24 April 2022, 04:20 WIB

Kirab Tumpeng Sewu Rayakan Malam Selikuran


(Widjajadi/H-3) |

UMAT Islam memercayai 10 hari terakhir di bulan Ramadan, khususnya di malam-malam hari ganjil, merupakan peristiwa turunnya Lailatulqadar, yang disebut lebih mulia dari seribu bulan. Di Kota Surakarta, perayaan datangnya Lailatulqadar itu selalu dilaksanakan Keraton Kasunanan Surakarta, dengan gelaran tradisi malam selikuran dengan kirab seribu tumpeng, persis pada 20 Ramadan atau malam 21.

Ramadan dua tahun terakhir ini, Keraton Kasunanan tidak menyelenggarakan tradisi tersebut karena pandemi covid-19. Namun, tahun ini, tradisi malam selikuran digelar pada 22 April malam.

Istimewanya, hajad dalem malam selikuran Keraton Kasunanan Surakarta itu terlaksana dua versi, yang pertama dari Sinuhun PB XIII dan sesi kedua oleh Lembaga Dewan Adat (LDA).

Pengageng Parentah Keraton Kasunanan KGPH Dipokusumo mengatakan prosesi kirab seribu tumpeng pada malam selikuran ini merupakan tradisi yang digelar sejak zaman Sunan Kalijaga itu. "Upacara tradisi itu untuk menyongsong turunnya wahyu Lailatulqadar yang diterima Nabi Muhammad SAW," tukas Gusti Dipo di Masjid Agung Keraton Kasunanan, Jumat (22/4) malam.

Tradisi yang sudah ada sejak zaman Sunan Kalijaga itu, lanjut dia, sebagai bagian dari upaya menyebarkan agama Islam di Jawa dan terus dilanjutkan semasa Raja Mataram Islam, Sultan Agung bertahta, hingga dilestarikan sampai sekarang. "Penyelenggaraan tradisi tumpeng sewu, yang dilengkapi dengan lampion tadi merupakan simbol dari malam seribu bulan saat malam Lailatulqadar," tegas Dipokusumo.

Tumpeng sewu juga bisa diartikan sebagai konsep berbagi rezeki oleh raja pada masyarakat. Pembagian nasi tumpeng yang telah didoakan itu wujud perhatian seorang raja kepada rakyatnya. "Memang banyak filosofi yang terkandung dalam setiap isian nasi berkat yang dibagikan tadi. Semuanya bisa dimaknai sebagai rasa syukur atas kebaikan yang diberikan Allah SWT," tegas dia.

Pada masa PB X hingga PB XII, tradisi tumpeng sewu pada malam selikuran ini dikirab dari Keraton menuju pendopo Taman Sriwedari. Namun, seiring waktu prosesi kirab kembali berakhir di Masjid Agung Keraton Kasunanan.

Terkait dengan prosesi kirab yang berubah itu, Gusti Dipo menegaskan bukan sebagai masalah dan tidak mengurangi makna tradisi. "Kebetulan Sriwedari juga sedang dibenahi," jelasnya.

Pada bagian lain, Ketua Eksekutif Lembaga Hukum LDA Keraton Kasunanan KP Eddy Wirabhumi mengatakan tujuan tradisi ini agar masyarakat dapat merasakan kemeriahan menyambut Lebaran 2022. "Siapa pun boleh melakukan upacara adat. Semakin banyak yang mangayubagyo atau merayakan justru semakin baik," kata dia.

Acara yang digelar LDA Keraton ini sangat meriah karena diisi dengan hadrah mengelilingi Baluwarti sebelum menuju Masjid Agung. Kerlap-kerlip lampion dan juga obor yang dibawa seribu abdi dalem mendapatkan perhatian besar dari masyarakat. Wirabhumi menambahkan, pada zaman PB X, kirab tumpeng sewu memang memutar di Baluwarti. "Tidak jadi soal mana yang paling benar. Tradisi adat malam selikuran ini untuk kebaikan bangsa ini," pungkas dia. (Widjajadi/H-3)

BERITA TERKAIT