Ilustrasi: Artur Saryan
Ini Malam
Bukan sekali ini kulihat
benih muncul dari bumi
bukan sekali ini kunanti
bertahan; hidup atau mati.
Matahari menyengit
cukup sudah panas
bunuh benih dari langit
tak tajak tuk coba bernas.
Tanah kerontang,
puas melahirkan siksa
anak-anak hidup, durhaka
tak bersalah di serabut langit,
bumi serupa ibu yang keras sakitnya.
Jangan paksa lagi;
sebutir telur ini hari
cukup meretas retak,
walau tak kembali wujud asli.
Berputar sisa anak-anak hidup.
“Cerah. Sangat bernafsu
birahi keringkan bumi.”
“Tolong, angin! Hembuskan
kapas-kapas teduhmu.”
Datang saat bumi sekarat
bulan temaram menghampiri
"Ini malam giliran kami bercinta.”
2022
Selamanya
Semilir angin menerpa kulit
udara mengepak dedaunan pohon
jatuh satu-satu; kering, terhempas
ikuti takdir, tak tentu arah.
Seorang gadis
menikmati malam
harmoni lagu-lagu
buat tubuhnya menari.
Sirna kelam malam
teduh tenang sanubari
selamakah ini hening,
diam temaram bulan.
Tak mungkin abadi waktu
namun detik demi detik
tak pernah berhenti.
Sungging senyum
tak selamanya
melewati ini hidup;
mati, bangkit, abadilah.
2022
Tujuan
Telungkup, dunia berubah
tak mampu hadapi depan muka
berpasang mata pantau gerak tindak
tak ada gegap harap.
Pelarian manusia; bunuh diri
bapak dan ibu tak peduli
teman menusuk punggung;
membelakangi sembari menyinggung.
Bumi menua, langit putus asa
keluh tak terdengar
harap mengabur.
Untuk ini kali, bebunyi menyerang Atma;
“Masih ada tempat untuk bersandar
Gemetar badan, gigil.”
“Sandaran apa? Bunyi apa ini?”
"Itu petunjuk, yakinlah!
Yakinlah pada Sang Khalik,
empunya semesta alam.”
Satu tujuan, jiwa bergemuruh;
dunia tak mengubah diri sendiri
hadapi mukamu, ubah gerak tindak
meluruh asa, melawan yang sirna
bersandarlah pada keyakinanmu.
2022
Hiduplah Sebebas Rasa
Melepas jarak
terbentang jurang
antara dua hati yang
tak lagi bersedekap.
Ingin meminta
dan melangit harap
walau tak sanggup.
Rasa menjadi mahal
terpenting bagi keluarga,
hanya perkakas hidup
sedang rasa ini ringan;
memberat ketika tertuntut.
Kalau saja
hidup hanya perkakas,
apa beda dengan oto dan kereta?
Wahai pencinta
hiduplah sebebas rasa!
Baik dan buruk hati sudah kukenal
sedang akal ditentuntun kita masing-masing.
2022
Suatu Hari
Seorang pemuda
membentangkan nasibnya
halangan bertubi-tubi menerpa
namun jiwa tetap perkasa.
“Ah, kau dikenal tapi membakar dirimu,”
suara-suara mengitari telinga.
Tetap melangkah, mendera tafakur
“Suatu hari, dunia kurengkuh!”
Sebuah peristiwa di masa lalu,
ketika ia baru saja melepas remaja
keluarganya melarat, menderita,
dan agama meneguhkan penghidupan.
Perih rasanya melihat orang-orang,
bertekadlah ia di hatinya;
“Suatu hari, kuhapus kemelaratan dari duniaku!”
Bukan lagi menyalahkan Tuhan,
hayatnya dipertaruh untuk
berjuang melampaui harga diri
“Ini tugasku di dunia!”
2022
Melulu
Parasmu memang rembulan;
bergejolak dan berlubang
tindakmu bawai rasa
tenangi dalam sukma.
Pernah sekali waktu,
malam-malam, kamu menemani,
keinginan untuk mengitari kota,
jantungku berdegup, kutersenyum.
Bukan lagi bicara
yang manis-manis
tapi, waktu habis
rasa, berdegup gembira.
Cium kau ini malam
peluk, kau itu pualam
dan sudah hampir seminggu
tak henti-henti aku memikirkanmu.
2022
Hayati
Terbaring,
bersamamu bukan
lagi memaksa untuk
tulus mencintaimu.
Berbeda arti cinta
bagi aku dan kau;
"Cinta terlarang mengenyangkan."
Cinta serupa rasa debar
penuh pesona yang bercadar
aku ingin menghabiskan hidup
dalam dekapan bersamamu...
Jikalau bagimu cinta tetap
saja tak mengenyangkan,
keberlangsungan hidup
harus jadi tanda untukmu
dipinang lelaki idaman lain.
Tak lagi cinta menguatkan
hanya keraguan di batas hari
kau jadikan alasan palsu tuk dipinang
sedang aku menghayati pesonamu sepanjang usiaku.
2022
Tertunduk
Akhirnya, kita tertunduk
dari kesombongan diri
yang mendongak menatap langit.
Akhirnya, kita tertunduk
dari kemarahan di ujung peristiwa
yang regasi seonggok manusia.
Akhirnya, kita tertunduk
dari kemuakan pada dunia
yang menebas diri jadi penuh luka.
Akhirnya, kita tertunduk
dari perihnya siksa
yang harus dilewati anak manusia.
Akhirnya, kita tertunduk
dari kesadaran lemahnya jiwa
yang menghadapi pukulan dunia.
Akhirnya, kita tertunduk malu
ingkar kepada Yang Maha Kuasa
menerima pedihnya takdir
menjadikan kita bijaksana.
2022
Baca juga: Sajak-sajak Ade Mulyono
Baca juga: Sajak-sajak Marina Tsvetaeva
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Adrian Shabir, sedang menekuni dunia tulis-menulis, lahir di Jakarta, 20 September 1998. Pernah meraih beasiswa untuk program pertukaran Mahasiswa Indonesia-Rusia dalam kajian pengenalan bahasa dan budaya selama satu semester di Peoples' Friendship University of Russia, Moskwa, Rusia. Kini, tinggal dan kuliah di sebuah universitas di Jakarta. (SK-1)