Puisi-puisi Zahid Ilyas

Ilustrasi: Axil Tinsti 

Cinta dan Benci 

Jika cinta membuatmu buta 
pada kesalahan, itu gila namanya. 
Jika benci membuatmu buta 
pada kebenaran, itu dengki namanya. 
Jika cinta dan benci kau letakkan 
di atas kepentinganmu semata, sungguh 
kau takkan pernah bisa jadi manusia 
yang bermanfaat bagi sesama. 

Di tengah limpah ruah kemunafikan, 
dusta-dusta yang dibenarkan 
dan kebenaran yang terus didustakan, 
hanya sang pemilik akal sehat 
yang mampu menempatkan 
cinta dan benci secara benar. 

Bogor, Agustus 2022 


Mabuk Kepayang 

Saat memandang rembulan 
ada yang ingin kukisahkan, 
tentang cahayanya nan indah 
sebelum fajar menghapus jejaknya. 

Saat datang mentari pagi 
ada yang ingin kuucapkan, 
tentang sinarnya yang menerangi 
sebelum menjelma jadi energi. 

Saat melintasi rindang pepohonan 
ada yang ingin kukatakan, tentang 
oksigen yang diruapkan dahan 
sebelum lesap ke pernapasan. 

Saat memandang dirimu 
lucut hasratku ‘tuk lukiskan 
keelokan rembulan, mentari pagi 
atau rindang pepohonan. 
Kerna semua aura keindahan 
telah tercurah dalam wujudmu seorang: 
kau! Yang tak henti membuatku 
mabuk kepayang. 

Bogor, September 2022 


Menuju Maqom Wanita Shalehah 

Sisa air wudhu di wajahnya
belum sempurna mengering ketika 
perempuan muda itu bergumam 
di muka sebuah cermin: 
“Jangan kau campakkan norma 
dari keindahan. Ia adalah selaput
cahaya, perisai keindahan kaum hawa.” 

Maka perempuan itu berjanji 
‘tuk menjaga dengan seluruh sujudnya 
keindahan yang dititipkan padanya. 

Telah bulat tekadnya, tinggalkan 
yang semula dianggap simbol kekinian: 
pesta, hedonisme dan sampah peradaban 
yang lama nyaris ia pertuhankan. 

Perlahan, tatkala ia bangun 
fondasi kehidupan spiritualitasnya 
orang-orang memicingkan mata, 
sahabatnya bertanya-tanya, sebagian 
bergunjing dan sebagian menaruh curiga: 
ia terperangkap di komunitas yang salah. 

Ia tak pedulikan itu kini, 
semua dipasrahkan pada ilahi. 
Ia terus menjaga langkahnya 
dengan seluruh indera dan sepenuh 
air mata sujudnya. 
Ia semakin istiqomah, 
semakin asyik melangkah 
menuju maqom wanita shalehah

Bogor, September 2022 


Gadisku

Gadisku, 
bila ‘barang jadi’ yang kau mau 
bukan aku saat ini pilihanmu.  
Meski ingin sekali kumeyakinkanmu  
akulah bahan baku terbaik masa depanmu.

Gadisku,
aku tak suka air tenang yang dangkal.
Kuingin membawamu ke samudra 
luas membentang.
Tapi jika kau takut empasan gelombang,
lekas tinggalkan aku sekarang!

Gadisku, 
bila kau terus meragu
akan kupastikan kegagalanku,
karena kepastian 
‘kan memberi matahari baru 
yang membakar semangat hidupku.

Bogor, Agustus 2022 

 

Garudaku yang dulu gagah terpampang di dinding rumah, kini tampak terkulai dan nelangsa. 


Sajak Sederhana

Katanya di tiap bait sajakmu
ada tersimpan makna, namun 
tak kutemukan dimana 
tempat persembunyiannya.

Katanya di tiap baris sajakmu
tersembul keindahan, namun 
tak bisa kurasakan seperti 
apa getarannya.

Katanya di dalam lubuk sajakmu
ada seberkas cahaya, tetapi aku 
tak mampu ‘tuk menyingkap terangnya.

Ah, kau bersajak hanya
untuk sesama penyairkah?

