CITRA diri dan eksistensi pengarang perempuan selalu mewarnai perpuisian di Republik ini. Tema ketuhanan, lingkungan, dan kemanusiaan, pun kerap menjadi pilihan dalam menuangkan ide-ide cemerlang ke dalam sastra, khususnya puisi.
Kode bahasa, sastra, dan budaya sebagai ikatan utuh. Hal ini perlu untuk dapat dipahami secara bijak dalam karya-karya kaum hawa. Persoalan sehari-hari juga tanpa disadari, telah memengaruhi ide dan tema, sehingga kian menarik untuk dikaji secara komprehensif.
Di awal abad ke-21, penyair perempuan kian mendapatkan tempat di masyarakat kita. Mereka bukan lagi objektifikasi seksual dan bujuk rayuan semata, akibat kuatnya patriarki dalam sistem sosial di masyarakat kita. Namun jauh dari itu, mereka telah membawa kebaruan dalam perpuisian.
Sekadar menyebut sederet pengarang perempuan Indonesia, antara lain Saras Dewi, Medy Loekito, Fanny Poyk, Frieda Amran, Oka Rusmini, Ramayani Riance, Ratna Ayu Budhiarti, dan Hanna Fransisca. Karya-karya para srikandi ini sudah diakui publik.
Sesungguhnya, menuangkan ide lewat puisi ialah menghadirkan citra diri. Di sinilah tercermin individu-individu yang memiliki citra diri positif dan negatif. Citra diri positif akan membuat kita untuk merasa diri lebih berharga di mata orang lain.
Citra sebagai bagian kecil dari taksu akan memancarkan kejujuran, ketegasan, ketenangan, dan kesucian. Citra diri positif mendatangkan kepercayaan diri. Sehingga menghasilkan karya yang kualitas positif, bila dibandingkan dengan kualitas negatif dari diri seseorang.
Sepanjang zaman, puisi selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Ini mengingatkan hakikatnya sebagai karya seni sastra. Pengaruh sosial, politik, dan ekonomi tanpa disadari selalu memberikan dampak dalam ranah sastra.
Lembut
Jujur, saya senang membaca sebuah puisi karya penyair asal Bandung, Jawa Barat, Julia Hartini berjudul Sempurna Rindu dalam buku Antologi Puisi 100 Penyair Perempuan (Jakarta: PBP Publishing, 2014. Hlm 220). Tema puisi ini mengingatkan akan sebuah hubungan di antara sesama manusia.
Berikut petikan bait-baitnya: ada yang ditunggu/ lelaki dalam ingatan/ di antara bait-bait sajakku// ada prasangka yang kukemasi dengan siasat memegang doa// mendadak ada yang menyeruak/ sempurna rindu/ begitu istimewa//.
Tema kerinduan menjadi pilihan tepat. Julia lihai menyuguhkan puisi pendeknya secara sederhana. Namun, pesan tentang perasaannya begitu mendalam. Kode bahasa yang lugas dan bunyi yang syahdu dapat kita rasakan di sini.
Eksistensi penyair perempuan selalu menyertai zaman. Mereka apik menghadirkan puisi secara lembut, damai, dan tulus.
Sedikit berbeda dengan penyair asal Bali, Saras Dewi. Ia lebih kuat mengangkat isu lingkungan dalam puisinya. Tengok saja, sebuah puisi apik berjudul Kehendak Kosmos di Sajak Kofe - Media Indonesia edisi 9 Oktober 2022.
Berikut petikannya; Sesungguhnya aku tak kehilangan/Kau tersembunyi dalam udara yang kuhirup/ Air mata yang kuurai/ Pasir yang kugenggam// Cintaku menerobos kulit-kulit waktu/ Melolong, bergema-gema/ Memenuhi alam semesta/ Kekasihku, kau datang dari alam semesta/ Dan t’lah berpulang pada alam semesta//.
Kehendak Kosmos menjadi sebuah pesan tentang kekuatan semesta. Manusia selalu berpikir tentang bagaimana dapat makan dan minum hari ini. Alam sudah menyediakannya, namun usaha keras perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kita.
Kini dan nanti
Melalui puisi, kaum perempuan memberikan suara-suara agar didengar dan dikenang abadi. Tidak hanya di masa kini, namun juga di masa yang akan datang. Saya pikir, di sinilah mantra puisi ialah api dan mata hati.
Seabad silam, seorang penyair legendaris Rusia Anna Akhmatova pernah menulis puisi-puisi yang fenomenal. Karyanya banyak dibaca oleh masyarakat Rusia dan telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa-bahasa dunia, termasuk Bahasa Indonesia.
Sebuah puisi berjudul Janganlah Heran Jika Mendengar Lonceng Kematian, Akhmatova tulis pada 1958. Inti puisi ini tergambar jelas di bait awalnya. Berikut sepenggal bunyinya; Janganlah heran jika sebuah syair/ adakalanya terdengar seperti sebuah lonceng kematian//.
Para penyair perempuan selalu penuh misteri. Di manapun mereka berada selalu saja menuangkan isi hati secara berbeda-beda, baik bahasa, budaya, maupun adat-istiadat. Karya-karya mereka mengandung absurditas dan realitas. Mereka bukan sekadar mencurahkan isi hati semata. Namun, memberikan pandangan hidup yang lembut, damai, dan tulus.
Kesetaraan menjadi pegangan kaum perempuan dengan cara memilih puisi sebagai tameng dan pedang. Mereka mampu mengarungi samudra nan luas, dengan percaya diri dan sabar, demi menjaga bara api puisi dan eksistensi. (SK-1)
Tonton di sini: Pembacaan Sajak Kofe
Baca juga: Sajak-sajak Stevie Alexandra
Baca juga: Sajak-sajak Inggit Putria Marga
Iwan Jaconiah, penyair, editor puisi Media Indonesia, dan kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin, Pentas Grafika, Jakarta (2022). Dalam dunia perpuisian, ia didapuk sebagai pesastra Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award untuk puisi Bumi pada X International Literary Festival «Chekhov Autumn» di Yalta, Krimea, Rusia (2019) dan Diploma Award untuk puisi Langit Pasifik pada International Poetry Festival «Taburetka» di Monchegorsk, Murmansk Oblast, Rusia (2017). Foto header: I Made Djirna, Pensive Woman, 140x130 cm, cat minyak pada kanvas.