Sajak-sajak Aan Taupuat

Ilustrasi: Syahnagra Ismaill

Hasrat Puan Muda 

Dia menarik-narik
Melempar senyum alap apik
Dalam hatiku selalu mencaci
Supaya dia tak berbuat begitu dan begini

Jangan kau undang lagi puan
Sebab aku hampir mati oleh kerinduan 
Ditambah khayal madu keberduaan 
Menari-nari di kepala tak karuan 

Palu, 25 Mei 2021 


Paduka 

Kata Paduka? 
Sungguh kata mengundang duka 
Lagi-lagi kau sematkan nomenklatur berimbas luka 

Hei, puan muda! 
Sudah cukup berbagai sapaan padanya 
Jangan kau undang lagi merah darah 
Merajalela bungkam 1001 kata 

Palu, 24 Mei 2021 


Anggrek Bulan 

Di kejauhan sana 
Mataku hinggap pada wajah adinda
Dia menatapku prihatin penuh gundah
Kemudian menggerakkan pelan bibir tipisnya

Aku tercenung 
Merasa begitu beruntung 
Syak wasangka di kepala mulai bertarung 
Isyarat nanap sukmaku cengang tertegun 

Palu, 24 Mei 2021 


Adinda 

Di matamu yang berkaca membubuhi sepi 
Bulir-bulir air seolah canggung bertemu pipi 
Setitik, dua titik, tiga titik di kanan dan kiri 
Meski tampak malu-malu tapi mulai berani 

Air matamu mengalirkan renjana 
Mengilat oleh polesan senja 

Palu, 24 Mei 2021 


Berahi 

Aku begitu lengang
Kopiku, mari kita bercumbu
Di atas secarik kertasku ini

Mari kita hasilkan klausa beta
Berkembang jadi kalimat nona
Tumbuh menjadi wacana kita
Hingga mengejawantahkan lakon Bunga Rekah

Kopiku
Jangan lupakan kenangan manisku
Nan hangat di bibir gelasmu
Membuat hanyut termangu 

Palu, 23 Mei 2021 


Mimpian 

Tertungkus lumus oleh padatnya candu 
Beradu acuh menyeru sebab kedatanganmu 
Kau hadir hanya membawa senjata dan peluru 
Menyambut hangat ketibaanmu, ternyata aku keliru 

Pada sukma ini kau suka mengutak-atik 
Membuat jiwaku tak berkutik 
Kau lepaskan cinta semantik 
Membuat ragaku seperti patik 

Kau gunakan bahasa bantu 
Sungguh pikiranku menjadi buntu 
Tatapanmu begitu kaku tak menentu 
Ternyata menyimpan seribu sendu bertutu 

Kau tinggalkan aroma tubuhmu itu 
Tertambat kencang, dalam mabuk hatiku bersatu
Rupanya kau sudah pergi, pancaran sinar baskara membuat mataku sangat terganggu
Ternyata, dalam mimpi aku terbangun sampai termangu-mangu 

Palu, 9 Februari 2021 


Tangan tulusku menggerayangi lukisan sendu sedang matamu menyimpan seribu rindu. 


Bukti Baktinya? 

Bising kipas masih saja dengan gaduhnya
Menemani malam panjang nang kalut keruhnya
Suara petikan hati terdengar dari genggaman jari 
yang takut gagal merasa menjadi bakti 

          Kibasan angan dan cita bergelantungan di tembok kamar itu
          Mula berbuat malah berbuah perangai mutu
          Menjadi bukti betapa banyak harus meniti
          Buruk perangai simbol hakiki gagal berbakti

Membayangkan kenapa harus dirinya?
Ataukah terlalu banyak buih dosa penyebabnya?
Mengapa bukan orang lain?
Mungkin saja ini wujud cinta menjelma ujian?

