Puisi-puisi In Memoriam Mochtar Pabottingi

Syukur 

(1) 
Terimakasih, Tuhanku 
telah Engkau jagakan aku 
pada tak terbilang tengah malam 
dengan sebisik puisi 
pada kalbuku 

(2) 
Terimakasih juga, Wahai 
telah Engkau jadikan aku terlena 
pada tak terhingga perselaman mentari ke dasar samudra 
dari petang hingga pagi. Dengan seusap puisi 
pada ubun-ubunku 

5 April 2020¹ 


Pesan 

Camkanlah matahari 
resapi gradasi lembayung merah 
cemerlang itu 
yang tak kunjung kehabisan 
komposisi. Lalu dengarkan baik-baik 
suaranya 
: Bukankah tiap kali dengan cinta 
aku datang 
: Bukankah tiap kali dengan cinta 
aku berlalu 

Dan sedikit sekali engkau peduli 

2018¹ 


Kepada Pembesar-pembesar Suara 

(1) 
Pada mulanya adalah titi semadi 
di ketinggian bukit sepi 

Dan setelah wahyu 
setia puguh beliau bersimpuh 
di hadapanNya 
di tiap puncak malam 
hingga ke titik terjauh dari rindu 

(2) 
Dalam gaduh mustahil engkau menggugu sujud Sang Rasul 
dalam bising sukmamu hanya engkau giring ke rimba terasing 
dalam bancuh takkan ke sajadah sujudmu menyentuh semua 
semata di dalam hening 

5 April 2020¹ 


Pada mulanya adalah titi semadi di ketinggian bukit sepi, lalu ke titik terjauh dari rindu.


Suara-suara 

Selalu dari rahim malam engkau bangkit mengusik aku 
hai suara-suara 

Jadi duka belantara 
jadi lengking gerapai 

Lalu aku pun bersimpuh di pusar aksara
yang tak tertuliskan 

Selalu aku tidak tahan untuk menangkapmu 
memelukmu relung-relung tak kunjung musim 
memupusku laron. Luluh dalam nyala 

Selalu dari rahim malam engkau bangkit mengusik aku 
hai suara-suara 

Jakarta, 1986² 


Kereta Api Terakhir 

Tak dihitung lagi matahari 
ketika kereta itu bergerak. Ke dunia yang lain 
cakrawala kehilangan ufuk. Orang-orang terpaku 
di tempatnya 
belum pernah seribu musim turun begitu 
dalam polka 
dalam pakanjara 
dalam tamburnya sendiri-sendiri 

Tiba-tiba tak ada lagi yang tersembunyi 
semua jadi teraba. Telanjang 
segala jadi bersuara. Bangkit 
menggusur jasad dan pikiran-pikiran kita 
konsep-konsep dan mimpi-mimpi kita 
dalam intensitas yang semakin tinggi. Dalam otomasi 
yang sempurna 

Maka hening pun tercabik-cabik 
maka eksistensi pun menyerpih-nyerpih 

Jakarta, 1986² 


Baca juga: Puisi-puisi Jean Cocteau
Baca juga: Puisi-puisi Didik Wahyudi
Baca juga: Puisi-puisi Vladimir Mayakovsky

 

Bacaan rujukan: 
¹ Pabottingi, M. Syukur, Pesan, dan Kepada Pembesar-pembesar Suara. Akun twitter pengarang @MPabottingi. Diakses: Minggu, 4 Juni 2023.
² Pabottingi, M. Kumpulan Puisi Dalam Rimba Bayang-Bayang. Buku Kompas, Jakarta, 2003.

 

 

 

 


Mochtar Pabottingi, penyair dan guru besar (emiretus) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 17 Juli 1945. Menempuh pendidikan sarjana mudanya di jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, kemudian melanjutkan ke jurusan Sastra Inggris, Universitas Gadjah Mada (lulus 1973). Pendidikan masternya dalam bidang Sosiologi di University of Massachusetts, Amherst, Amerika Serikat (lulus 1983), dan program doktornya dalam bidang Ilmu Politik di University of Hawaii, Manoa, Amerika Serikat (lulus 1991). Memulai karir sastra dengan menulis cerpen di koran-koran lokal di Makassar sejak 1964, sedangkan puisinya mulai muncul di surat kabar dan majalah nasional di Jakarta sejak 1971. Karya bukunya, antara lain: Suara Waktu (Erlangga, 1999), Dalam Rimba Bayang-bayang (Buku Kompas, 2003), dan Konsierto di Kyoto (Bentang Pustaka, 2015), serta novelnya berjudul Burung-burung Cakrawala (Gramedia Pustaka Utama, 2013). Dia mengembuskan napas terakhirnya dalam usia 78 tahun di Jakarta, 4 Juni 2023. Foto header: MI/Sajak Kofe/Tangkap Layar Mizan. (SK-1)