Ilustrasi: Bolliet
Pulang ke Ladang
Nak, apa kabar? Tidakkah kau rindu bapakmu? Pulanglah! Masih ingatkah kau? Kaki-kaki yang dihiasi lumpur dan disucikan oleh anak sungai dari timur. Masih kangenkah kau? Bangau menari di setiap senja. Aroma kopi yang harumnya sampai ke barat daya. Bapak kini rabun sudah. Telinganya perlahan-lahan jadi tuli, namun ingatan tidak pernah pikun. Tangan masih terampil merawat ladang. Kebun selalu diwiridkan setiap pagi dan petang. Nak, tidakkah kau rindu? Pulanglah ke ladang
2022
Sekarung Goni Isi Kopi
Aku mendengar bisikan,
reformasi telah dikorupsi!
suara muda-mudi bergelegar
membara dari ujung jalan Gejayan
Seperti hari-hari biasanya
ayah menyesap sepuntung rokok
ditemani secangkir kopi lalu berangkat ke ladang.
Sementara di teras, ibu memintal sarung tangan kecil
pesiapan bagi adik yang masih di rahim
Aku menguping siaran radio
kabarnya; ini pagi, seisi pasar gaduh
harga sembako tetiba naik tanpa aba-aba pusat
"Hari ini kita puasa," ujar ibu
seadanya saja, saat makan malam tiba
sayur dan kopi hasil kebun sendiri sudahlah cukup
2022
Sampai kiamat tiba di ubun-ubun, masih ingin dia menanam kopi-kopinya.
Seorang Petani Kopi
Di senja ini
seorang petani tua
mengikat erat sarung
membopoh cangkulnya
Tangan gemetar
tubuhnya mulai rapuh
suara-suara mesin berpacu
menggangu tidurnya yang pulas
di gubuk tua
Kini, ladangnya diapit jalan tol
hati berduka melihat perubahan zaman
edan, orang menyebut-nyebut Serat Kalatidha¹
Dari ladang sepetak
masih tersisa kehidupan
sampai kiamat tiba di ubun-ubun
dia masih ingin menanam kopi-kopinya
2022
¹ Serat Kalatidha, sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa, karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita. Gaya dan bentuk menyerupai tembang macapat. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada 1860 Masehi.
Pikiranku Sedang Gaduh
Mau mimpi apa
di siang bolong begini
wahai gadis desa bermata hitam?
Anak seorang petani kopi
hidup damai dan sederhana
sudah menjadi tradisi, warisan tetua
Kenyataannya zaman berganti
perlahan manusia tumbuh dan berbenah
namun lagi-lagi berujung pasrah
idealismeku tidak laku
Ibu selalu berpesan; lebih baik diam
daripada berkoar nanti dibawa intel
Hidup sebagai rakyat biasa,
memang perlu sedikit mengalah
apalah daya, pikiranku sedang gaduh
2022
Konservasi Katanya
Berdendang
nol emisi; dua puluh,
tiga puluh, empat puluh
jemari perlahan-lahan mulai
menghitung langkahku berputar
depan belakang
Apa bedanya;
udara berdebu, tanah sakit,
jalanan bising, laut dilacur, dan
pangan bermutu cukup mahal sekali
Aku amnesia
kapan terakhir kali
tidak ingat, takut berlari
di jalanan yang berkelok-kelok
Sembari merenung
aku melahap ketela pohon
sambil menyeduh Kopi Dogiyai¹
lezatnya sampai ke ubun-ubun
2022
¹ Kopi Dogiyai, salah satu kopi arabika berkualitas yang berasal dari pegunungan Mapia di Papua.
Baca juga: Bayar Kopi dengan Puisi
Baca juga: Tetapkan Dulu Revisi Kemudian
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Arina Ulfatul Jannah, penulis dan penikmat sastra, lahir di Pati, Jawa Tengah, 20 Februari 1994. Aktif menulis di sejumlah media daring dan cetak. Puisi-puisi di sini merupakan karya yang termaktub dalam 50 peserta pilihan pada Lomba Cipta Puisi dalam rangka Festival PeSoNa Kopi Agroforestry 2022. Lomba ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bekerjasama dengan Media Indonesia. Kini, berkegiatan dan berdomisili di Pati. (SK-1)