Ilustrasi: Oluf Høst
Ars Poetica
Tetua itu merasa seperti pemuda. Tetua itu merasa seperti budak.
Melebur rasa takut yang berkecamuk. Sayang, puisinya terlanjur luntur.
Penyair tua dan muda beranjak keluar, meninggalkan konsep abstrak.
Mengalirkan ayat-ayat ke sel darah, menempati tetubuh yang lentur!
Sang Penyair
Penyair adalah pembawa damai,
Pencipta dunia yang harmonis.
Di rimba raya yang tenang ini,
Cintailah yang tua dan yang muda.
Penyair adalah guntur,
Puisinya sebagai kilatan petir!
Tersimpan di tempat anak panah,
Yang dapat menggulingkan tirani!
Dia adalah pemanah dan pegulat,
Terus terang; dia petarung ulung
Sekaligus pejuang! Namun, nekad!
Pria sederhana nan pemberani!
Penyair adalah polimatik,
Di mana dia tidak diciptakan!
Kasih membuatnya kaya raya
Dan dipuja anak-anak negeri.
Tak perlu tampak abu-abu dan botak!
Penyair dapat menggerogoti tulangmu;
Ini pesan dilontarkan Olav, sambil duduk
Berselonjor santai di kursi empuk.
Suatu Pagi di Musim Dingin
Aku terbangun di pagi buta
Kecemasan menjenguk tubuh
Mengendus pelan dengan sopan
Dan mencakar-cakar di tempat tidur.
Hasrat pangeran yang diperbudak,
Tergesa-gesa menaiki kasur
Seseorang melompat, menggeram,
Dan merobek kaus kakinya.
Aku tak melihat logika belaka
Dalam tindakanmu, teman:
Tanpa alas kaki, bagaimanapun
Aku tak akan jalan bersamamu!
Jam berapa sekarang? Fajar terpaku.
Gelap. Salju melayang. Tidak ada keluarga.
Hanya seseorang tua berjalan dengan tongkat
Dan berseru: ambillah!
Mari berlari! Ke sana dan ke sini,
Setengah jam berlalu begitu saja,
Tapi di lantai lima terasa hangat
Diterangi sinar lampu kuning.
Pembuat kopi mendengus ketel
Dan menyanyikan sebuah tembang.
Tak ada orang yang menggeram
Hanya mencintai keluarga seutuhnya.
Ah, menit-menit berlalu,
Aku tak memiliki kata-kata!
Sayang, ucaplah sayonara kepada ayahmu,
Ia hanya seorang pengabdi kebebasan.
Harapan penuh keniscayaan kini
Mari, lekas kita bergegas ke sana,
Di rumah, seseorang telah menunggu
Untuk apa? Untuk perjamuan malam.
Gang
Di Melnichnoye,
Dekat pabrik penggilingan tepung,
Aku menembukan dirimu setahun silam
Abadi – Membayangkan usia.
Aku menggali parit-parit
Dan kau datang bertamu
Di hari yang sama, setelah istirahat
Lima puluh tahun.
Apa itu lima puluh?
Bertahun-tahun ketika aku berkeliaran
Cabang-cabang bergantungan bersama
Pada abad terakhir dan kemarin.
Kenangan ini terasa ringan daripada bulu burung
Begitu pula butiran debu dan tepung
Menjadi abadi dalam buaian.
Di penggilingan, waktu bergerak
Begitu cepat tanpa tergesa-gesa.
Pion-pion berjalan perlahan
Mereka bergegas mencari ratu.
Waktu serupa catatan panjang,
Keriuhan deru mesin di pabrik.
Siapapun tak perlu mengejar waktu
Sebab kita menerima kefanaan.
Seorang ibu menemani putranya
Di barak. Tak ada akhir
Keabadian. Dan butiran debu
Seperti serbuk sari bunga.
Bagaikan saga seorang novelis,
Baginya waktu berjalan tanpa penghujung.
Siapapun tak perlu mengejar waktu, sebab kita menerima kefanaan.
Pesawat Terbang
Kita berciuman di kebun stroberi,
Jarum pinus semerbak mewangi,
Sorotan matamu melayang
Di wajah dan pundak ini;
Kita bercinta di malam gelap
Sedang di loteng jerami penuh duri,
Suatu tempat asri dekat bandara;
Pagi masih buta saat aku terbangun
Menelan dingin di dekatmu,
Hanya hujan menaburi kabut
Di atap rumah yang bocor;
Bunga mekar di sungai Oka,
Payung manis berdengung,
Mengecup namun tak melihat
Kehadiran sekawanan lebah;
Kita berpelukan di derunya air
Berbaring dekat bersama.
Dan langit tampak rendah
Saat pesawat itu terbang...
Aku Melihat Pegunungan
Aku lihat pegunungan curam,
Menatap kilau, dingin serupa mika.
Awan meluncur dari tebing tinggi,
Orang-orang saling menyapa di jalan.
Kau bergegas mengisi air di baskom
Seperti abad-abad lama yang panjang.
"Hampir setengah perjalanan kita tempuh," ujarmu.
Tiba-tiba sebuah garis melayang keluar dari dengungan.