Duhai penyair, tulislah
sajak yang tak bikin pening ini kepala  
‘tuk redakan syaraf-syaraf yang kejal    
setelah sekian lama akal sehat kami 
diburu dan dijegal. 

Ya, sajak sederhana
yang bikin jernih pikiran, 
bikin hati tercerahkan 
agar akal sehat kami tetap terjaga
di tengah kepungan akal-akalan 
kaum serigala.

Bogor, Agustus 2022 


Air Mata Garudaku 

Garudaku yang dulu gagah 
terpampang di dinding rumah, 
kini tampak terkulai dan nelangsa: 
“O, siapa gerangan yang demikian rakus 
menyesap darahnya, hingga wajahnya
terlihat begitu pucat dan lelah?”
 
Di tubuhnya banyak luka menganga 
seperti bekas galian tambang 
yang ditelantarkan begitu saja.   
Rambutnya pun semakin rontok,
kepalanya pitak di sana sini, bak hutan 
yang rusak dijarah para pencuri.
Dan bukan pencuri rendahan, bukan! 
Tetapi gerombolan bandit berdasi 
yang diberi hak menggasak hutan
atas nama konsesi. 
 
Saat Garudaku menitikkan air mata
menyemburlah mata air bencana    
menerjang sawah, ternak, ladang
dan pemukiman warga.
Lenyap harta benda, bahkan jiwaꟷ
lenyap sia-sia ditelan kerakusan
tuan-tuan di kota.
 
Bogor, Juli 2022 


Ambang Batas

Bila suara hati terus dibungkam           
dan gairah melawan kezaliman padam,
itu pertanda satu negeri sedang terancam:
yang zalim semakin bebal dan ugal-ugalan
menerabas ambang batas kesabaran
menebar kecemasan demi kecemasan.

Bila kesabaran terus ditekan
tersulutlah sumbu ledaknya yang terpendam 
memuntahkan amarah yang meradang
mencabik-cabik, meraung dan menerjang 
merenggut hidup surut ke belakang.
 
Bila keseimbangan tak adil ditegakkan
maka ketimpangan ‘kan menempuh 
caranya sendiri untuk mengadilinya!

Begitulah suratan alam
seperti senandung kelam jalanan: 
Andai keseimbangan terus kau rusak,
andai keadilan dan kebenaran
kau kuasai sepihak, kelak kami kan datang  
bagai air bah yang menerjang! 

Bogor, Juli 2022 


Aku Ingin Bertanya

Karena kalian manipulasi kebijakan 
dan kami yang jadi korban.
Bertimbun-timbun harta kalian punya,
saling berebutan kami mengais yang tersisa,
maka aku ingin bertanya: 
“Benarkah kita masih satu bangsa?”

Karena kalian kangkangi jutaan hektar lahan
sedang hidup kami di sepetak tanah garapan
(itupun tak jarang masih juga diburu dan ditekan).
Di rumah-rumah super megah kalian tinggal 
di petak-petak sumpek kami saling berjejal,
maka aku ingin bertanya:
“Benarkah kita hidup di tanah air yang sama?”

Karena kalian selalu omong cuan demi cuan 
sedang kami gagap meniti hari-hari ke depan.
Pundi-pundi kalian berjejalan angka triliunan
saku kami kian kurus digerus inflasi, dihajar 
harga-harga kebutuhan dasar, 
maka aku ingin bertanya:
“Benarkah kita masih satu bahasa?" 

Ah, percuma ikrar sumpah pemuda itu 
saban tahun diucapkan, 
percuma slogan NKRI harga mati 
saban hari diteriakkan, 
sementara mata dan telinga kalian 
tertutup rapat pada kesenjangan
yang kian melebar dan semakin curam.

“Akankah keadaan ini terus dibiarkan
hingga datang tragedi nanti?”
  
Bogor, Juli 2022 

 

Baca juga: Puisi-puisi Frans Purba  
Baca juga: Puisi-puisi Ibnu Wahyudi
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia

 

 

 

 


Zahid Ilyas, dosen dan penulis lepas. Tulisannya berupa opini, kolom, cerpen, dan puisi pernah dipublikasikan di sejumlah surat kabar nasional dan daerah serta media daring. Sehari-hari bekerja sebagai dosen mata kuliah epidemiologi di Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis, Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat. (SK-1)