Ilustrasi: Maria Worobyova
Perempuan
Sungguh pesona
bukan seorang jawara
tapi penakluk bala tentara,
bukan panglima tempur, tapi
gagah bersolek di medan laga,
bukan pula penyihir, tapi pelumpuh.
Serupa racun dunia
sebaliknya obat penawar
timbun bergelimangan dosa,
namun penyempurna agama
Pemilik keajaiban
sekedip mata menggoda
luluh beribu rasa terpancar
sekejap bibir mengucap rayu
runtuh segala kekerasan duniawi
kamu merubah bahaya menjelma cinta.
2022
Sahabat
Sahabat,
kaulah matahari;
memberi kehangatan.
Sahabat bagai embun pagi;
pemberi bulir-bulir kesejukan.
Oh, sahabat
dikenal hebat
saat-saat sekarat
selalu kau dekat aku kuat.
Oh, tempat bijak
lebih dari pertemanan
bertingkah baik dan asyik
hari-hari penuh kenyamanan
Jangan berjalan di belakang;
khawatir aku tak mampu memimpin
jangan melangkah di depan pandang;
mungkin tak bisa mengikuti arahmu
cukup berjalan bersama di samping.
Persahabatan laksana
harum bunga-bunga di taman
menghiasi hari-hari penuh ceria
kan kukenang walau tubuh pisah roh.
2022
Baca juga: Sajak-sajak Dody Kristianto
Di Atas Malam
: kepada Eca
Rinai hujan berlalu
membekas derik jangkrik
di atas malam aku terpaku
pada alunan suara mencekik
Jalan kampung
tanpa suara gagak
jejak semakin menepi
mengisahkan rindu padamu
Pertemuan mesra walau
masih saja musafir berkelana
hamparan sajadah bergumpal doa
masih dirimu yang aku cinta...
2022
Negeri Yang Rumit
Gemerlap lampu-lampu kota
kian terang saat hujan di siang hari
lelahku mencari kerja ke sana ke mari
terlalu rumit persoalan administrasi
Ada penawaran menggiurkan
membekas uang sebagai jaminan
seribu pemuda menjadi pengangguran
duduk termenung tak punya jabatan
Negeri yang rumit
alih-alih menyejahterakan,
tak tahunya bermonopoli usir penduduk
rakyat menjerit dibuai orang-orang berdasi
2022
Adik
: kepada Tanji
Adikku, tersayang
manis senyuman bibirmu;
membuat beban menghilang
penyejuk dalam kehausan.
Adikku, tercinta
beribu kesal kau buat
berulang kali bertingkah manja
aku menyayangimu tanpa sebal.
Adikku, termanis
kujaga sepenuh jiwa
sayang selembut rasa
kasih tanpa mahar, abadilah!
2022
Baca juga: Mati Demi Negara
Sekopi Bersamamu
Malam berselimut hujan, rintik-rintiknya menawarkan aroma kesejukan. Memaksa mata enggan terlelap sedini hari. Menjadikan kopi di warung kian laku. Sepertinya malam telah berselingkuh. Meninggalkan gemerlapnya bintang-bintang.
Mengkhianati kesetiaan bulan yang hendak purnama. Aduh, sejauh itukah aku berkhayal karena cinta? Selembut angin yang berbisik menyapa. Menambah teduh sang penikmat kopi.
Aku bertamasya dalam buku-buku. Tenggelam ke luasnya samudera kata-kata. Terdampar ke negeri asmaraloka. Hingga nyanyian para penghuni subuh membangunkan dari lelapnya tidur.
Oh, Tuhan! Daun-daun ini berbaju embun. Bunga-bunga luruh dihempas sisa begadang semalam. Kutermenung di balik sunyi temaram. Masih saja mengisahkan akan dirimu sayang.
2021
Adalah Kopi
Biji-biji kopi serupa teman
masih percaya harapan itu ada
kata-kata kutimbun menjadi sajak
menyeruput dan menghidupi buku-buku.
Rembulan berbalut sepi
secangkir kopi maha hangat,
memberi kesan sederhana di hati
menarik perlahan tuk berdiskusi sendiri.
Kopi hitam selalu menginspirasiku.
penenang kerumitan buana
masih saja mewarnai hari-hari
penyemangat di meja-meja diskusi
menambah teduh saat hujan basahi bumi
seindah saat aku dan kekasih saling berkisah rasa.
2021
Teringat Kopi
Yang tak lekang waktu
butiran hitam jadi primadona
orang-orang menamainya kopi
Secangkir merekatkan silaturahmi.
Masih saja pekat jadi buah bibir
bagi pecandu-pecandu tubruk
kehadiran perlembut malam
kau dan aku adalah ingatan
kala hujan berhampa kopi.
2021
Negeri Tanda Tanya
Dari Sabang sampai Merauke
dari Miangas ke Rote; mengandung
satu cita-cita bangsa, mengikat erat.
Ibu, dahulu melawan penjajah
kini menangisi kebobrokan pejabat
dulu lelah berjuang tuk persatuan
putra-putrimu kini bercerai-berai
demi kepentingan masing-masing.
Ibu melahirkan Pancasila
mendidik dan membesarkan,
putra-putrimu coba membunuhnya.
Bumi subur
langit menuntut
tuk selalu bersyukur.
Tongkat jadi tanaman,
kau semai biji jadi buah,
menanam serbuk sampah
namun menghasilkan emas.
Matahari menerangi siang,
bias cahaya senja cemerlang
bulan bintang penghias malam
memanjakan penghuni kegelapan,
anugerah Tuhan berlimpah kenikmatan
Kurang apa lagi?
Ibu sedang bersusah hati
air matanya berlinang di langit.
Putra-putrimu meminta intan
menguras semua kekayaan,
saling sikut berebut jabatan
menuai beribu masalah
memperumit keadaan.
Mengobrak-abrik ketatanegaraan
mengkhianati para pahlawan bangsa
menodai kemerdekaan yang telah diraih.
Kepada putra-putri;
jangan hancur persatuan
wahai, tetua berdasi sedada;
jangan kau merayu masyarakat, bertopeng janji penuh kepalsuan.
Kepada wakil rakyat;
suguhi kemasan kemiskinan
kau menegakkan sebuah hukum,
tapi malah memperjual belikannya.
Apa maumu?
Kau tawarkan lagu
berirama kesengsaraan
mempermainkan hak-hak di ini negeri!
Apa kurang puas?
korban-korban tewas;
kau malah tertawa lepas,
berbagai macam tragedi;
tak peduli masyarakat
mulai berdemo ricuh;
semakin angkuh,
tak pernah beri solusi,
malah balik kiri;
bubar barisan.
Ibu Pertiwi,
penuh tanda tanya!
2022
Baca juga: Sajak-sajak Fanny Poyk
Baca juga: Sajak-sajak Putri Sekar Ningrum
Baca juga: Sajak-sajak Inggit Putria Marga
Hari Susanto, sering menggunakan nama pena Gagak Lumayung, lahir di Indramayu, Jawa Barat, 11 Juni 1997. Menekuni dunia tulis-menulis, baik puisi maupun prosa. Menamatkan pendidikan S1 di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Jawa Barat. Tiga puisinya berjudul "Sekopi Bersamamu", "Adalah Kopi", dan "Teringat Kopi" merupakan karya yang termaktub dalam 50 peserta pilihan pada Lomba Cipta Puisi dalam rangka Festival PeSoNa Kopi Agroforestry 2022. Lomba ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bekerjasama dengan Media Indonesia. Kini, tinggal dan bergiat di Indramayu. Ilustrasi Maria Worobyova, pelukis asal Moskwa, Rusia.