Ilustrasi: Isaac Levitan
Aku Ingat, Aku Ingat Cintaku
Aku ingat, aku ingat cintaku
cahaya rambutmu tampak terurai.
Perpisahan itu sulit dan tak mudah,
namun aku harus meninggalkanmu.
Masih kuingat malam musim gugur,
bayangan pohon birch bergemeresik,
hari-hari menjadi lebih pendek, maka
biarkan bulan bersinar lebih lama bagi kita.
Kuingat kau berbisik lembut;
"Tahun demi tahun pasti berlalu,
kamu akan lupa semuanya, sayang
kamu telah menjadi temanku selamanya."
Ini hari pohon limau berbunga
mengingatkanku lagi akan itu rasa,
betapa sabar merawat, namun
tunas-tunas terlanjur mengering di pot.
Sukma membeku tanpa siap
tuk mencintai hati yang lain.
Serupa kisah terindah, namun
aku masih saja mengingatmu.
1925
Pengganggu
Hujan luruh membasahi
ranting-ranting di padang rumput.
Hembusan angin menghamburkan dedaunan
sama seperti hujan dan angin, aku adalah pengganggumu.
Menghuni semak belukar,
seperti seekor lembu yang tersesat.
Perutnya kenyang berisi daun dan batang
sementara lututnya kotor berlumuran lumpur.
Kawananku seorang pemberani!
Siapakah yang dapat bernyanyi lebih baik?
Lihat dan pahami saja sebab senja
telah menjilat jejak kaki manusia.
Bangsa Rus, penopang Rus!
Aku satu-satunya penyanyi dan pembawa kabar.
Memuisi tentang jeritan hewan-hewan peliharaan
lalu memberi mereka rumput-rumput segar.
Aku bermimpi di tengah malam purnama;
sedang mengambil getah susu pohon birch!
Seperti ingin mencekik leher seseorang,
namun tangan tersalib di halaman gereja!
Kisah horor berkeliaran di perbukitan
pencuri yang dengki memasuki kebun kami.
Berjalan sendiri sebagai perampok
mencuri kuda-kuda di stepa.
Siapa pernah melihat amarah di malam angker
yang mendidih seperti rebusan ceri?
Aku ingin berada di padang luas saat senja lenyap
dan berdiam dengan tenang di suatu tempat.
Ah, semak belukar buatku layu,
tersesat ke dalam irama lagu.
Mendapati hukuman kerja paksa;
sebagai pemecah batu dan pemimpi.
Tapi janganlah takut, wahai angin gila!
Ludahkan saja dedaunan saat kau melintasi padang rumput.
Aku seorang penyair, tak dapat kau menghapus namaku,
sebab puisiku telah dinyanyikan sebagai lagu pengganggu.
1919
Kamu Bilang Sabarlah...
Kamu bilang sabarlah
mendamba hanya di dada.
Kamu menunggu; demi Tuhan
aku akan belajar suatu hari nanti!
Kamu bernyanyi: "Melampaui Efrata
lebih baik sekuntum Mawar daripada gadis yang fana."
Jika mampu, biar kurangkai
lagu-lagu lain untukmu.
Akan kupotong setangkai mawar ini,
lagi pula, satu kesenangan bagiku ialah
tak perlu berada di dunia yang fana
lebih baik bersama Shagane yang manis.
Jangan menyiksaku dengan perjanjian,
sebab tak pernah bikin janji.
Aku dilahirkan sebagai penyair
mampu mengecup bibirmu meski lewat puisi.
19 Desember 1924
Lebih baik sekuntum mawar daripada gadis yang fana.
Jangan Menyiksaku dengan Kesejukan
Jangan menyiksaku dengan kesejukan
tak usah menanyakan berapa umurku.
Aku pernah melewati lembah kelam,
mengusung jiwa bagaikan kerangka.
Pada kenangan masa kecil dulu
dari pinggiran kota aku bermimpi
kelak menjadi kaya dan terkenal
serta dicintai oleh semua orang.
