Ilustrasi: Peni Cameron
Struggle
Adalah kemungkinan yang tak dapat dimungkiri dari setiap anak manusia; terlahir ke dunia dari rahim alam, tanpa mengenali bumi, asal muasal ia mengatup mata tuk pertama kalinya. Mengetahui ibu dan bapaknya ialah keajaiban yang tak bisa dielakkan. Merupakan keberuntungan pula memiliki orang tua yang mampu membiayai persalinannya. Sebab tak semua punya kuasa dan uang.
Diri yang baru saja hidup dalam hitungan detik dan jam itu, mencoba merasakan kesusahan permulaan hidup. Adakah ia lahir secara sehat walafiat? Adakah cacat di tubuhnya? Apakah organ-organnya berfungsi secara baik? Tak semua tahu di awal hidupnya.
Bertemulah ia dengan orang-orang saudara sedarah; orang tua, nenek dan kakek. Didekatinya, diciuminya, dipeluknya, dipanggil-panggil namanya, dan disayanginya dengan baik-baik; sebuah keajaiban menyelimuti hari-hari penuh tanya.
Berawal dengan keajaiban itu. Ia datang satu persatu dalam bentuk kepemilikan. Sedari kecil keajaiban telah muncul penuh kebaikan dan ia merasa senang di setiap saat. Dunia besar sekali dilihat atau diraba. Semua indra-indra berfungsi dengan sempurna rupanya juga menjadi keajaiban.
Hingga akhirnya, ada beban masuk perlahan dengan tumbuhnya akal anak manusia. Di tengah-tengah pertumbuhan sebelum beranjak dewasa, kesadaran mulai masuk dalam bentuk lain dari keajaiban. Memberi suatu pemahaman tentang ketidakpunyaan.
Pertanyaan-pertanyaan mulai tumbuh di benak seumur remaja, perihal muasal tempat ia lahir. Bertanya tentang orang-orang yang ada ketika ia rasai sadarnya itu. Dan pertemuan dengan lingkaran sosial yang lebih besar membuatnya kembali bertanya dengan sekelumir pertanyaan hebat di kepalanya;
Apakah semua ini ajaib? Kenapa aku tak memunyai yang orang lain miliki? Kenapa aku tak memiliki ibu atau bapak? Kenapa tiada kakekku? Pula nenek sakit-sakitan? Kenapa uang jajanku berbeda dengan uang jajan orang lain? Kenapa aku tidak sekolah? Kenapa yang lain mampu kuliah? Kenapa aku belum mengecap pendidikan magister? Kenapa orang lain belajar di luar negeri dan aku tidak? Semua pertanyaan melayang hingga ke langit dan planet. Satu per satu tak mampu dijawab secara benar.
Dengan adanya perbedaan dari hal-hal yang tidak dipunyai, perasaan muncul dari benak itu, berkembara ke alam yang tiada tahu ujung pangkalnya ke mana. Ia menyadari hal-hal ini dengan sendirian, dengan perkembangan akalnya. Bagimu, orang tua ada di sisimu. Ia muncul dengan sendirinya ketika kamu lahir. Tumbuh terus menerus dan terpenuhi tahapan-tahapan pendidikannya hingga akhirnya dapat belajar di perkuliahan. Keinginan-keinginan muncul lagi dan menggeliat untuk memilikinya satu-satu.
Perlahan apa yang namanya mimpi atau cita-cita menjadi hal yang kamu kejar terus menerus dengan kebutuhanmu untuk memilikinya lagi dan lagi. Akhirnya tumbuh kepadamu untuk melampaui gelar sarjanamu, karena kamu telah menyelesaikannya secara baik tanpa harus bersusah payah.
Betul! Kamu bergerak karena tidak memiliki apa yang kamu punyai saat itu. Ya! Mungkin saja ada di tangan orang lain. Kamu menyebut mereka: inspirasi. Dan tiba-tiba saja, kenyataan menjadi beban yang sangat berat untuk dipikul sendiri.
