Martabat Seniman Indonesia

Ilustrasi: RB Ali

JUJUR, saya tidak mengikuti perkembangan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ - TIM), Jakarta, periode 2015-2021 secara terperinci. Mulai dari kegiatan, keceriaan, kemelut, sampai dengan keganjilan yang sempat bertengger di rumah seniman itu. 

Hanya cerita dan kisah sepotong-sepotong. Adakalanya terdengar logis dan barangkali tak logis dari cendekiawan, seniman, dan sastrawan. Pro atau kontra terkait revitalisasi TIM pernah mencuat keras, namun perlahan-lahan berangsur mereda dan normal kini. 

Dari depan Gerbang TIM, saya tidak melihat lagi para pedagang kaki lima mangkal. Sebagaimana lima tahun lalu, mereka bebas menjajakan nasi goreng, satai ayam, bakso urat, es cendol, dan kacang rebus. 

Satu dua mobil proyek pun berlalu-lalang. Begitu pula para pengunjung silih berganti melangkah masuk ke Gedung Panjang, sebuah nama baru yang ada di TIM. "Pameran di Gedung Panjang. Masuknya bisa lewat parkiran. Maaf, masih berantakan karena dalam pengerjaan (revitalisasi)," ujar seorang sekuriti berambut plontos, berpakaian lengkap, plus senyum tipis. 

Sore itu, saya bersama kurator senior Merwan Yusuf saling janjian untuk bertemu di Cikini, Sabtu (11/6) pukul 15.00 WIB. Sudah lama tak jumpa dan kebetulan sedang berlangsung sebuah pameran seni rupa di Gedung Panjang. Kami pun singgah sebentar untuk menengok helatan tersebut. 

Menapaki TIM, saya melihat ada kemajuan yang berbeda. Bangunan lebih kontemporer, akses lebih mudah, dan kenyamanan bagi pengunjung lebih terasa sekali. "Dulu banyak seniman yang demo. Sekarang lihat saja, bangunan TIM sudah berkelas dunia ini," cetus Merwan. 

Polemik TIM memang sempat heboh dua atau tiga tahun ke belakang. Segelintir seniman yang dipimpin budayawan Radhar Panca Dahana (1965-2021) pernah melakukan protes berbulan-bulan melawan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam program revitalisasi TIM secara masif. Persoalan pun dibawah ke gedung legislatif. 

Saya tidak begitu mengikuti tuntutan mendasar seniman sebab sedang berada di Moskwa, Rusia, untuk belajar, waktu itu. Bagi saya, Radhar memiliki pemikiran tersendiri yang bijak. Ia, tentu saja, juga berkeinginan kuat agar kebudayaan Indonesia mengalami kemajuan ke depannya. 

Di Gedung Panjang, seorang sekuriti lainnya mempersilakan kami. Ya, untuk masuk ke ruangan pameran yang disebut Annex Gallery New Building. Cukup ketat sebab harus melakukan pemindai barcode (QR) bebas covid-19. "Silakan check in dulu via Peduli Lindungi ya," ucapnya, sopan. 

Semua berjalan tertib dan teratur. Sepintas seakan kita sedang masuk ke pusat kebudayaan bertaraf internasional, seperti di Garage Museum of Contemporary Art, Moskwa, Rusia atau di Changzhou Culture Center Building (CCCB) di dekat Shanghai, China. 

Meski begitu, pembangunan TIM masih belum 100 persen selesai. Revitalisasi masih dirampungkan PT Jakarta Propertindo (Jakpro). Mereka memiliki tugas berat untuk menuntaskan kawasan tersebut sebagai pusat kesenian berkelas internasional. Tidak lagi kumuh, memiliki lahan hijau, fasilitas pertunjukan modern, perpustakaan digital, penginapan seniman, dan sebagainya. 

Di sisi belakang, sejumlah pekerja sedang menyelesaikan pembangunan. Ada sebuah warung kopi darurat didirikan. Barangkali untuk para pekerja jika sedang beristirahat. Ya, sekadar melepas lelah sebelum bekerja kembali. Bau cat dan furnitur terasa di ujung hidung saat melewati ruangan-ruangan baru yang belum selesai pengerjaannya. 

Martabat seniman 

Setelah mengitari bangunan utama yang mewah, saya merasakan TIM memang sangat maju kini. Program Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk revitalisasi TIM bukan khayalan semata. Kini, pusat kegiatan kesenian ini telah menjelma sebuah bangunan anyar. Semoga ikut mengangkat harga diri dan martabat seniman Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya. 

Di Annex Gallery, sebuah pameran seni rupa bertajuk Betawi Masa Kini Masa Gitu, sedang berlangsung pada 3-12 Juni. Sejumlah lukisan, instalasi, dan kerajinan tangan puluhan seniman dipajang bagi para pengunjung. Ada berbagai gaya, bentuk, dan tema dalam helatan tersebut. 

