Ilustrasi: Maria Worobyova
Pesimis
Kita tak pernah pandai menerka
atau meraba wajah qadha
yang selalu sembunyikan syams
sebermula sejarah dikitabkan
kita ditakdirkan sebagai buta
hidup dengan gelisah
mencengkram urat dada.
Mimpi dan harapan wujud ketakutan
angin campur debu jalanan
beraroma sampah dan limbah kota
mencium kening,
khayal dan lesu pun bergumul
mengekalkan nisbi hari
lalu kita jadi sosok yang terseok-seok
sepanjang jalan fana
Gresik, 2022
Sajak Pemulung
Telah ditumbalkan gunung busung di dada
telah diruntuhkan tiang langit dalam jiwa
sebuah erang paling gamang menyilet malam
dan gambar-gambar angan di dinding
memudarkan dirinya pelan-pelan
Zaman remang
kelam
makam
Telah dirapal berulang-ulang sebuah mantra
dalam alif rakaat dalam basah munajat
hujan tak pernah menghamba berhala
dan tak pernah berdamai dengan hampa
Di dunia yang pegal
telah lama syajarah berhenti dikultuskan
Adam dan Hawa tak lebih nama penghias buku sejarah
di dunia yang letih kau adalah wujud kesendirian
Terseok-seok memagut hidup
di dunia yang sampah
kau bersyahadat bahwa kau sendirian
Sumenep, 2022
Move On
Detak detik arloji menyobek taqwim
pada tempat sampah kenangan kukirim
Sumenep, 2022
Sampai Saat
Sampai saat langit pesta pora,
kata dalam tubuh kita
akan terus panjati tebing samawi
sambil memanggul asa
yang berkedip-kedip terancam binasa.
Sampai saat jam hilang nyawa,
denyar dzikir di didih darah kita
akan terus nyala di puncak badai
sambil menggurat Ma’wa
di batas cakrawala.
Sumenep, 2022
Yang Terlupakan
: untuk ilmuwan muslim
Kau tak pernah belajar menjadi dewa
dengan tangan penuh kata-kata
yang coba menjaring doa, juga puja.
Kitab-kitab turots telah menanamkan
rumus menjadi bulan,
ada untuk menerangi, tidak untuk dikultusi,
sebab pengetahuan mengarah pada kebijaksanaan,
dan ia selalu menuntut pada sujud.
Sebab segala puji adalah tenung,
ia adalah hiruk pikuk kota
tangannya diam-diam coba menjerumuskan pada
tajam aroma miras dan gairah gubuk pezina.
Maka, kau jadi penggembala ulum
yang membiarkan mereka tanpa tanda pengenal,
membiarkan mereka ke mana saja
dan cukup puas dengan tahu bahwa Ia
tak pernah lupa atas segala hak kepemilikan.
Sumenep, 2022
Menemuimu aku jadi pembunuh dan gemetarlah tubuh penuh seluruh.
Kita Petaka
Kita petaka bagi masa depan
yang bertapa di ovarium zaman.
Kala kuda dalam tubuh kita
jadi begitu liar dan gila,
bayang-bayang kelabu
dari kecamuk waktu
akan meruapkan risau di bibir pena.
Sumenep, 2022
Setelah Sebuah Kota Runtuh
Malam ini, waktu menghukumku
dengan sebuah obituari
yang mengintip di bilik sunyi hari.
Huzni datang serupa badai
masuki setiap jengkal pori-pori
hadirkan awan cumulus nimbus
anaforakan halilintar; teriakan luka
memaksaku kecup pedih darah perpisahan.
Petrikor masih pekat
setelah jam hadirkan ajal
sementara pertemuan belum ditutup salam
sebagaimana mestinya manis cumbu ditinggalkan.
Di dada ada yang bergolak
bunga-bunga api serbukkan
sari-sari dahaga dan gairah.
Di dada ada yang bergema
frekuensi fariha kehilangan muara
tersesat; bingung ke mana hendak berdermaga.
Setelah kota di tubuhmu puing
doa gugur
mimpi terkubur
aku lebur
dalam kubangan lumpur.
Sumenep, 2022
Menemuimu Kubunuh Seluruh Risau
Datang mengetuk wajahmu
aku menjadi gagu
kata-kata berlarian
hijrah dari ingatan
mata air peluh menderas
mengguyur jiwa hingga getas
seketika waktu hening menggenting
tapi darahku menggelegak berputing
Telah terpenggal aura keberanian
dalam diriku musim hujan
tapi kau semerbak mawar
selalu meneteskan bulir nektar
tiada waktu bergeming
apalagi untuk berpaling
senyummu ranjau di hati
gelisah jika itu dicuri
Menemuimu aku jadi pembunuh
gemetar tubuh penuh seluruh
tekad kutajamkan hingga pisau
siap mengoyak setiap risau
menemuimu aku menjelma angin
dalam dirimu kusemai ingin
hingga berdesir lautan dzikir
berharap bagimu dirikulah amir
Sumenep, 2022
Mimpi Madura
Bersuluh bulan
tubuhmu gersang
menyimpan cemas
tahun-tahun kusam
kau gurit angan
di antara kemungkinan
yang samar berpendar
Bersuluh bulan
kau menerawang
sawah hijau
jauh menghampar
dapur mengepul
berbau kuah santan
Kau menerawang
senyum rekah
sepanjang bibir pantai
hujan datang
sebagai kawan
mencumbu bibir
beraroma tembakau
Kau ingin memandang
jengkal tubuhmu
berbinar sinar damai
jadi musim abadi
berkecambahnya biji senyuman
Madura,
di antara gerak tangan zaman
anganmu hidup dalam detak hari
mendorongmu membaca pelangi
Doa yang kau rapal
mimpi yang kau tanam
takkan layu di tengah jalan
Sumenep, 2022
Makhluk
Kita adalah jemari-Nya
yang terus digerakkan
untuk menggenapi kata-kata
dalam bakal manuskrip sejarah
Bangkalan, 2022
Baca juga: Sajak-sajak Warits Rovi
Baca juga: Sajak-sajak YB Anugerah
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Fathurrozi Nuril Furqon, mahasiswa, menyukai dunia tulis-menulis puisi dan prosa. Kelahiran Sumenep, Madura, Jawa Timur, 1 Agustus 2002. Karya-karyanya tersiar di sejumlah media lokal dan antologi puisi bersama. Kini sedang belajar di Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien sekaligus mengabdi sebagai pengajar di TMI Al-Amien Prenduan Putra, Desa Pragaan Laok, Pragaan, Sumenep. (SK-1)