Di dalam Kepala Seorang Ibu
di dalam kepala seorang ibu, tercipta
beragam benda-benda: balon kartun
milik pesunyi dengan bunyi-bunyian
menggoda, empat boneka anak bebek
yang mengapung di bak mandi, kuda
karet melompat-lompat sendiri jelang
dini hari, kolam bola membersihkan
diri dari segala kemurungan, rasa
khawatir atas jajanan warung yang
terlalu mudah mengobral gula, micin,
dan garam—semuanya merusak gigi.
dalam kepala seorang ibu
tak ditemui lagi dirinya
sebahagia dahulu.
Ciputat, 2022
Dalam Perjalanan Panjang
berjalan dari stasiun ke stasiun, lalu berpindah
dan gegas, tanpa tahu di mana pemberhentian akhir
—ia senang sekali dapat menekuni identitas sebagai
manusia sepenuh-utuhnya. tanpa label atas status atau profesi.
saat kehilangan dirinya, ia segera memutuskan
untuk mengenakan kata kelana di rute perjalanannya
sekali lagi serupa al-masih yang terjebak di masa kini;
halte ke halte, peron ke peron, bahkan dermaga ke
dermaga. berjalan saja, mengamati sesekali
tanpa harus menafsirkannya.
Ciputat, 2022
Tanpa Lego dan Cocomelon
tetapi lego ataupun cocomelon, nak, tidak membuat
teman sebayamu di perempatan lampu merah jadi
kenyang; ia tidur di paha ibunya dalam kondisi
menanggung rasa lapar. nyanyi kecilmu itu
menyakitinya. tumbuhlah, nak, dengan perasaan
perasaan besar sebagai anak manusia. kutitip puisi ini
simpan dengan baik, sebab usia ayahmu tidak seberapa.
Ciputat, 2022
Seseorang dalam Kisah
ia bukan seorang syuaib yang malang;
ditinggal kekasih—menanti kasih tuhan dalam rasa sakit
dan nyeri di tahun yang gamang.
sulur kecemasan itu merambat di lembah matanya
bermuasal dari kening yang ditumbuhi kenangan
juga sedikit kisah cinta yang lapar.
Ciputat, 2022
Membaca Kitab Suci
kubaca ayat dalam kitab suci; perlahan, khidmat
dan tenang—sembari membayangkan seorang anak
berusia belum dua tahun menyaksikanku di depan rehal.
giginya nyaris penuh, rambutnya keriwil. ia tak benar
paham, tetapi matanya terus menyelidik; belukar cinta
masa kecil tertulis dan dibacakan di sana. kubaca ayat
dalam kitab suci, dengan serak halus dan linang,
sembari terkenang mata anak itu.
Ciputat, 2022
Makam Tambakrejo
aku mengenal nenek cukup baik, suara radio dan bau
napasnya, aroma melinjo yang ditumbuk, kopi sangrai,
kacang tanah, juga sirih dan kapur yang dikunyah. aku
cukup hafal peristiwa yang terjadi di rumah sengketa itu
saat berkunjung dan menginap beberapa hari sewaktu
liburan. rumah itu tak lagi menjadi sumber pergunjingan
setelah si anak bungsunya rela melunasi—meredakan
konflik berkepanjangan akibat si sulung
tertipu praktik penggandaan uang.
aku mengenalnya, suatu hari kangen,
meski ia tidak lagi bisa mendengarku.
Ciputat, 2022
Ia menangkap bulan yang memantulkan cahaya ke atas tubuh sunyi maha kama.
Rutinitas Menyetrika Baju
seperti menemui sosok lain
kepada asing tubuh buatan
meratakan sunyi lipatan
pada sebentang kain.
Ciputat, 2022
Cara Bermain, 1994
kau yang berlari mencari sembunyi di balik tenun tirai,
di badan bangsa murai, sebelum ayat yang kaulumat
sebagai maklumat selesai. aku tak mencari dalih
ketika kau mencuri putih terakhir di lembar ini.
kau pulang ke tubuh yang lain, ke tualang
subuh yang lupa kaifiat bermain.
Ciputat, 2022
Kasih Sayang, 1994
di perut seekor burung lahir laut yang murung
milik tuan abid yang urung membisikkan wirid
sebelum tunduk serumit ruh dipatuk paruh
apakah kasih sayang pasrah dalam bayang
jauh wujudmu menumbuh bunga di sujudku
Ciputat, 2022
Merawat Kecemasan, 1994
jika aku lagu terakhir di daftar ini, apakah
kita tidak ingin memesan menu lain, seperti
kecemasan yang berulang kali dirawat, supaya
tidak lekas pulang, tidak segera berpisah, karena
aku tak ingin usai setelah lagu ini menidurkan diri
Ciputat, 2022
Berkeliling Loeah Bakoeng¹
I
seorang pemurung kehilangan rupa di rantau seberang,
ia memilih pulang, demi menyaksikan tanah lahirnya
semakin hari semakin pandai saja menyusun ruang
barangkali ia bisa menjumpai
beberapa teman lama—tentu saja
selain kematian, yang sudah bekerja
dan pamer kehidupan sebagai manusia
dengan sepeda masa kecilnya
ia mengayuh, mencari sisa
ingatan untuk koleksi
kelak di hari tua
II
bukit rawa sarang datu menjelma bangsal
serta perumahan. pal besi yang sunyi,
bersimpuh pada pengembang yang
promosi, “bebas banjir, tinggi
tiada tulah lahir di sini.”
