KEMENTERIAN Komunikasi dan Informatika melalui Badan AksesabilitasTelekomunikasi dan Informasi (Bakti) telah menandatangani kerja sama untuk memulai proses manufacturing Satelit Republik Indonesia atau Satria. Kesepakatan dilakukan antara PT Satelit Nusantara III dan Thales Alenia Space asal Prancis.
Nantinya, Satria memiliki kapasitas 150 Gbps atau tiga kali lipat dari keseluruhan kapasitas sembilan satelit yang saat ini digunakan Indonesia. Satelit ini akan mengorbit pada 2023.
Direktur Utama Bakti, Anang Latif, menyebut proyek ini nantinya akan menghadirkan akses wifi gratis di 150.000 titik layanan publik di berbagai penjuru Nusantara. Antara lain di 93.900 titik sekolah umum dan pesantren, 47.900 titik kantor desa/kelurahan dan kantor pemerintahan di daerah, 3.700 fasilitas kesehatan, serta 4.500 titik layanan publik lainnya.
“Titik-titik inilah yang kami harapkan bisa mendorong transformasi digital untuk semua titik pelayanan publik,” ujar Anang dalam program Prime Talk Metro TV, Senin (12/10).
Teknologi satelit untuk penyediaan internet dipilih karena dianggap sebagai teknologi terkini jika dibandingkan dengan teknologi terrestrial seperti serat optik atau radio microwave yang memakan waktu pengerjaan lebih dari 10 tahun.
Anang menambahkan bahwa saat ini Bakti menggunakan empat satelit asing untuk menambah kapasitas satelit lokal. Adapun kapasitas yang dimiliki saat ini sekitar 50 Gbps sehingga perlu ditambah dengan menghadirkan Satria.
Sementara Thales Alenia Space dari Prancis dipilih karena saat ini merupakan salah satu perusahaan satelit terbaik dunia. Adapun roket peluncur yang dipilih adalah Falcon 9 buatan SpaceX.
Di sisi lain, teknologi wifi dipilih dengan jangkauan yang terbatas. Hal ini memungkinkan akses internet di suatu tempat lebih stabil dan tidak terganggu penggunaan jaringan di sekitarnya.
“Ibarat kita fokus kepada pekerjaan, itu tidak terpengaruh oleh penggunaaan penduduk di sekitarnya. Katakanlah sebuah sekolah sedang melakukan ujian nasional melalui komputer. Kalau itu mengandalkan 4G, kapasitasnya terganggu oleh pengguna lain,” jelas Anang.
Nantinya, pemerintah pertama-tama akan fokus pada layanan publik dalam pemanfaatan Satria. Hal ini bertujan agar layanan publik dapat terintegrasi secara nasional.
“Katakanlah puskemas, yang saat ini masih ada sekitar 3.000 puskesmas yang belum terintegrasi secara online. Padahal ini dibutuhkan untuk integrasi data covid-19. Begitu juga pendidikan, bagaimana Kementerian Pendidikan menyediakan super-apps kalau masih ada sebagian sekolah yang belum mendapatkan sinyal internet? Jadi kami fokus kepada titik layanan publik dulu,” jelas Anang.
Terkait kapasitas, katanya, pemerintah akan terus meningkatkan untuk dapat mencapai 1 terabyte per second.
Direktur Utama T Pasifik Satelit Nusantara (PSN) Adi Rahman Adiwoso mengatakan saat ini pihaknya sudah mulai menyelesaikan seluruh detail issue dan sudah mulai memesan long lead item-nya.
“Jadi sistem-sistem yang memakan waktu panjang ini sudah dalam proses pembangunan sehingga kita bisa meluncurkan pada kuartal kedua 2023,” ungkapnya pada kesempatan yang sama.
Adi menjelaskan bahwa teknologi Satria ini menggunakan frekuensi Ka Band dengan teknologi yang lebih maju sehingga jangkauan pemanfaatannya bisa sangat tinggi.
“Dengan program pemerintah untuk 150 ribu lokasi dengan 150 Gbps, masing-masing akan mendapatkan pure 1 Mbps. Kita juga merasa nantinya mungkin akan kurang sehingga dikatakan kebutuhan Indonesia itu akan mencapai 1 terabyte per second,” katanya.
Menurutnya, dengan jangkauan lebih luas dan penambahan kecepatan internet, persoalan digital gap khususnya di wilayah-wilayah terluar Indonesia dapat teratasi dengan hadirnya Satria. (Ifa/S2-25)