Muncullah suatu kabar baik saat keinginan-keinginan tiba dalam bentuk kesempatan. Kamu berseri-seri, mendapatinya dan akhirnya menggamit dengan gigi taringmu. Awalnya, seperti saat bayi dan anak kecil kembali. Kamu membuka seluruh ketidakmampuanmu dulu dengan terbentangnya kesempatan itu.
“Tuhan, ajaib-Mu kembali menyapa,” katamu dalam hati. Terbanglah melampaui rumah-rumah, komplek, desa, kota, pulau dan ibu pertiwi menuju tanah yang luas, yang tidak pernah terbayang kecuali hanya saat-saat kamu menatap langit-langit kosanmu di Bandung.
Hidup semakin menampar lebih keras lagi di jiwa anak manusia.
Semua bermula dari serial-serial. Ajaib! Suatu kosakata dalam benak yang tak ada yang mampu menghalangi perasaan senang dalam isi dada orang-orang. Ajaib! Hingga kesusahan datang; menampar secara halus, penuh candaan. Itulah yang dikira-kira anak manusia. Berpatah mimpi, ketika ia datang menghampiri tak sesuai dengan benak-benak anak manusia yang mau memiliki keinginan-keinginannya;
Semua terbuang, terhampar ke jalan-jalan
menuju mimpi, bergerak atas keinginan; resiko
yang pada mulanya terbebani oleh keajaiban hidup.
Semua hal yang tadinya terlihat di awang-awang, berita, video, dan gambaran manapun, mampu ditemukan anak manusia dengan ciptaan quantum fisika dalam bentuk persegi panjang di genggamannya itu. Menjadi ladang munculnya benih-benih ujian. Hidup semakin menampar lebih keras lagi di jiwa anak manusia.
Dan mungkin saja di jiwamu; orang-orang yang jauh dan yang tak tergapai di mata, muncul dalam bentuk gonjang-ganjing mengatai hidupmu. Benak terpenuhi, terjejali oleh hilangnya estetika, yang awalnya anak manusia pikir itu hebat; dan kesempatan menuju mimpi-mimpi membuat keceriaan pun memudar.
2023
Poignance
Terbentang harap bahwa keinginan yang telah termiliki akan berjalan baik dan benar tanpa susah payah, sebagaimana waktu-waktu lalu yang kamu jalani dengan senang, sungging senyum, dan gelak tawa. Berharap bahwa tiada kata sulit. Sebab kalau dipikir-pikir, keajaiban akan kembali menyapa, bukan? Dan langit-langit Tirai Besi menggumuli awan-awan kelabu, rinai-rinai peputihan yang loncat darinya menerpa wajahmu pada 2018 silam.
Terhampar hidup baru. Dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak diketahui. Entah apa yang menggapai anak manusia. Semua berusaha membuat pengalaman baru jadi hal yang patut untuk dijalani. Semua waktu yang ada, yang dihabiskan sendiri atau bersama, mampu bergembira di setiap saat.
Gedung-gedung tinggi menjulang, sungai-sungai mengalir dalam kelam malam, memantuli sinar bulan di saat sanubari benihi ingatan pada ceria di masa lampau. Tatkala orang-orang baru muncul; yang berbeda dengan kulit anak manusia lain di penjuru lain dunia, dengan wajah bentuk baru yang ditemui, dan dengan bahasa yang terasing.
Lidah kelu. Tak mampu kembali bersuara sebagaimana tempat asal berbicara. Cuaca menerpa badan; tergigil dan terkeluh dingin pada tulang-tulang rusuk yang seakan tergigit semut-semut merah. Dan kelabu awan mengitari sepanjang bulan-bulan penuh benih ujian pertama dari keinginan-keinginan.
Hari demi hari berlalu, seorang anak manusia bertemu dengan tatapan seseorang yang tak lagi muda, yang telah terlampau jauh dengan umurmu yang masih belia itu. Merasai nikmatnya pandang mata, terurai temali dan hati bertali-tali, serta berpeluk-peluk. Kali ini, terterpa bukan lagi oleh cuaca atau suhu rendah, melainkan kehangatan menghampiri dalam bentuk indahnya mencintai, dicintai, dan bercinta dalam balutan bentangan salju di mana-mana.