          Gaduhnya bising suara kipas menemaninya 
          Raut wajah masih penuh tanya
          Dalam gelisah ia menyatih resah 
          Jika saja maut menyapa ia hanya pasrah

Kendatipun gigih menapaki syair petuah puan
Menempa diri mengejawantahkan ketabahan
Hingga menyusuri sajak nasihat tuan
Begitu sarat akan ketangguhan

          Namun apa yang didapatkan? 
          Hanya memergoki penuh cacian 
          Namun apa yang diwasiatkan? 
          Sekadar sarat bertepas dengan kegagalan 

Badannya bak menyerapahi sanubari
Dengan pongah gigih berani menari
Batiniahnya bak tidak menguak congkak 
Dengan ungkap harap, agar sarap berlagak

          Tolong...! 
          Tolonglah dirinya! 
          Sungguh dirinya butuh Abati 
          Sayangnya, hanya bising suara kipas menemani malam kalutnya. 

Palu, 3 Februari 2021 


Petuah Abati 

Ndu, dengarkan!
Di sana tempat yang sarat akan pencitraan
Membubuhi wajah-wajah keserakahan 
Semua yang batil menjelma tontonan 
Sedang yang berhak tak dihiraukan 

          Ndu, pahamilah! 
          Mereka menyaksikan namun hanya pandai bersorak 
          Bahasa kebenaran hanya dipandangi lalu diinjak 
          Sumpah serapah sudah membaluti bait sajak 
          Antek sebenarnya tak mungkin lagi menyalak 

Jiwamu Ndu! 
Sekali tidak, tetaplah tidak! 
Jangan terbuai sanjungan butir-butir padang pasir 
Hatimu jangan berbalik sebab menyangkal munafik 
Niatmu jangan membelot sebab godaan murni mengukir 

          Jangan Ndu! 
          Ingkari menggunting dalam sebuah lipatan 
          Tidak menjilati apalagi sampai memakan 
          Jangan sampai menyeduh teh di lapik cawan 
          Sebab perjalananmu masih di perawanan 

Ingat Ndu! 
Untuk apa kamu diciptakan? 

Palu, 5 Februari 2021 


Izinkan Aku Menakwilkan 

Aku baru saja membaca 
Gurat sajak-sajak wajah yang diukir oleh jiwamu 
Dalam roma itu telah kubaca berbagai aksara muram bertahta 

Begitupun lukisan sendu 
Nan digerayangi tangan tulus di matamu 
Dalam gigihku melihat tadahan isak binar matamu yang menyimpan seribu rindu 

Wajah dan matamu adalah kau yang pasti aku baca, kendatipun aku mengeja 

Palu, 6 Februari 2021 


Secarik Renjana 

Tidak sengaja, di satu carik usang
Aku menemuimu nan malu anggun
Melihat titik-titik keganjalan
Beberapa koma kecurigaan
Begitu sarat akan penasaran

Juga rangkaian kalimat
Hanya kata yang menjadi sekat 
Dipasangi tanda kurung
Bak aku dan carikmu itu

Ya! Anggap saja aku sebagai semut 
Selalu menemuimu tuk mengusik manis itu 
Bak gula, sebab kegilaan semut pada gula 
Mencari mula, akhir dari temaram menggila 

Apakah renjanaku yang salah? 
Jika iya, izinkan lidahku menelan liur dari jauh saja 
Sungguh kan kucoba merangkai epilog renjana baskara 
Sebab aku dan kau adalah literasi nan bestari 

Palu, 8 Februari 2021 


 

Baca juga: Sajak-sajak YB Anugerah
Baca juga: Sajak-sajak Uhan Subhan
Baca juga: Sajak-sajak Putu Oka Sukanta

 

 

 

 


Aan Taupuat, mahasiswa, lahir di Simajo, Sulawesi Barat, 12 Desember 2000. Anak pertama dari empat bersaudara ini berasal dari keluarga petani. Menekuni dunia tulis-menulis, membaca buku, dan menonton teater. Kini, tercatat sebagai mahasiswa S1 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah. (SK-1)