Sajak-sajak Rina Iksanti 

Ilustrasi: Pingkan Patricia


Semburat Rindu 

Kudengar kepak camar 
lalu lalang, begitu cepat datang 
tuk mengukir jejak tanah yang basah 
langit biru semburat, daratan hijau pekat
sementara lautan perlahan terombang-ambing 
oleh gemuruhnya ombak. 

Gerimis rinai perlahan 
kau aku tersesat dan terjebak 
amuk asmara kian menghujani 
teduh tak kunjung menjemput 
bagai cahaya menguning. 

Kau kembali berkata 
tanpa melihat dan merasakan 
detak jarum jam yang terus berdenting  
namamu, keringatmu, kenanganmu 
selalu jadi kenangan terindah. 

Jadilah rumah, tempat kita kembali 
peneduh keletihan berpangku, 
bersandar, dan berpulang 
lumbung rindu berakhir, 
selalu senang berbagi 
menerima gemuruh 
laut, hati pun 
terbuka. 

2022 


Sang Fajar di Desaku 

Aku menemukanmu 
di antara keramaian manusia, 
setengah kehilanganmu di antara 
sela-sela udara yang tak rela pecah, 
saat sang fajar bercampur embun hampiri kita. 

Mendung belum sempurna tiba 
matahari masih menebar singsing 
semesta bertuan memiliki tujuan 
menyenangkan dan mendewasakan. 

Desa permaiku 
sepi berakar sanksi, 
jauh kebisingan polusi 
hanya keringat menetes peluh. 

Kulihat kaum tani bercucur keringat  
langkah-langkah menapaki sejarah 
membajak sawah sampai uzur 
sungguh bersahaja, tak kenal lelah 
tak cemas walau hama menghampiri. 

Menyantap seadanya; 
sayur, ikan asin, dan sambal teri 
aku ingin merawat bibit-bibit di hatimu  
agar bahagia tak pergi sebelum panen tiba. 

2022 

Baca juga: Sajak-sajak Arina Jannah


Penyejuk 

Filosofi kopi mengajarkan; 
penyejuk hati baik dan tulus 
tak pernah mendustai rasa,
hitam tak selalu kotor dan 
pahit tak selamanya duka. 

Sebelum hati bicara
memutuskan tuk menjauh 

sukma ini pernah kau singgahi sebagai tempat berteduh 

pernah saling mengikat erat; 
rasa nyaman tak tergantikan, 
walau akhirnya saling tak bersuara 

Singkirkan sepi, tertawa bebas 
kita bukan lagi aksara tanpa suara
melainkan doa yang tak pernah lepas 

Saling menyayangi 
melindungi diri dari predator
cahaya yang sama masih berkilau, 
kicauan burung saling terus bersautan
membuat mata ini tak mampu berkedip
akankah kuketuk kembali kalbu tanahmu? 

Oh, betapa indahnya pelangi 
mencerahkan hari-hari tanpa spasi 
arabika, telah kusimpan sebagai bekal esok 
selalu tersedia tanpa habis-habisnya 
dari lereng gunung keabadian. 

2022 


Si Hitam Tak Ada Duanya 

Sekawanan awan berarak 
menyambut sang fajar kembali 
aku termenung di wuwungan langit 
mendung serupa teka-teki simalakama; 
rindu senyummu, lama mengendap di ladang. 

Larut bersama pagi dan senja 
membawa kehangatan di setiap waktu 
serupa endapan bulir-bulir; tak pernah diteguk, 
akhirnya menyisahkan ampas di dasar gelas ini. 

Yang berbuih dalam kehausan 
menggumpal bersama rasa manis
ketika lupa diaduk menyisahkan pahit. 

Kamu bisa hancur lebur, remuk redam, 
dan luluh lantak, tapi tak boleh hilang begitu saja. 
Sebab harummu membuat orang-orang menikmatimu 
di setiap anak hari, terang, dan gelap. 

Perlahan-lahan aku menyeruputmu kembali  
serasa ada yang mencekat di leher 
bagiku kenangan senantiasa luka 
entahlah, melupakan masa silam 
tak sekilat berpejam mata; 
ada gelas tak bergagang. 

2022 

Baca juga: Sajak-sajak Tegar Ryadi


Alamku 

Kulihat barisan pepohonan 
membentang luas, memberi 
ketenangan; damai dan sejuk 
napasmu membuat hidup tenang
mendetakkan seribu denyutan nadi 

Kusaksikan burung-burung melintas 
melewati gugusan awan di seberang 
waktu terasa senyap seketika 
sejak kita tak saling mengenal 

Aku ingin berada di dekatmu 
tak perlu berjuta kata menyatukan hati 

seutas nasib telah mengikat erat kita 

Mungkin bukan takdir selalu bersama 
tapi biarlah rasa membuai selamanya, 
olehmu hidup menjadi lebih bermakna 

Oh alam 
tak jemu-jemu berada di sisimu 
kasihmu hadir dalam kecemasan 
tak bisa diriwayatkan sebagai sajak duka 
mencintaimu seperti mengagumi cahaya bulan 
menjagamu bagai gemerlap rasi bintang 
merawatmu laksana aliran air dari hulu ke hilir 

Keindahanmu 
buat gelap jadi terang 
meski bukan untukku saja 
melepaskan hembusan nafasmu 
senantiasa mewarnai hidup; sejuk di sukma. 

2022 

 

Kehangatan Si Manis 

Malam mengetuk pintu 
sedang pucuk-pucuk cemara 
masih melambai-lambai perlahan 
tak kudengar langkah rindu tiba lagi  
hanya dada bergetar begitu saja 

Jarak membuat jengah 
jangan harap bisa bahagia, 
menatap kejauhan, tak lagi debar 
sebaliknya sudah saling melupakan 

Hanya aroma kopi kukenal 
tak pernah menghianati waktu  
yang pahit bukan endapan kopi 
hanya saja kita tidak lagi bertemu
yang dingin bukan kopi 
hanya saja saat matamu 
berpaling dari mataku
ada keraguan menerka 
ke arah mata angin 

Yang kutahu; 
kopi dan hati saling berpegangan 
sama-sama mempunyai rasa pahit atau manis 

2022 

 

Baca juga: Sajak-sajak Amalia Raras

Baca juga: Sajak-sajak Muhammad Ade Putra

Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia

 

 

 

Rina Maharani Iksanti, penulis dan penikmat sastra, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 7 Juni 1999. Aktif menulis artikel di sejumlah media daring maupun cetak. Alumnus S1 Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang (tamat 2021). Sajak-sajak di sini merupakan karya yang termaktub dalam 50 peserta pilihan pada Lomba Cipta Puisi dalam rangka Festival Pesona Kopi Agroforestry 2022. Lomba ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bekerjasama dengan Media Indonesia. Kini berkegiatan dan berdomisili di Surakarta.