Namun, sedikit demi sedikit, kesusahan mendatangi satu per satu. Detak detik menggapai titik di mana tiada lagi seorang itu, yang terlampau jauh senyumnya di Tahta Pertama. Dan dekat dengan kepayahan sidang magister untuk kelulusan, dalam sedih dan pedih. Hidup harus dijalani sendiri.
Kamu mulai memotong buah-buahan, sayur-mayur, dan daging-daging di dapur asramamu. Terlampau di pikiranmu bukan lagi yang ditatapmu dalam bentuk buah, sayur atau daging, itu. Tapi tentang ingatan kebahagiaan di masa lalu; di mana kamu mulai mengembara dalam nostalgia akan ingatan-ingatanmu.
Kamu mulai memasak apa yang telah dicincang-cincangi, karena itulah yang dilakukanmu sebagaimana pelajar lain; yang hidup bersama dalam satu kungkungan asrama dan yang menamparmu dengan ketidaknyamanannya. Semua kamu tatap; simpang siur, lalu pedih di saat-saat dingin mencucuk tulangmu di Negeri Beruang Merah;
Hidup menampar jauh lebih keras
kamu belajar, bertahan, berlinang
jiwamu perlahan rapuh, lemas
hingga cemas kian bergelimang
Saat masak dan makan, dirimu mendongak ke langit. Mengingat masa-masa di Bandung dengan kebahagiaan, melangit harap, dan memiliki kesempatan untuk melampaui asalmu; menuju asal orang lain. Napasmu berbeda, naik-turun, rinai mengalir deras dari derai isi sukma yang berpalung durja. Mengucur bulir-bulir bening lewat ujung matamu. Kesedihan yang terlampau menusuk inti dirimu, perlahan mulai mengguncang dan menggoyahkan dirimu penuh seluruh.
Temaram malam lampu harap dan lamat menghitam, dirimu terus sesungukkan, dan hari pun makin dekat dengan ujian. Sebuah bagian hidupmu dalam melewati sidang kelulusanmu di negeri seberang. Ya, itu pula bagian dari pedihnya hidupmu karena tak lagi seperti dahulu ketika kamu senang dan gelak tawa ada di relung terdalammu.
Malam dan siang menjadi saksi tempat kamu membuta. Tak mampu lagi berjalan karena lemas lutut. Tak ada lagi harap, tak ada lagi nikmat, semua dunia dan manusia membelakangi, mencabik sekaligus menusuk. Sukma tak bersandar pada sesuatu. Ia hilang atau lenyap! Yang dicari sepanjang tiga tahun menempuh hamparan baru. Ya, serupa pengap harapmu pada waktu itu, saat masih di Bandung dahulu.
Kelabu; berkelabu, berhambur, bersalju. Ia putih, tapi langit tetap menghitam sebagaimana mulai memekatnya perasaanmu. Menjalani pemiskinan rasa senang di waktu-waktu yang seharusnya gigi terus terlihat oleh orang lain dengan keceriaan. Di lembah kehidupanmu; malam menjadi pekat, tiada sinar bulan, tiada secercah harapan, dan senja telah hilang. Suara jadi senyap. Dan dirimu terus-menerus usahai sulit-susah, berbekal jiwa yang berpatah-patah pula asamu; regasi pucuk pengharapanmu terkungkung beban besar yang meretakkanmu, lalu menjadikanmu lumpuh dalam kepedihan abadi.
2023
Baca juga: Sajak-sajak Alif Ichsan
Baca juga: Sajak-sajak Osip Mandelstam
Baca juga: Sajak Kofe, Ruang Puisi di Media Indonesia
Adrian Shabir, penyair dan prosais muda, lahir di Jakarta, 20 September 1998. Peraih beasiswa untuk program pertukaran Mahasiswa Indonesia-Rusia dalam kajian pengenalan bahasa dan budaya selama satu semester di Peoples' Friendship University of Russia, Moskwa, Rusia. Surat-surat kepada Galina (Letters to Galina) merupakan sebagian kecil dari sebuah buku antologi puisi-prosais tunggalnya yang sedang dipersiapkan untuk penerbitan. Sehari-hari bergiat dan berpuisi di Jakarta. (SK-1)