Mengenang Penyair Muslim Rusia Ternama 

Musa Jalil (1906-1944) 

PADA musim semi 2016, seorang rekan Ardyanti Laksitaningtyas, mengajak saya untuk berkeliling di Kota Kazan, Tatarstan, Rusia. Kebetulan, sore itu cukup hangat sebab udara berkisar 15 derajat Celsius. Masih diambang batas normal. 

Di dekat dinding Kremlin Kazan, wisatawan lokal nampak ramai berpelesir. Mata saya pun tiba-tiba mengarah ke sebuah patung realis dan simbolis. Sudah menjadi salah satu ikon bersejarah di kota bermayoritas umat Muslim di Rusia. "Itu patung Jalil, Bung," ucap Sita, sapaan akrab Laksitaningtyas. 

Saat itu, saya baru pertama kali mendengar nama Musa Jalil (Orenburg, 15 Februari 1906 – Berlin, 25 Agustus 1944). Kami singgah, duduk sejenak, dan swafoto ria. Di monumen tertulis informasi singkat tentang Jalil, seorang pahlawan-penyair. Ia dieksekusi Nazi pada Perang Dunia II. 

Mengunjungi Monumen Peringatan Musa Jalil adalah kenangan yang tak terlupakan bagi siapapun. Dari Sita, saya pun mengetahui tempat-tempat menarik, khususnya tentang seni rupa dan budaya Tatar. 

Kebetulan, Sita adalah seorang alumnus S-1 Sastra Rusia, Universitas Padjadjaran. Ia melanjutkan program S-2 di High School of Economy, Moskwa. Kini, ia sudah kembali ke Tanah Air untuk bekerja. 

Berbicara tentang Jalil sangat memilukan sekaligus menyenangkan. Pada 1960-an, nama Jalil, yang dieksekusi di Penjara Moabit, Berlin, mendadak terkenal di seantero Uni Soviet. Kumpulan puisi terakhirnya "Moabit Notebook" dicetak dan diedarkan ke seluruh Uni Soviet. 

Buku tersebut telah diterjemahkan ke lebih dari 60 bahasa. Puisi berjudul Barbaritas dan Sampai Akhir Hidupmu, misalnya, membunyikan rintihan penderitaan di antara orang-orang tahanan perang. 

Jalil menjadi simbol keberanian dan cinta tanpa pamrih untuk tanah airnya. 

Baca juga: Puisi Tak Pernah Selesai Ditulis

Selama tahun-tahun perang, penyair yang bertempur di Front Volkhov itu, ditangkap dan dipaksa bergabung dengan barisan legiun Muslim Idel-Ural. Legiun itu diciptakan oleh Nazi Jerman untuk berpartisipasi dalam pertempuran melawan Tentara Merah¹

Namun, Jalil kemudian hengkang. Ia bergabung dengan operasi bawah tanah anti-Adolf Hitler. Sayang sekali, ia ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Ia dinilai mengkhianati organisasi Idel-Ural dan diserahkan ke unit bernama Gestapo. 

Gestapo menyelidiki aktivitas semua kekuatan milisi yang memusuhi rezim Nazi. Aktivitas Gestapo dikeluarkan dari pengawasan pengadilan administratif, di mana tindakan badan-badan negara biasanya diajukan banding. Pada saat yang sama, Gestapo memiliki hak penangkapan preventif. 

Segera setelah Perang Dunia II berakhir, sebuah kasus kriminal dibuka di Moskwa. Jalil diduga sebagai pengkhianat, namun intervensi Konstantin Simonov, akhirnya dapat memulihkan nama baik Jalil. 

Pada 1953, Simonov menerbitkan enam pilihan puisi Jalil di surat kabar ternama Literaturnaya Gazeta, edisi 25 April 1953. Itu sangat gempar sehingga membantu merehabilitasi nama Jalil dan memulihkan keadilan sejarah. 

Lewat fakta-fakta, akhirnya pada 1966, sebuah monumen untuk Jalil didirikan di dekat dinding Kremlin Kazan. Ya, sebagaimana saya kisahkan di awal esai ini. Tubuh penyair selama hidupnya tidak terlalu tinggi, namun dimuncul dalam bentuk kawat berduri raksasa. Ada simbol, Jalil tampak sedang merobek baju di dadanya dengan perkasa. 

Puisi Jalil sangat populer di kalangan masyarakat Rusia dan dunia, tetapi yang paling populer dari buku kumpulan puisi Moabit Notebook adalah Barbaritas. Metaforanya begitu kuat dan diksi yang sangat elok. Saya menerjemahkan puisi tersebut dari bahasa Rusia tanpa menghilangkan makna dan pesan². 

Kulihat sungai menangis bak bocah, 
Dan bumi memendam amuk amarah. 
Mendapati ajal di depan hidung sendiri, 
Serupa surya pudar, air mata berlinang 
Dari wuwungan awan menuju ke ladang, 
Mencium anak-anak tuk yang terakhir kali, 
Ya, terakhir kalinya... 
Musim gugur berisik di hutan. Waktu pun tiba 
Hilang kesadaran. Dedaunan bergetar luruh. 
Kegelapan menyelimut sekitaran lubang. 
Kudengar: oak yang kekar tetiba jatuh, 
Menarik napas panjang, pun hening. 

Lanskap dalam puisi ini sangat kuat dengan alegori romantis, alam yang marah, suasana berduka, dan rasa benci terhadap sesama yang kuat dalam karya. Kekuatan kiasan Barbaritas tidak dalam ekspresi dekoratif, tetapi dalam keaslian intensitas dan gairah. 