Aku melihat dan menatap matamu,
Kau tidak berjanji untuk kembali lagi
Aku menyapa dan mengucapkan selamat tinggal,
Maafkan atas kekurangan ini.
Kegagalan kecil atau besar
Kau melepas kepergian dengan sedih dan bahagia.
Dua pertiga kehilangan, bukan sebaliknya kuharap
Ini kenangan berlalu begitu saja.
Elegan, kau berpose elegan di sana,
Sedang aku hanya mematung dan melamun.
Tiba-tiba melihat wajahku sendiri bermuka dua
Saat menatap, kau pasti berpikir: "Aneh sekali!"
Seolah-olah aku menemukan pencerahan;
Ada sebuah kerajaan di kaki punggungan,
Mengingatkanku pada putri yang datang
Pintu akan dibuka saat tabir malam tiba.
Tanpa menulis, garis tangan muncul perlahan
Milik orang lain sama seperti di nadi milikku,
Aku menyadari betapa banyak waktu tersisa.
Betapa aku ingin kembali. Aku mengerti kini.
Aku tak pernah mengucapkan selamat tinggal dan menyerahkan kerajaanku,
Aku tak akan meninggalkan mereka yang kucintai,
Aku pasti kembali ke pegunungan dan lembah
Dan bukan memuaskan hasrat sendiri.
Aku tak akan menerima perpisahan dan pengampunan,
Menunggumu seperti pemabuk yang berpesta pora,
Pada pusaran celah ngarai, perlahan aku mulai
Pusing mendengar suara dengungmu.
Ingat, Teman-teman
Ingat, teman-teman; generasi dahulu
Pada sayatan di topi sebelum perang.
Mereka sangat mencintai kita,
Tangan pemberani memimpin mereka,
Meski kadang kita saling berselisih.
Ketika genderang maut menimpa mereka,
Nasib menggariskan sesuatu hal yang lain;
Bagi kita, yang tidak dapat dibatalkan
Bagi mereka, yang tidak akan dituliskan
Kepada para penjaga tanah air.
Badai salju meninggalkan jejak,
Kalender-kalender perlahan hilang,
Tahun-tahun kehidupan bagai kereta terbang
Begitu lama kita menjadi yatim piatu!
Ingat, teman-teman,
Ingat, teman-teman,
Apa mungkin kalian mampu
Mengungkapkan isi hati tanpa kata-kata;
Bagaimana mereka berdiri
Di kantor pendaftaran militer,
Dengan kepala dicukur selamanya.
Mari kita mengenang mereka ini hari,
Membuka jalan yang pernah mengerikan.
Segera, tak kan ada orang lain selain kita,
Mendengar bunyi peringatan pertama.
Ketika guntur maut menimpa mereka,
Alunan orkestra mengalun merdu di distrik,
Kita hanya menelan suara-suara
Penuh kemarahan dan kesedihan,
Biarlah musik terdengar terus.
Ingat, teman-teman,
Ingat, teman-teman,
Hanya kalian yang lihat;
Bagaimana mereka berjalan
Dari kantor pendaftaran militer,
Dengan kepala dicukur selamanya.
1977
Bacaan rujukan
¹ Puisi-puisi Dmitry Sukharev. Moskwa: Jurnal Znamya, Nomer 2, 2007.
² Dmitry Sukharev. Membaca Kehidupan. Moskwa: Pengarang Soviet, 1984.
³ Dmitry Sukharev. Cahaya Sore dan Pagi. Moskwa: Pengarang Soviet, 1989.
Dmitry Antonovich Sukharev, penyair dan penulis, lahir di Tashkent, Uzbekistan, 1 November 1930. Alumnus Fakultas Biologi, Universitas Negeri Moskwa, Rusia. Puisi-puisi Sukharev telah dipublikasi di berbagai surat kabar dan majalah sejak akhir 50-an hingga kini. Buku kumpulan puisi pertamanya Tribute diterbitkan di Moskwa pada 1963 dan kumpulan puisi terakhir adalah Hills (Yerusalem, 2001) serta sebuah prosa Semua Adalah Kepunyaanmu: Karangan Bunga Soneta (Saint Petersburg, 2005). Penyusun dan editor buku Antologi Lagu Penulis Rusia (Yekaterinburg, 2002). Dia telah meraih penghargaan Federasi Rusia untuk kategori sastra bernama Bulat Okudzhava Award (2001), Penghargaan Andrei Sinyavsky dari Novaya Gazeta untuk kategori "Kebangsawanan dan Perilaku Kreatif dalam Sastra" (2000), dan penghargaan "Karangan Bunga" dari Persatuan Penulis Moskwa (2004). Kini, tinggal di Moskwa. Puisi-puisi Dmitry Sukharev di Sajak Kofe - Media Indonesia diterjemahkan oleh Iwan Jaconiah, penyair, editor puisi Media Indonesia, dan kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin, Pentas Grafika, Jakarta (2022). Ilustrasi header: Herring Women, cat minyak pada kanvas, 115 x 73 cm, 1963, karya Oluf Høst (18 Maret 1884 – 14 Mei 1966), pelukis ekspresionisme Denmark. MI/Dok Bornholms Kunstmuseum. (SK-1)