Sajak-sajak Andreas Mazland 

Ilustrasi: Elizaveta Ezkova 

Rumah Tinggal 
: Kutaraja 2004 

rumah tinggal yang pada dindingnya 
terlukis ngarai bisu, burung parkit 
sebesar ampu dan lembah gadang 
yang kita gambar beberapa kurun lalu 
telah rubuh dijangkau air pasang. 

di sana kita pernah memintas jalan 
memangkas waktu, agar segala hal seram 
yang bersemayam di pucuk rumpun surian 
tidak mengetahui kita pulang lewat petang. 

di rumah itu juga kita pernah menerjang 
perut seorang mantri sunat rasul bagai 
jenderal perang abad pertengahan 
lantaran ia menghianati kata-katanya sendiri: 

‘anak manis harus berani, sebab sakitnya 
hanya serupa digigit semut api.’ 

kini rumah tinggal yang menyimpan setengah 
kebahagian sekaligus kesedihan kita itu 
tidak akan lagi meminta untuk dijalang.
sebab segala yang patut dikenang 
telah disapu air pasang.

Pauh, 2022 


Teringat Kampung 
untuk Alif Maulana 

segala kegilaan yang dikandung kota ini 
pada kerut keningmu jua semua berjejak, lif: 
sungai-sungai kumuh menjepit pemukiman 
atau pertarungan tiada putus antara hidup 
melawan sesuatu yang kau namai hari datang. 

pada blok-blok sempit tanah abang 
samar kau dengar elegi rantau dalam 
dendang haru yang diputar berulang. 
dendang yang membawa kembali ingatanmu 
pada taratak di pesisir sumatra: di mana 
ombak pecah dan musim dingin merendah.

dilipatan angin garam dari laut itu
kau tulis sajak tentang rindu menggebu
pada pulau seberang: di mana kota adalah 
anyaman lapik pandan dan hembus angin 
samun beraroma gulai santan.

maka segala kegilaan yang ditanggung kota ini 
pada tapak pecah kakimu jua semua kutemukan, lif.
ketipak nasib buruk yang berkejaran dengan maut 
dan langkah-langkah orang dagang berat diangkut.

Pauh, 2022 


Di Pasar Bersama Ayah 
kepada: Enzo Ortega 

ketika rumah kami dibakar habis tentara pusat
dan sawah kami diambil-alih kaum proletariat 
ayah pergi menemui seorang teman 
di markas koramil untuk meminta surat jalan 
lalu mengganti nama kami serupa nama 
orang buangan.

“esok kita mesti tinggalkan pulau ini
dan berangkat ke wonogiri pagi sekali.
ayah punya kenalan di sana semasa 
bertugas sebagai polisi.”

kini di wonogiri, hanya lapak kecil
di pasar ini yang ayah miliki. 
lapak yang terus memelihara ingatannya
tentang kampung halaman yang mustahil
terjalang oleh kami.

sebab kata ayah, 
yang patut dikenang dari kampung halaman
hanya tinggal jalur putus rel sibinuang
yang dibombardir tentara agresi tujuh dekade lalu.

jalur dengan kereta api mendecit-decit di atasnya
mengangkut kopi dan batu bara ke kota-kota besar, 
lalu menjualnya kembali pada kami dengan harga 
yang tak dapat ditawar.

Pauh, 2022  


Daging Kerambil Sirah 
untuk Safri Dani 

legam kulit dani sama dengan warna ini kota:
hitam berselimut luka. meskipun begitu
ia terus memelihara mimpi sederhana:
punya rumah lapang dengan kamar lima
sebagaimana tetangga jawanya.

tapi nelangsa panjang dalam amuk hari-hari 
buruk membuat mimpi itu perlahan hilang
barangkali juga takkan pernah lagi ditemukan.

lantaran itu dani tak dapat mengingat benar
segetah apa putik daun pandan patah
sepekat mana warna daging kerambil sirah

kini kampung bagi dani tinggal kata putus, 
sementara rantau adalah kata selesai.
sebab pahit-pahang hidup yang ia rasakan
telah menjelma cerita seram yang membuat 
bujang muara tidak tidur tenang semalaman.

meskipun begitu ia punya mimpi sederhana
yang harus tetap dipelihara: membangun rumah lapang
dengan kamar lima, sebagaimana tetangganya.