Ya! Aku kaya, kaya dengan kelebihan.
Dulu mataku silinder dan sekarang hilang.
Hanya satu kemeja yang tersisa dengan
sepasang sepatu mahal yang kini usang.
Ketenaranku tak lebih buruk,
dari jarak Moskwa sampai Paris
ini nama perlahan mengerikan,
penuh sumpah serapah.
Bukankah itu lucu, cintaku?
Saling berciuman, tapi bibirmu bagai timah
aku tahu perasaan ini terlalu matang,
namun sukma tak akan berkembang.
Masih terlalu dini bagiku untuk bersedih,
tapi jika ada kesedihan, itu tidak masalah!
Simpan emasmu di atas bukit saja sebab
seekor angsa muda gampang buat keributan.
Aku ingin kembali ke pinggiran kota,
mendengar suara angsa muda dan melihat
ia tenggelam selamanya dalam ketidaktahuan
aku ingin bermimpi seperti anak laki-laki.
Mendambakan sesuatu hal yang lain dan baru
tentang; tanah dan rumput yang tak bisa dipahami,
kata-kata apa yang tak belum pernah diungkapkan hati,
dan makna sesungguhnya yang belum diketahui orang-orang.
1923
Aku Menuruni Lembah
Aku menuruni lembah. Bertopi,
bersyal cokelat dan bersarung tangan.
Padang ilalang memerah muda bersinar di kejauhan,
sedang sungai mengalir tenang membiru luas.
Aku lelaki berhati riang. Tak ada yang dibutuhkan
hanya mendengar lagu sambil menyanyi dalam hati.
Andai saja kesejukan mengalir perlahan, maka
seorang gadis tak perlu jalan membungkuk.
Aku mengikuti jalur setapak di bawah lembah
berjumpa laki-laki dan perempuan anggun!
Kudengar seseorang bersiul membisikkan sesuatu.
"Hai, penyair, dengarlah! Apakah kamu bijak atau tidak?
Lebih baik di bumi. Tak perlu mengambang di langit.
Seperti kau mencintai lembah, begitu pula aku menyenangi kerjaku.
Apakah kamu seorang petani atau bukan?
Ayunkan sabit dan tunjukkan semangatmu."
Ah, pena itu bukan penggaruk. Ah, sabit itu bukan pena,
tapi garis-garis ke luar cenderung miring ke mana-mana.
Di bawah matahari dan awan musim semi
orang-orang membaca tanda selama bertahun-tahun.
Persetan! Lupakan saja pelajaran bahasa Inggris.
Baiklah, berikan sabit biar kutunjukkan maknanya;
bukankah aku temanmu, bukankah aku dekat denganmu,
apakah aku tidak menghargai kenangan saat di desa?
Aku tak peduli pada luka dan benjolan,
meski meradang di selimuti kabut pagi.
Aku terus berjalan melewati lembah
yang juga dilalui kuda dan domba.
Di ini baris ada lagu, di ini baris ada kata.
Itu sebabnya pikiranku bahagia.
Setiap sapi membaca puisiku dan
membayarnya dengan susu segar.
18 Juli 1925
Tanpa Sadar Aku Mendengar Suara
Tanpa sadar aku mendengar suara
dan melihat wajahmu yang ramping.
Aku ingin mengatakan: "Cukup!
Cari pembicaraan lain saja!"
Tapi untuk alasan lainnya, aku tak paham
dan malu, sebab kau berkata tidak pada tempatnya;
"Ya, ya...
aku sekarang ingat...
duduklah...
aku sangat senang...
akan kubacakan untukmu
puisi
tentang warung Rus..."
Selesai dibaca secara jelas dan lembut,
perasaan kita penuh kesedihan bagai kaum gipsi;
"Sergei!
Kamu tak sehat.
Aku menyesal,
ini memalukan bagiku.
Perkelahian apa yang membuatmu mabuk
sehingga diketahui seantero negeri
katakan padaku saja
apa yang terjadi denganmu?"