sepanjang rapak—jalan jakarta
monster mesin merusak masa
kanak dengan ban dan bau
tetapi cinta telah lama mukim
di antara debu yang penuh
menyesak paru-paru
III
saat pulang kesekian, ia mengingat wajah
para penjual di pasar kemuning, adakah
waktu menggugurkan kemalangan
untuk bertahan hidup di lahan
yang semakin menyempit.
atau batu panggal yang asing
tambang tua milik menten²
yang menjadikan gerus tanah
luruh, memadat, muasal
air sungai di kota ini
menjadi cokelat.
atau manunggal dan air bah
seperti rekan yang rutin
sowan setiap tahun
menagih utang
pondasi rumah ditinggikan,
kenangan diungsikan
sebelum hanyut
tenggelam.
IV
tetapi, ia selalu akan terkenang
di tengah ramadan, di pelataran
nurul huda, tiga simpang jalan
kekunang lampu seberang sungai
berkelip putih dan kuning serupa
mata yang mengintai perjalanan
lanskap yang lain, ia menangkap
bulan yang memantulkan cahaya
ke atas tubuh sunyi maha kama³
Ciputat, 2022
Catatan rujukan
¹Merujuk kepada Salasilah Raja Kutai Kertanegara yang dialihaksarakan oleh Constantinus Alting Mees dalam bukunya berjudul De Kroniek Van Koetai Tekstuitgave Met Toelichting (1935). Buku ini mengantarkannya meraih gelar Doktor di bidang Sastra dan Filsafat, Universitas Groningen, Belanda. Kutipan lengkapnya: “Maka berdatanganlah oerang oendangan jang tiga belas benoea itoe masing-masing, maka soembalah orang-orang Poelau Atas dan Orang Karang Asam dan orang Karamoemoes dan orang Loeah Bakoeng dan orang Semboejoetan dan orang Mangkoepelas, itoelah banjaknya orang jang datang.” [Halaman 134].
²Merujuk kepada sejumlah sumber sejarah, J H Menten merupakan tokoh yang memulai kegiatan penambangan batubara pertama di Samarinda pada 1887. Ia menerima kuasa yang diberikan Sultan Kutai.
³Merujuk kepada pendapat Muhammad Sarip, sejarawan dan penulis buku Samarinda Tempo Doeloe. Menurutnya, ada beberapa versi asal kata Mahakam, di antaranya Muara Kaman dan Mulawarman. Tetapi, ia lebih cenderung nama sungai ini diambil dari bahasa Sansakerta, yaitu Maha dan Kama.
Sekolah di Pulau Kelapa
sebuah sekolah—sedikit daratan
halamannya laut dan langit terbentang
sejauh mata menghadang di batas lazuardi.
tiada roda empat, pula jalan aspal
motor matik melupakan masa lalu
menanggalkan spion kepalanya.
pada jam istirahat, ditambatkan kapal mesin
dan perahu milik nelayan. seragam hari senin
disapu terik, anak-anak berebut membeli jajan
kepada seorang perempuan muda bermata
indah penjual mie instan dadakan
di kejauhan seorang guru berwajah datar
memantau di depan pagar—barangkali
menyimpan amarah, mungkin pula
sedikit kesepian.
Ciputat, 2022
Baca juga: Sajak-sajak Uhan Subhan
Baca juga: Sajak-sajak Frans Ekodhanto Purba
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Imam Budiman, penyair dan pendidik, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur, 23 Desember 1994. Menyelesaikan S-1 Fakultas Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Semasa kuliah, turut aktif di Komunitas Diskusi dan Kajian Sastra Rusabesi. Kiprah singkat kepenyairannya termaktub dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017), Ensiklopedia Penulis Sastra Indonesia di Provinsi Banten (Kantor Bahasa Banten, 2020), dan Leksikon Penyair Kalimantan Selatan 1930–2020 (Tahura Media, 2020). Puisi-puisinya tersebar di berbagai media cetak lokal, regional, dan nasional. Buku kumpulan puisinya Kampung Halaman (2016) dan Pelajaran Sederhana Mencintai Buku Fiksi (2021). Kini, tinggal dan bekerja di Ciputat. Ilustrasi: Moch Samba. (SK-1)