Kembang Api di Tebing Petersburg, 1964
Dekade demi dekade berlalu
lama kau tinggalkan desa
menebar cinta, memendam duka
petaka empat belas, petang buta Leningrad
kasihilah sesama penduduk.
Menuruni anak-anak tangga,
kau menembang, aku menguping
hati pilu; suaramu merdu di telingaku
sejak 1964, kau tak pulang.
Berlayarlah! Sebentar lagi
berduri pagi di sungai Neva.
Cult, 1 Januari 2019
Kue Kehidupan
Segenggam keju kau sodori
sebagai tanda penutup tahun.
Mengasinkan lidah, namun
mendatangkan butir sukacita.
Sepotong susu kau suguhi
sebagai simbol pembuka tahun.
Mengisahkan petualangan Gogh;
menggores kanvas di beranda kafe,
sampai embun pagi retak kembali.
Keju dan susu menyatu
dalam perapian tanpa arang;
bagai lelehan dosa-dosa kita
yang tercatat dalam amsal Salomo.
Kau memberi sepiring tart susu
aku ambil dan simpan di lemari
sebagai bekal kelana esok.
Cult, 31 Desember 2022
Kunci Usbu di Leningrad
Kita menghabiskan penghujung tahun di Moskwa-Petersburg. Waktu senantiasa setia memberi udara dan air kehidupan. Entah hari dan hati kita sama atawa berbeda, bukanlah takaran membaca arah zaman. Terpenting cukup makan atawa minum; mengisi perut yang keroncongan, itu sesungguhnya telah menghindari kejahatan.
Kunci-kunci tergantung di pintu sebagai tanda. Ketuk dan masuklah! Kita menanti akan kemurahan tuan rumah; dipersilakan berdiri di depan pintu, menuju ke ruang tamu, atawa dijamu di meja makan. Setiap tetamu memiliki kemuraman sendiri-sendiri, namun tuan rumah empunya kekuasaan.
Kita memasuki permulaan tahun yang baru, selalu ada pengharapan untuk melangkah menuju hari-hari berikutnya, walau terkadang tak terduga baik-buruknya. Terpelanting sedikit, terjinjing seketika oleh keadaan, bukanlah halangan berbagi buah kasih.
Kunci-kunci terpisah di saku celana yang bolong. Entah esok siapa gerangan memungut, memilih di antara kerikil-kerikil, atawa membiarkan terkubur bersama dedaunan asoka yang beku di sungai Neva. Detik-detik berkejaran sebelum terhenti; rawatlah secuil kebahagiaan sampai patal hari datang kembali.
Cult, 1 Januari 2020
Sup
Wortel, bawang, dan daging
menyatu dalam wajan perak
sedikit garam, lada, dan cabai
maka jadilah sajak sup, makanan
penutup tahun kaum proletar.
Jagung, kubis, dan tumis kangkung
mengajariku tentang zaman;
tetua-tetua lebih dahulu
merayakan pergantian tahun.
Datang dan duduk di sini,
makanlah yang ada; sebab
kesusahan sehari tak perlu
dipapah ke hari-hari berikutnya.
Cult, 31 Desember 2019
Aku dan kamu berjalan dalam keramaian, menelusuri kota tua yang abadi diselimuti kabut beku.
Tegar
: kepada tetua ber-KTP Rusia
Kita tak akan pernah pulang
ke tanah kelahiran,
sebab hidup sudah tersalib
pada cinta dan dendam.
Lebih nyaman bercakap
dalam bahasa orang,
ketimbang bahasa ibu sendiri
budaya dan identitas bisa diganti-ganti.
Kita tak pernah tahu
kapan ajal menghampiri.
Yang ada hanyalah penantian
tanpa harum cendana dan kemiri.
Sebagai korban politik di
masa silam: kau sempat tak bisa pulang
sebab paspor dicabut rezim otoriter.
Mau kirim surat dari Moskwa untuk ibu dan ayah;
harus via Paris atau Berlin dulu,
biar tidak dilacak intel.
Beranak pinak di persimpangan
terjerat trauma masa silam
sabar hidup di tanah orang;
mau berlayar bisa saja, tapi kau
tak tega tinggalkan istri, anak, cucu.
Tak berguna menengok ke belakang,
sebab keputusan sudah bulat
tak beruntung menanti; sebab usia dan
upah pensiun cukup nyaman di negeri orang.
Kau telah membangun
pondasi, oleh sebuah alasan;
pantang pulang sebab dasi
memang sulit ditegakkan.
Sederhana, nyaman beristirahat
saat musim dingin tiba, meski
segerombolan elegi kesunyian
senantiasi abadi menghantui kita.
Cult, 1 Mei 2019
Di Arbat Aku Terlahir Kembali
Orang-orang mengembara ke utara
mencari kekasih semalam,
lampu-lampu menerangi kota
penuh tanya dan tanda mujizat.
Langkahku terhenti di persimpangan
merapal senyum dan menapis
— sepertiga kenangan.
Tanah air sudah jauh, bukanlah
tantangan mengejar tujuan,
sebab kelak ada yang harus
kembali ke pangkuan ibu.
Orang-orang melangkah di Arbat
mengais kesenangan semu,
kesusahan ini hari serupa
kebahagiaan yang tertunda sejenak.
Cult, 1 Januari 2019
Tahun Baru di Lapangan Merah
Pesta kembang api
langit Moskwa memerah kesumba
seolah-olah terbakar oleh keinginan
"Ayo, bersulang, sayang!" ucapmu.
Aku dan kamu berjalan
dalam keramaian, menelusuri
kota tua, abadi diselimuti kabut beku.
Pemaculkata, 1 Januari 2018
Nostalgia 1 Januari 1962
: kepada tetua-tetua di Praha
Cerutu masih menyala di meja
syal dan topi tergeletak di sofa
jendela terbuka; surat keterangan
suaka politik bertahun 1962
Aku melihat garis-garis di dahimu
lama meninggalkan cinta pertama
yang dulu kau kenal di desa
Nama dan potretmu terpampang di surat kabar
berita tentang sakitnya Bung Karno buatmu sedih.
Siapa kau di negeri pengasingan?
Orang-orang tak mengenalmu
Aku menghitung sisa rambut di kepalamu
menikahi perempuan pirang sebagai pilihan
yang lama kau temani di gerbang kota
Mendalami ajaran Paul Nizan dan Jean Sartre
sampai-sampai kau memintaku
menuliskan sepucuk surat cinta
untuk bekas pacarmu, yang kini
kau lupa nama dan alamat rumahnya.
Pemaculkata, 1 Januari 2017
Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor
Baca juga: Sajak-sajak Remy Sylado
Baca juga: Sajak-sajak Yevgeny Yevtushenko
Iwan Jaconiah, penyair, kulturolog, dan editor puisi Media Indonesia. Ia adalah kurator antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin (Pentas Grafika, Jakarta, 2022) dan penulis buku seni rupa Lukisan Wiwik Oratmangun (Pentas Grafika, 2022). Dalam dunia perpuisian, ia didapuk sebagai pesastra Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award untuk puisi Bumi pada X International Literary Festival «Chekhov Autumn» di Yalta, Krimea, Rusia (2019) dan Diploma Award untuk puisi Langit Pasifik pada International Poetry Festival «Taburetka» di Monchegorsk, Murmansk Oblast, Rusia (2017). (SK-1)