Sajak-sajak Azril Azifambayunasti 

Ilustrasi: Bayu Wicaksono
 

Kopi (dan) Tuhan 

Kutuangkan lagi 
ke dalam cawan murah, 
Yang perlahan menguning 
seringkali kupakai dan cuci 
seolah ibadah lima kali ini hari 

Kupisahkan ia dari riuh gula, 
tujuannya sepadan, pahitnya segala 
Yang bulat kutelan tanpa aba-aba siap; 
luka pun tak sudi, manis merusak filosofi  
Mana ada filosofi kopi? Barangkali perspektif 

Diri teramat jauh; 
dari empunya dzat Adi Kodrati, 
Mimpi-mimpi, satu dua disayangi 
jauh sekali terkuak dari diri sendiri 

Bersamanya, 
satu dua batang sigaret murahan
Ratusan hari kuketuk tiap penghujung malam
tidak ada warta kebaikan, lagi-lagi ia kutelan 
kau yang menjauh tapi sibuk mencari Tuhan, 
sedang Ia lebih dekat dari tempat nadimu didetakkan 

Jika demikian, Ia pun 
lebih dekat dibanding kopi secawan 
Yang sudah terlampau kental menjadi kawan 
benarkah, Ia - sang segala Maha - ada dalam diri pendosa 
Yang susah payah, tanpa arah mengayuh kehidupan?
atau mungkin, itu hanya satu narasi afirmasi peneguh pegangan 
atau aku terlampau bodoh mengerti, berkubang dalam ketidaktahuan 

Kembali kutelan seluruh pahitnya, sedikit lega 
secuil saja, lidahku terlanjur kelu tuk berdoa
Atau sesungguhnya aku terlalu angkuh, 
enggan menyusun kata menghamba
Tapi mereka pun bilang, Ia maujud dalam 
sekecil apapun barang duniawi
Maka anggap aku menemui-Nya, 
di setiap teguk aroma surgawi 

2022 


Tahun Berganti dan Aku di Warung Kopi 

Tahun berganti, lagi 
dari Januari ke Januari 
Sepi, sepertinya rasa telah mati 
sayangnya, aku masih di warung kopi 

Tahun berganti, lagi 
mengagumi kembang api 
Kota berkelasi ditikam isolasi 
dan aku hidup di tengah intonasi 

Tahun berganti, lagi 
masih di warung kopi 
Sebagaimana malam ini 
kujunjungi ia; situs memori 
Sekadar menangkap rupa manusia pagi 
menyerap ratusan angan, empunya tak lagi 

Di warung kopi, 
ketika tahun berganti, 
Mengais rasa sama di diri ini 
aku dipaksa hidup, persetan isolasi 
Sedang mereka tak 'kan pernah kembali 
berziarahlah, tahun pun redup sendiri 

Di warung kopi, 
tak tahun lalu, tak tahun ini 
Orang-orang kuat maha memahami 
sabda dan opini kian minim substansi 
Tuk mengamini mimpi-mimpi sendiri 
sudi membantu biar melahirkan puisi 

Di warung kopi, 
sebelum tahun ini 
Kujumpai satu rasa lagi
yang sering orang-orang lupai 

Dipinjami bak mimpi, 
hukumnya dipulangkan kembali
Kecuali yang akan tertinggal di sini; 
rasa sakit, dan memori warung kopi 
Ada pemakaman disabdakan kembali 

2022 

Kau yang menjauh tapi sibuk mencari Tuhan, sedang Ia lebih dekat dari tempat nadimu didetakkan. 


Sisi Histori Kopi 

Yang acap kali luput dari pembahasan
tentang apa-apa yang ada, adalah satu pertanyaan; bagaimana?

Bagaimana secangkir kopi buatan ibu
atau yang kau seduh seorang diri di malam-malam beku itu
sampai di hadapanmu?