Pada 2021 lalu, sebuah acara baca puisi mengenang Jalil digelar di Kazan. Para peserta membuat flash mob puisi dengan tajuk Seluruh Dunia Membaca Jalil. Karyanya kini telah  diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. 

Meniti karir di surat kabar 

Pada tahun 1919, Jalil muda belajar di Institut Pendidikan Publik Tatar (Orenburg). Pada 1920-an, ia bekerja serabutan sebagai penyalin untuk surat kabar Qızıl Tatarstan. Ia pun ia berkenalan dengan penyair-penyair Muslim Tatar ternama, seperti Avi Multincmi, Hadi Taqta, dan Qutuy. 

Pergaulan itu memotivasi Jalil untuk menerbitkan kumpulan puisi pertamanya berjudul Barabyz (Kita Akan Pergi). Diterbitkan di Kazan, 1925, namun bukunya tidak begitu mendapatkan perhatian publik. 

Pada 1927, Jalil hijrah ke Moskwa. Ia melanjutkan studinya di Departemen Bahasa, Universitas Negeri Moskow (tamat 1931). Ia juga sempat bekerja di Komite Sentral Komsomol untuk perwakilan Tatar-Bashkir. 

Pada 1931-1932, ia bekerja sebagai editor di sebuah majalah anak-anak Tatar yang diterbitkan di Moskow. Di kota inilah, ia bertemu penyair kenamaan, seperti Aleksander Zharov, Aleksander Bezymensky, dan Mikhail Svetlov. 

Pada 1934, Jalil menerbitkan dua buku antologi puisinya. Pertama berjudul Jutaan, Dihiasi dengan Perintah dan kedua berjudul Ayat dan Puisi, kumpulan puisi pilihan. Sayang, banyak puisi-puisi lirisnya tidak diterbitkan karena bertentangan dengan diktator Joseph Stalin. 

Semasa Perang Dunia II, Jalil ikut bersama Pasukan Merah. Ia juga bekerja sebagai koresponden perang untuk surat kabar Otvaga. Selama di medan pertempuran, dia dan kelompoknya yang terdiri dari 12 orang akhirnya ditangkap. Mereka dijatuhi hukuman mati pada 12 Februari 1944. Beberapa bulan kemudian, semuanya dieksekusi. 

Jasad Jalil tidak pernah ditemukan. 

Baca juga: Lelang Puisi: Antara Utopia, Fantasi, dan Realitas

Di kamp konsentrasi penahanan, Jalil sempat menulis setidaknya 125 puisi. Setelah perang, puisi-puisi berupa coretan tangan dipindahkan dari Berlin ke Moskwa oleh teman satu selnya. Kemudian puisi-puisi itu dipublikasikan dengan judul Moabit Notebook seperti yang telah disinggung di awal. 

Lewat buku tersebut, pada 1957 Jalil dianugerahi Hadiah Negara di bidang sastra dan seni. Pada 1968, bukunya diadaptasi ke dalam film dengan judul yang sama, Moabite Notebook

Pembuatan film mengambil tempat di Studio Lenfilm, Saint Petersburg, untuk mengenang sang penyair semasa ikut bertempur. Berikut puisi yang saya pikir sangat penting dan laik diterjemahkan, yaitu berjudul Sampai Akhir Hidupmu

Sampai akhir hidupmu — 
Ke medan tempur dan tewas. 
Tetapi kemuliaan tak ada batasan, 
Namamu terdengar bagai lagu lawas! 
Berjuang bagi tanah air di peperangan — 
Rakyat akan mengingat keberanianmu! 

Biar kita menjadi badai petir bagi musuh 
Nama telah dikumandangkan dalam perang.
Bagi sang pahlawan bak melodi nan indah 
Di musim semi gadis manis bersenandung 
Tak akan ada titik air dari kelopak mata kita,
Mereka hanya menodai abumu di penghujung. 

Kamu selalu ada di setiap ingatan 
Terbang bebas tuk selama-lamanya. 
Darah mengucur deras ke nadi kita, — 
Keringat tak akan bertumpah di tanah. 

Nama Jalil sangat populer digunakan. Mulai dari Gedung Opera Kazan, nama jalan, sekolah, kapal laut, planet kecil, sampai sebuah bukit di Antartika. Dengan segala rasa hormat, masyarakat Muslim Tatar selalu memupuk rasa bangga untuk mengenang orang sesuku mereka. 

Saya sudah menapaki Monumen Peringatan Musa Jalil. Melihat secara dekat orang-orang datang untuk membaca puisi di bawah monumen. Ada juga yang berkunjung sekadar untuk menaruh bunga. Ya, mengenang seorang penyair Muslim ternama dari Rusia. (SK-1) 

 

Bacaan rujukan 
¹ Mustafin Rafael. Red Daisy, edisi khusus pahlawan legendaris (Bahasa Rusia). Moskwa: Penerbit Malysh, 1983. 
² Jalil Musa. Moabit Notebooks, edisi khusus dalam empat bahasa didanai oleh Orenburg Eurasia Charitable Foundation (Bahasa Tatar, Rusia, Inggris, dan Jerman). Orenburg: Orenburg Book Publishing House, 2021. 

 

 

 


Iwan Jaconiah, penyair, esais, wartawan Media Indonesia dan Metro TV. Peraih Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI (2015) dan Beasiswa Penuh Pemerintah Rusia (2015). Ia adalah pesastra Indonesia pertama peraih Diploma of Honor Award pada helatan X International Literary Festival "Chekhov Autumn-2019" di Yalta, Republik Krimea, Federasi Rusia. Buku terbarunya kumpulan puisi Hoi! (Terbit Press, 2020). Ilustrasi: Galeri Catherine Asquith