Seorang pelukis muda, Broy Godoy, menyambut kami. Ia mempersilakan agar sedapatnya menengok ke karyanya sejenak. Ia mengusung budaya pop dunia yang disajikan lewat kanvasnya. "Saya sedang ikut pameran, bung. Itu lukisan saya," ucap Broy di galeri tersebut, sopan. 

Lukisan Broy dipajang dengan karya-karya seniman lainnya. Ia menghadirkan karya kontemporer berjudul Genocide Culture (mix media di atas kanvas, 150 x 170 cm, 2021) yang tergantung rapih di galeri. Sebuah karya penuh cerita dan kisah tentang peradaban global secara umum. 

Di sisi lainnya, ada karya RB Ali. Ia menyajikan lukisan terbarunya berjudul Nice Day (Mix media di atas kanvas, 100 x 140 cm, 2022). Begitu pula Lenny Weichert menampilkan sebuah instalasi berjudul Past, Present and Future (akar wangi, kain, tali, dan lampu semikonduktor. Dimensi variasi, 2022). 

Pameran tersebut sebagai bagian kecil dari sederetan program-program TIM wajah baru. Pihak pengelola menggandeng sejumlah komunitas seni untuk berkolaborasi. Sejumlah diskusi, pentas sastra, pertunjukan teater, konser musik, dan sebagainya juga masih akan terus digelar sepanjang tahun demi mendukung kemajuan kesenian bangsa. 

Melalui program-program yang berjalan secara periodik maka dapat memberikan perspektif baru. Artinya, sebuah kawasan yang direvitalisasi bertujuan demi kemajuan peradaban kota itu sendiri. Sekadar berkaca pada pusat-pusat kesenian berkelas dunia, seperti Garage dan CCCB yang telah menjadi rujukan dalam perkembangan seni kontemporer. 

Gedung Garage tidak hanya museum, namun juga sebagai tempat diskusi, pertemuan seniman kelas dunia, pertunjukan sastra, pameran seni berbasis Augmented Reality (AR)/ Virtual reality (VR), dan pemeran buku. Begitu pula CCCB, telah menjadi langganan seniman profesional untuk memamerkan karya seni rupa, pementasan drama, dan suguhan tari. Dua kawasan seni tersebut adalah contoh bukti peradaban kontemporer di abad ke-21. 

Di Tanah Air, TIM dengan latar belakang sejarah yang panjang memiliki ciri khas tersendiri. Tidak sedikit seniman, sastrawan, dan intelektual hebat tumbuh dan beraktivitas di sini. Sekadar menyebut, penyair Willibrordus Surendra Rendra (1935-2009), dramawan Norbertus Riantiarno, sastrawan Remy Sylado, penyair Sutardji Calzoum Bachri, dan dosen cum pematung Dolorosa Sinaga. Mereka telah pentas dan pameran berkali-kali. 

Perlu diakui bahwa sebuah perubahan tidak terlepas dari peranan kepala daerah yang visioner. Seorang pemimpin harus memiliki kewibawaan tersendiri dalam melakukan terobosan jitu. Hal ini berguna untuk menghadirkan sebuah wajah baru pusat kebudayaan yang berkualitas. 

Anies, mau tak mau, telah memberikan sebuah ide cemerlang. Meski awalnya mendapatkan tantangan dari sejumlah seniman, namun akhirnya buah perubahan dapat dilihat kini. Gedung Panjang adalah hasil kreativitas dan karya arsitektur kekinian di bawah kebijakannya. 

Selama mengunjungi TIM, saya melihat ada hal-hal yang patut diapresiasi, yaitu kehadiran sekuriti yang sangat ramah dan profesional. Tidak seperti sekuriti di era 2010-an yang berkumis tebal,  jarang senyum, dan berwajah sangar. "Sekuriti di sini lebih ramah-ramah sekarang," cetus Merwan. 

Matahari perlahan condong ke ufuk barat. Kami pun melangkah keluar dan meninggalkan TIM. Pintu utama belum dapat digunakan untuk akses keluar dan masuk. Satu per satu pengunjung harus melewati 'gang senggol' yang dibuat khusus bagi pejalan kaki untuk sementara waktu saja. Sebuah langkah menuju masa depan martabat seniman Indonesia telah tercipta. 

Hanya berjarak sekitar 10 meter, petugas sekuriti yang sama, pada saat menyambut kami di awal kedatangan, pun memberi ucapan perpisahan. Ia melambaikan tangannya.  "Sampai jumpa! Nanti, datang lagi ya, kak," tuturnya sembari menjawab panggilan masuk via telepon genggamnya. (SK-1) 

 

Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor

Baca juga: Sajak-sajak Sihar Simatupang

Baca juga: Sajak-sajak Anna Akhmatova

 

 

 

 

Iwan Jaconiah adalah penyair, editor puisi Media Indonesia, dan penulis buku Hoi!, sebuah kumpulan puisi tentang kisah diaspora Indonesia di Rusia.