Sebagai mesias agung penyelamat ketidakberdayaan
kopi menjelma barang primer yang selalu kau pesan
Di rumah-rumah kaca demi kebanggaan, dan
di kedai-kedai paling murah pada akhir bulan

Tapi kopi lebih dari sekadar properti eksistensi
ia pernah memegang kendali laju histori negeri ini
Datang dari bagian bumi lain, mungkin tak 'kan kau kunjungi
ia dibawa kompeni, di balik narasi halus nasionalisasi mati-matian dicaci 

Seperti kita yang tak begitu saja 
diterima kehidupan dengan tangan terbuka
Ia pun kenyang diterpa mala dan bencana 
namun kopi kemudian jadi intan, 
pribumi dipekerjakan dan Amsterdam disulap jadi surga Adn 

Pun di sini, tumbuh kota demi kota 
dan jalan demi jalan, menghubungkan satu dengan lainnya 
Juga teriakan para humanis yang sedikit memberikan ruang lega 
tumbuh, peradaban nyaris Eropa

Maka sekali lagi, ia bukan sekadar properti eksistensi 
di tengah riuh penghambaan teknologi
Terlampau kuat, sisi histori kopi 

2022 
 

Anak Indie dan Petani 

Anak-anak masa kini, 
kata bapak; generasi adiksi atensi 
Dengan jejari dan lisan yang ringan 
melempar frasa nihil substansi 
Pandai melahirkan tren demi tren, 
irasional sama sekali 

Persetan, sejarah atau benar-salah, 
tren masa kini tak perlu verifikasi 
Generasi indie, para pemuja senja 
tak kenal jeda dan aktivitas utama 
yang jadi validasinya; minum kopi 

Apalah arti indie, 
siapa peduli para petani 
Di balik kedai-kedai kopi 
yang terus menginvasi 
Berseliweran polis demi polis 
kondang di instagram story 

Lalu kata kakak; 
belajarlah pada mesin pencari, 
Tanpa seragam, tanpa takut dimarahi 
carilah dan telaah arti kata indie secara bijak 

Tebus kekeliruanmu saat melihat kami; 
para petani kopi yang berdiri di kaki sendiri, 
Yang digulung sejarah seiring posmodernisasi 
senantiasa setia membesarkan warisan 
Walau tak lagi senilai intan 

Di bawah bayang-bayang 
masa lalu dengan kejayaannya 
Eksistensi masa kini serba instan, 
minim penghargaan atas proses perjalanan

Di mana bisa kau jumpa hamparan kebun kopi Hindia?
Kecuali pada seonggok arsip yang tak menarik lagi 
atau buku-buku yang telah banyak ditunggangi kuasa 

Tinggal istilah anak indie, 
maknanya jauh terdistorsi 
Yang lebih merdeka sesungguhnya, petani kopi 

2022 


Secangkir Nostalgia 

Secangkir kopi di rumah saja 
dan aku sudah jauh bernostalgia 
Menyambangi satu wangi yang datang 
setiap bulan Juli pada hari kedua 
Membawa buku-buku lawas dari pasar lama 
dengan doa paling mahal; semoga aku bahagia 

Aku meminum lagi secangkir kopi yang tak begitu disukainya
What a shitty trend,” ucapnya kala itu, datar tanpa nada 
aku tak peduli dan ia terus mendakwah filsafat Eropa 

Ia hanya lelaki biasa, bukan pemuda figur revolusi lintas masa 

Tidak pernah berambisi menahkodai perempuannya 
cukup terus belajar, sedikit demi sedikit, bersama-sama 
Selama masih ada langit yang lebih tinggi dari langit kita 
seutuhnya menjadi manusia 

Entah sudah berapa kali kutelan pahit dari secangkir kopi sore ini 
seolah aku tidak peduli bahwa nostalgia hanya sepadan ilusi 
Habis sudah ia kini, dan mulai kutertawakan diri sendiri 
aku hanya menjenguk kenangan yang ternyata abadi 
Pada secangkir kopi yang agaknya ia benci 

Aku segera pergi, katanya 
dalam perjalanan maha-panjang; 
Tugas kita adalah pandai mencari distraksi 
atau perjalanan hanya akan jadi cara 
Paling lambat tuk membunuh diri 
mungkin karena itu, kita pernah berani 
Bersama-sama berjudi demi mimpi, 
dan hal-hal yang tak pasti di bawah rasi 

2022 

 

Baca juga: Sajak-sajak Muhammad Ade Putra
Baca juga: Sajak-sajak Fahira Rayhani
Baca juga: Jam Makan

 

 

 


Azril Azifambayunasti, sejarawan muda dan penikmat puisi, lahir di Kabupaten Pacitan, 20 September 1998. Sedang menempuh pendidikan S-2 Sejarah di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah. Sajak-sajak di sini merupakan karya yang termaktub dalam 50 peserta pilihan kurator pada Lomba Cipta Puisi dalam rangka Festival Pesona Kopi Agroforestry 2022. Lomba ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bekerjasama dengan Media Indonesia. Kini berkegiatan dan beraktivitas di Surakarta. (SK-1)