KEMAJUAN teknologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan dan sains tidak dapat terelakkan lagi dalam kehidupan sehari-hari, tak terkecuali bagi umat Islam. Maka dari itu, perlu ada keseimbangan yang hadir di antara ilmu agama yang sains.
Pengurus Majelis Wilayah (MW) Keluarga Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Muhammad Nur mengelaborasi beberapa hal, di antaranya, landasan ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an, urgensi penguasaan sains bagi kepentingan agama, serta peran sains dan teknologi bagi seorang muslim.
“Pada zaman-zaman itu juga, di masjid-masjid pun penuh dengan perbincangan-perbincangan (tentang ilmu pengetahuan atau sains). Jadi, mulai dibagi menjadi dua jenis, yang bisa didebatkan atau ijtihad dan yang tidak bisa didebat atau dogma,” papar guru besar tersebut dalam forum kajian daring, Kamis (21/3).
Ia menjelaskan landasan ilmu pengetahuan dalam Al-Qur’an sangat banyak, salah satunya lima ayat pertama Al-Qur’an saat turun, yakni dari surah Al-Alaq yang benar-benar menggugah hati umat manusia.
Pada ayat pertama yang memiliki arti, 'Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan’. Pada ayat pertama saja sebagai ilmuan pasti akan terheran karena ada makna dibalik kata menciptakan, kemudian disambung pada ayat dua yang memiliki arti 'Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah’.
"Pada ayat ke-2 itu pun bagaimana manusia bisa berkembang dari segumpal darah hingga dewasa maka itu sangat menakjubkan. Sehingga banyak ilmuan modern Nabi Muhammad yang mengungkapkannya, padahal sesungguhnya rahasia Allah yang dituangkan dalam lima ayat pertama," kata Nur dalam Ramadan Spesial: Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi tanpa Dikotomi, Kamis (23/3).
Kemudian pada ayat ke-3, yakni 'Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah’, kemudian pada ayat ke-4 'Yang mengajar (manusia) dengan perantara’, dan ayat ke-5, yakni 'Dia yang mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya’.
"Pekembangan ilmu pengetahuan dalam Islam pada 8 Masehi banyak ilmuan yang terbentur dengan persoalan dan pergi ke masjid dan tiba-tiba persoalan tersebut terurai," ujarnya.
Harmonisasi
Menurut Nur, saat ini ilmu pengembangan dipagari oleh tiga hal, yakni rasionalisme filosofis, rasionalisme sekuler, dan filosofis empiris atau logis. Rasionalisme filosofis cenderung mengandalkan akal tanpa bantuan pengamanan atau persepsi indrawi. Kemudian sekuler menerima kekuatan akal, tapi cenderung lebih mengandalkan pengalaman indrawi dan menyangkal otoritas dan intuisi serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu.
"Sedangkan empiris adalah membangun keilmuan dari fakta yang diamati yang tidak bisa diukur dan tidak bisa dibuktikan dan tidak masuk akal. Dengan ketiga pilar tersebut, maka tidak bisa diukur," ujarnya.
Menurutnya, dalam kehidupan social seorang pribadi yang utuh, perlu ada harmonisasi antara pengetahuan psikologis dan nilai-nilai agama.
“Ketika kita masuk pada ranah psikologi, kita harus tambahkan religion (agama) dan ilmu sosial di sini. Manusia bukan sembarang manusia (yang menyeimbangkan ketiga hal tersebut), mereka adalah golongan saleh,” ujar Muhammad Nur. (Iam/H-2)