"Tidak usah."
"Siapa tahu kau mau bercerita?"
“Mungkin ibuku melahirkan
di saat musim gugur begitu lembap."
"Kamu adalah Joker..."
"Kamu pun Joker, Luna."
"Apakah kamu mencintai seseorang?"
"Tidak."
"Mungkin rasa itu lebih aneh.
Menghancurkan dirimu sendiri atas kenangan
yang sesungguhnya dapat kita pecahkan bersama..."
Jalanan berkabut.
Aku tak tahu mengapa memakai
sarung tangan dan selendangnya...
Luna tersenyum seperti badut
di hatinya tak ada orang lain,
anehnya aku pun merasa bosan
enam belas tahun cepat berlalu.
Kami berpisah saat fajar datang
menyimpan misteri dalam gerakan mata...
Ada sesuatu yang indah tentang musim panas
sebab di musim inilah, keindahan berseri dalam diri kita.
Januari 1925
Baca juga: Buah Roh Brodsky
Baca juga: Sajak-sajak Osip Mandelstam
Baca juga: Sajak Kofe, Ruang Puisi di Media Indonesia
Sergey Alexandrovich Yesenin, penyair, lahir di Konstantinov, Ryazan, Kekaisaran Rusia, 3 Oktober 1895 - wafat di Leningrad, Uni Soviet, 28 Desember 1925. Dia mengusung tema puisinya tentang kebangkitan liris dan nostalgia yang kemudian dikenal sebagai gaya imagisme. Buku kumpulan puisi pertamanya ialah Radunitsa (1916) dan diikuti Pembuat Jam di Pedesaan (1918). Dua buku tersebut mendapuknya sebagai penulis lirik yang lembut. Pada 1919-1923, ia bergabung bersama Kelompok Sastra Imagist. Nama Yesenin kian terkenal lewat karya-karya yang diterbitkan kemudian, seperti Mare Ships (1920), Moskwa Kabatskaya (1924), dan The Black Man (1925). Sebuah artikel "Catatan Jahat" diterbitkan oleh N I Bukharin di surat kabar Pravda, membuat gempar. Bukharin mengklaim bahwa Yesenin mewakili fitur paling negatif dari daerah perdesaan Rusia dan menyerukan untuk melawan Yeseninisme sebagai kelas alien. Kampanye pelecehan pun meluas untuk mengerdilkan Yesenin. Akibatnya, buku-bukunya tidak diterbitkan untuk waktu yang lama. Meski begitu, itu tidak menghalangi pengakuan masyarakat atas diri sang penyair liris tersebut. Karya-karya Yesenin kian dibaca dan digubah menjadi lagu-lagu, serta koleksi tulisan tangannya didistribusikan ke kolektor seni. Seperti dicatat oleh kritikus sastra D M Feldman bahwa "Catatan Jahat" tidak begitu mencerminkan posisi Bukharin dalam dunia sastra Rusia sehingga tak dapat menenggelamkan kreativitas penyair. Yesenin tewas secara tragis karena digantung, namun menurut versi yang sekarang diterima secara umum di kalangan peneliti dan akademis bahwa kehidupan Yesenin diakibatkan dalam keadaan depresi setelah seminggu perawatan di rumah sakit dan ia gantung diri.
Puisi-puisi Sergey Yesenin di Sajak Kofe - Media Indonesia diterjemahkan oleh Iwan Jaconiah, penyair, editor puisi Media Indonesia, dan kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin, Pentas Grafika, Jakarta, 2022.
Isaac Ilyich Levitan (1860-1900) adalah pelukis di era Kerajaan Polandia, Kekaisaran Rusia. Karyanya di sini berjudul Tumpahan, pensil grafit pada kertas, 11x16 cm, 1884. Sketsa itu digunakan untuk lukisan Banjir (1885). Koleksi Museum Seni Nasional Republik Belarus, Minsk. (SK-1)