Pauh, 2022 


Rayuan Miskin Kata-kata 

nasibku mungkin saja adalah perairan
paling sibuk di semesta, oleh karena itu
dalam sajak ini kau hanya akan mendapati
rayuan yang miskin kata-kata

meskipun begitu, jujur aku sungguh takut
kehilanganmu, seumpama ada gelombang
dari samudera lain yang berdebur di dadaku

hidupku barangkali merupakan kemacetan
kota yang sangat memuakkan, namun
kau tetaplah cinta yang menggetarkan hatiku
dengan cara yang sama setiap malam

walaupun bagimu, aku hanyalah huruf singkat
yang sangat sulit untuk diingat. tapi kau bagiku
adalah kalimat panjang yang tak pernah ingin
kuberi titik 

Padang, 2021 


Marantau Cina I 
untuk Azka Nabila Surham 

hari ini aku akan merantau 
ke taratak paling asing dan sunyi, kasihku 
walaupun begitu, aku pasti kembali seumpama 
sungai yang berhulu dalam hatimu 

akan kuingat selalu seluruh hari-hari panjang 
yang telah kita lewati di kampung 
kecil yang tak hendak mati ini 

setelah di rantau nanti 
akan kukirimi juga kau bunga setiap minggu 
agar kau tau bahwa bayangan tentangmu 
terus saja bermekaran hebat di rimba dadaku 

nanti aku mungkin akan berada 
ujung ranah paling jauh, kasihku 
meskipun begitu, sesuai janjiku, sungguh 
aku pasti tetap pulang laksana ombak yang 
bermuara di gonjong balai rumahmu 

Pauh, 2021 


Merantau Cina II 
untuk Azka Nabilla Surham 

nanti kita akan bercerita banyak hal, setelah 
aku kembali dari rantau yang semakin lama 
terasa semakin asing saja ini, kasihku 

setelah rantau ini pasak kulintasi 
kan kukisahkan padamu tentang nasib orang kota 
yang bingung dengan segala montase hidup 
yang tak kenal ujung 

kelak kita akan kembali berbicara mesra 
setelah aku kembali dari rantau ganjil 
yang tersisih dari segala rindumu ini, kasihku

sesudah rantau ini lanyah kulalui, akan
kuturunkan sauh kapalku di pahamu
kukan bercerita panjang tentang dunia rindu
yang takkutemui selain dalam pelukanmu

Padang, 2021


Sonata Panjang 

pada penghabisan hari, 
di tampuk terakhir musim ini 
di ujung tidur kau mengigau; 

“aku adalah satu-satunya hakim 
yang pantas menghukum diriku sendiri” 

aku terpaku dan tak dapat menafsir di sanad 
masa lalu bagian mana hatimu terkena luka 

ketika aku membangunkanmu 
aku merasakan sesuatu yang lebih lengang 
daripada museum tua yang berabu 

dengan segala kebodohan yang kupelihara 
baru kini kusadari ada luka tak terbahasakan 
yang sedang engkau derita 

lantaran itu, aku ingin menyusun sonata panjang 
dari potongan tubuhku agar kau dapat melupakan 
segala kenangan buruk yang terus-terus menghantuimu 

Padang, 2021


Bunga Magnolia 
untuk Lesly Fatmayanti 

Saat pertama aku menatap matamu 
bunga magnolia seakan bermekaran hebat 
di rimba dadaku. karena 

meski sampai sekarang aku tak pernah 
tahu di bibir siapa nanti bibirku bakal berlabuh. 
namun aku akan tetap berusaha menjadi hamba 
sahayamu selamanya, nona. terlepas apapun 
yang bakal terjadi nantinya. 

maka demi nama Tuhanku 
tolong jadikan aku bagian kecil dari keramaian 
kota yang telah lama menyerah tanpa syarat 
di bawah kendalimu itu. 

Pauh, 2021 


Penjelajah Cinta 
untuk Nagib Mahfouz 

pada remang miang malam, aku ingin masuk
ke dalam hatimu sebagai tanda tanya.
di dalamnya kubayangkan diriku adalah seorang
penjelajah buta warna yang mencari jawaban; 

bagaimana cara seseorang menentukan
warna sebuah cinta.

tetapi aku malah mendapati kesulitan-kesulitan
baru ketika hampir menemukan jawabannya.

meskipun begitu, aku akan terus berusaha
memasuki dirimu selayaknya kalimat
lalu keluar sebagai paragraf. karena katamu;

bukankah drama jenaka sekalipun, tetap 
harus di selesaikan hingga babak terakhir 

Pauh, 2021 

 

Baca juga: Sajak-sajak Frans Purba 
Baca juga: Sajak-sajak Ibnu Wahyudi 
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia 

 

 

 

Andreas Mazland, lahir Banda Aceh, 21 Juni 1997. Alumnus Universitas Andalas, Sumatra Barat. Menulis esai, cerpen, dan puisi. Karya-karyanya telah dipublikasikan di sejumlah surat kabar lokal dan nasional. Peraih unggulan II Payakumbuh Poetry Festival dan nominator terpilih Lomba Puisi Teuku Umar Meulaboh. Sehari-hari tinggal dan bergiat di Sarang Tampuo, sebuah komunitas sastra di Kota Padang. (SK-1)