultur sebagian masyarakat yang selalu melarung abu jenazah. Abu-abu itu akan sampai ke langit. Pesan Tala pun akan sampai kepada papa Puno.

Kematian, itulah yang ingin disampaikan Maria Tri Sulistyani sebagai penulis naskah. "Kematian itu hal yang pasti terjadi, tapi jarang dibicarakan karena merasa tabu," ujar Maria Tri Sulistyani yang akrab dipanggil Ria saat ditemui Rabu (4/7).

Lewat karya Puno: Letters to the Sky, Ria mengajak kita berhenti sejenak untuk mengingat kembali dan menghargai apa yang dimiliki.

Pesan tersirat lain yang ingin disampaikan Ria ialah saat papa Puno mampu menggantikan peran ibu untuk Tala. "Saya juga ingin mengampanyekan bahwa urusan anak itu bukan selalu urusan perempuan."

Semoga pesan-pesan rindu itu tersampaikan dan Tala tak akan sendiri merasakan rindu.

BERITA TERKAIT