Ilustrasi: Tatiana Abramova
Buku Sejarah yang Enak Dibaca
semakin hari semakin terasa
jogja sememang istimewa
telah menjadi objek antropologi
sedari kini, sepanjang nanti
: jogja memang semakin semakin aja,
buku sejarah yang enak dibaca
MBoro, Desember 2022
Suatu Senja di Stasiun Tugu Yogyakarta
rindu ini begitu menggelegak di ubun,
setelah bertahun-tahun diperun
apakah kan kutunggu datangnya malam
hingga kobar api perun rindu ini padam,
agar tak terjebak dalam amuk sekam?
bergegas aku, dikau sudah menunggu
semenjak satu setengah jam yang lalu
sendiri, tak seorang pun menemani
“ini perjumpaan, sekaligus perpisahan
aku yang pergi, dikau yang kembali
senja ini kan menjadi saksi, rindu ini
tak dapat kusimpan lagi,” katamu
jarum jam begitu lama beringsut,
membuat hati semakin ciut, dan
bertanya-tanya:
adakah jumpa yang lebih celanat
daripada debar jantung maksiat?
pluit kereta api di stasiun tugu itu belum juga kudengar,
tapi jerit pekiknya begitu hingar-bingar
memekak, memecah gendang dengar
sekeras pengumuman, panggilan keberangkatan
sederas air mata yang bercucuran
kita pun hilang kata, hanya mata bercerita
tentang seribu wajah rona
tentang sejuta risalah cinta
lewat decit denyit besi, roda kereta api
MBoro, Januari 2023
Berjumpa Dorodjatun di Masjid Gedhe Kauman
I
“kaupaksa juga aku datang,
dan kita bertemu berbincang
padahal dikau tahu, perihku masa lalu
telah pindah, dari mahkota dan singgasana
di istana ke hamba sahaya di imogiri sana.”
rupanya ke sini jua aku kembali
ke sebelah kilen alun-alun lor ini
bukan setakat mengadu, juga bertemu
selepas wudhu, meletak dahi di lantai itu
: melepas semua himpit dan tekanan
menyuir-nyuir kapit panggang pikiran
dorodjatun, apakah dikau merasa kusiksa,
setelah kupaksa menahan air mata?
setidaknya, biarkan kita bertatapan
cinta itu satu, milik Tuhan
memang, sentil sudah tak ada lagi
pun alas godong pisang, telah diganti
: tapi bukankah kita telah lahir begini,
di sela denting petik siter
pengiring salawat dan puji-pujian ini?
maafkan aku, dorodjatun
datang dan memaksamu bersembang
sebab renyuh ini sudah jauh lebih tinggi
dari puncak paling pucuk gunung merapi
II
“tak tertahan, hati dan pikiranku diunggun
tak dapat debu dan asap merapi menghijap,
walau sekejap
langkah-langkah renyuh itu terus merayap
bising, mulutnya tak dapat kubekap.”
sungguh tak kusangka dikau ke sini, rayi
aku begitu tersiksa, dipaksa menjadi saksi
berbincang tentang alun lor yang dipagar besi
bersembang tentang masjid gedhe kauman
yang semakin kesepian
selain tangis dan ratap kehambaan,
apakah derit perih ontel-ontel itu juga
hendak kaudengar lagi, rayi?
sudah kubawa mereka semua ke imogiri,
roda-roda itu tak dapat berputar lagi
walau setakat kayuh di tempat
walau setakat simpuh sesaat
pun jejak telapak kaki, telah tergerus
hentak dentum kapla yang memupus
bising knalpot dan carut-marut pedas
terus menggilas
maafkan aku, rayi
tak sempat menyiap ucap salam
gending serimpi bedhaya tak berdaya
pekik cekik mereka begitu memaksa
Jogja, Januari 2023
Aku masih ingat, hatiku terbakar hebat dan panasnya ke ubun-ubun mencuat.
Angkringan Mbak Sri di Ujung Mangkubumi,
di Depan Stasiun Tugu yang Hilang Jejak Kaki
angkringan mbak sri sudah tak ada lagi
nyusul dorodjatun, pindah ke imogiri
kini hanya lalu-lalang orang berjalan sungsang
dari depan ke belakang
ke dahulu dari sekarang
mengais waktu dan jejak kaki, mencari jatidiri
aku salah satu, menyusuri malioboro
dari pasar kembang hingga senisono
hanya genang tumpahan air mata kujumpa
: seorang pedagang perempuan yang pingsan,
dihanyang ketakutan
setelah tahu dorodjatun yang beri tumpangan
dan memikul keranjang barang dagang dengan
pundaknya sendiri
: pundak sarat beban, tapi ringan dipikulkan
angkringan mbak sri sudah tak ada lagi
hanya wajah pucat kursi taman dan tiang besi
lampu-lampu jalan ala kerajaan berjejer,
garang terpajang, lagak cekak pinggang
namun setakat bentuk, rupa dan warna
setakat tanda tangan dan nama
MBoro, Desember 2022
Aku Masih Ingat
: kepada dorodjatun
di pinggang, gagah dan hengkek
terselit kanjeng kyai ageng kopek
di genggaman jantan tangan kanan
kanjeng kyai ageng pleret kauheret
aku masih ingat,
ketika wajahmu saga dipanggang kata-kata,
tak sepercik panas jejas ke hati dan kepala
kanjeng kyai kopek tak mencelat dari sarung
kanjeng kyai pleret tak terangkat siap tarung
dikau memilih berjalan, melangkah pelan
meniti seutas tali, hati-hati
: dari bengis pucuk merapi paling bara api
: ke titik jenguk parangtritis paling bidadari
– garis imajiner negeri yang tak pernah mati
di monumen tugu itu dikau berhenti
mendekap jelata, mengusap air mata
menimang mengelus hidup hati mereka
sebelum terus berjalan, selurus-lurus
– garang gerbang pintu istana kautepis
– mahkota singgasana tak kaugubris
aku masih ingat, dorodjatun
ketika itu, hatiku yang terbakar hebat
panasnya ke ubun-ubun mencuat
MBoro, Desember 2022
Baca juga: Sajak-sajak Uhan Subhan
Baca juga: Sajak-sajak Boris Pasternak
Baca juga: Sajak-sajak Baltasar Lukem
Norham Abdul Wahab, penyair, lahir di Bengkalis, Riau, 15 September. Menulis puisi, esai, dan cerita pendek (cerpen). Alumni Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya), Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia pernah berkarir sebagai redaktur budaya di Riau Pos. Buku kumpulan puisinya, yaitu Preman Simpang (2018), Tuah Uzlah (2019), dan Gila Bayang (2020). Sedangkan buku kumpulan cerpennya, yaitu Ulat Perempuan Musa Rupat (2018) dan Faqih yang Kesepian (2022). Dua puisinya di Sajak Kofe - Media Indonesia berjudul Aku Masih Ingat dan Angkringan Mbak Sri di Ujung Mangkubumi, di Depan Stasiun Tugu yang Hilang Jejak Kaki akan termaktub dalam buku Antologi Puisi Yogyakarta Istimewa Pagelaran. Kini, tinggal dan berkarya di Temboro, Magetan, Jawa Timur. Ilustrasi: Tatiana Abramova, berjudul A Glacier, cat minyak pada kanvas, 150 x 150 cm, 2023. (SK-1)