Ilustrasi: Maria Worobyova
Buruh Tani
Kami dengar pidato menteri
Berbicara lantang, sejuk sekali;
“Masa depan negeri, ada di tangan petani!”
Senang, senang, senang sekali.
Aku berdiri tegap, dagu mendongak,
Bangga, bangga, bangga sekali.
Terlampau dipandang sebelah mata,
buat ego dan sanubariku terluka.
Kepala menunduk, tangan mengepal,
Tekan rasa rendah yang bersarang bebal.
Kami ternyata berguna dan terpandang.
Mata memandang menyisir ladang,
Haru menengok rasa penuh juang,
Tegakanlah fakta agar terbuka jua peluang!
2022
Aku Tak Ingin Seperti Leluhurku
Sepetak surga kecilku kian sempit
Bikin panik, sesak, tapi tak menjerit.
Derit mesin kini pekakkan telingaku,
Menyeret ini langkah ke tepian pintu.
Terusir, rumah tak seramah dahulu.
Tanah hancur, ladang terkoyak.
Bumi menggetari tempatku berpijak.
Bukan, bukan, ini bukan bencana Tuhan.
Bukan, bukan, bukan salah alam, bukan!
Daerah konservasi, perlu dimonetisasi!
Aneh, aku tak mengerti arti kemanusiaan;
Mereka tertawa, sedangkan kami merana.
Dikelompokkan, dikumpulkan jadi tontonan.
Surga, mana surga kecil
Rumah, mana rumah kami.
Leluhur lelah, cari lahan baru,
Belum sempat kembali berburu.
Ini semua berlalu, begitu terburu-buru.
Jangan menjemput dulu, wahai leluhurku
Hadirkanlah seutas bahagia dalam belenggu.
Tolong, jangan biarkan langkah menyusulimu.
Ini negeri masih membutuhkan keajaiban,
Kami berjanji; jika diberi lagi kesempatan,
Dunia akan mengenal harum melatimu.
Tolong, kami belum ingin mati muda!
2022
Negeri yang Tak Tahu Diri
Polemik terus berkecamuk di sini.
Menghancurkan pertahanan yang tersusun rapi.
Gedung tinggi menjulang, korbankan tanah subur nan suci.
Gudang lebar membentang, gantikan lahan yang dirawat sepenuh hati.
Penguasa gaungkan soal hargai jasa mereka dalam negeri,
Tak tahunya, jeritan melarat pilu tetap saja nyaring dan ngeri.
Jenama disemat, memikul beban, dan menyayat hati,
Tetapi anak manja tidak tahu diri, tetap acuh tak beri apresiasi.
Harum nama dijunjung, bawa-bawa soal perannya pada negeri,
Namun penghargaannya tidak jauh dari nasi tanak dan teri.
Buruk nasib hanya sekadar dijadikan bahan iba.
Jiwa, raga dibayar dengan ucapan terima kasih semata.
Negeri elok, kaya nan terurus, bukan tiada penjaga,
Penjaga Tatanan Negera Indonesia adalah aktor utama,
Dari segala pertahanan pangan, bukti kecintaannya.
Meski acapkali bertingkah seolah tak tahu diri.
2022
Buruh tani terlampau dipandang sebelah mata, buat ego dan sanubariku terluka.
Secangkir Kopi Pelindung Waras
Ini dunia menyuguhkan aneka minuman keras. Yang lebih umum disukai penyair dan pesohor kelas atas. Yang tidak dimiliki Virgil ataupun dipuja Voltaire. Ya, setiap pribadi memiliki keputusan untuk menerima atau menolak.
Berbeda dengan secangkir kopi di kamar. Yang kuanggap sebagai berkat. Minuman menyenangkan, tanpa kehilangan letak waras. Tanpa mengubah isi kepala, hanya mendatangkan pelangi di lubuk hati.
Ketika langit-langit di mulut ini tumpul termakan usia, dengan senang hati aku mencicipi minuman beraroma arabika. Kopi, oh kopi. Aku tidak akan memujamu seolah kau Dewa Yunani! Kau adalah nikmat ilahi dan patut diseruput secara khidmat. Berharga, berharga, dan berharga. Dahaga, dahaga, dahaga. Cengkram erat gagang kopi ini!
Di atas tungku perapian yang membara, kulihat benih-benih dituang hingga hitam pekat. Hancurkan, remukkan, masukkan. Biji-biji pahit seakan berteriak mengeluarkan bau parfum elit, meski terkadang membuat perut bergejolak.
Aku terpesona akan aromamu. Terjebak dalam gelombang. Yang secara bergantian menenangkan atau menggairahkan. Mengikuti angin puyuh, aku ringan melangkah, dan penuh perhatian. Menyaring dalam vas yang mengepul dan membiarkan ampas tersimpan abadi.
Sesungguhnya, hampir tidak pernah aku mencium harummu. Tiba-tiba saja, panas menembus pori-pori iklimmu. Membangunkan semua indra; tanpa masalah dan kekacauan. Pikiran-pikiran kini lebih banyak mengalir dan melewati gelombang demi gelombang.
Ide besar menjelma gelembung, gersang, dan telanjang. Kau tertawa sejenak, lalu bergegas keluar dengan pakaian mewah sekali. Aku percaya dan bangkit dari kecemasan untuk menyeruputmu di setiap jejak sinar matahari.
2022
Sepahit Kopi
Mataku memejam serupa tunas
Saat mendengar dentuman keras,
Dia menaruh kopi di cangkir berwarna emas.
Susu dituang, sedikit gula sekaligus,
Café au lait perlahan disesap
Selaras helaan napas pengap.
Cangkir diletakkan di meja,
Tatap mataku tanpa suara.
Membuka mulut, namun tak berbicara.
Rokok dari kantong diangkat,
Diputar, disulut, dan disesap.
Lingkaran asap mengaburkan pandang,
Abu berserak, deham suara serak menyerbak.
Kembali tatap mataku,
Tanpa ucap sepatah pun kata,
Tiada merujuk sama sekali.
Aku menatapnya penuh harap,
Agar ia berucap.
Namun, tidak.
Rokok yang disulut,
Disundut pada asbak merah menyala.
Kembali diambilnya ponsel dan jaket kerja,
Lalu pilih ‘tuk pergi menerjang hujan.
Tanpa pamit, tanpa kata, dan
Tanpa aku dalam sepucuk ceritanya.
Rambut kuremat, mata terpejam erat,
Tangis pecah dan malam pun berkabut.
2022
Baca juga: Sajak-sajak Yunia Bili
Baca juga: Sajak-sajak Fahira Rayhani
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Tiara Nabila, Pendiri Diksipuan, lahir di Bandung, Jawa Barat, 20 Mei 1999. Ia berasal dari Kota Batam, Kepulauan Riau. Sajak-sajak di sini merupakan karya yang terangkum dalam 50 peserta pilihan kurator pada Lomba Cipta Puisi dalam rangka Festival Pesona Kopi Agroforestry 2022. Lomba ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bekerjasama dengan Media Indonesia. Kini, tercatat sebagai mahasiswi S1 Ilmu Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati Bandung. (SK-1)