SEORANG pria bertubuh kekar tampak khusyuk dengan tasbih di tangannya. Mengenakan pakaian serbaputih dengan surban melingkar di leher, ia mengambil posisi duduk bersila tepat di saf pertama. Mulutnya terlihat terus bergerak membaca zikir. Pria bernama Muh Asdy, 42, itu baru selesai melaksanakan salat Asar berjemaah bersama warga lainnya di Masjid Jami, Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat, Palu, Sulawesi Tengah.
Setiap Ramadan berlangsung, Asdy sering datang beribadah salat di masjid itu. Meski rumahnya jauh, hal itu tidak mematahkan semangatnya untuk datang beribadah. “Hampir setiap Zuhur dan Asar saya salat di masjid ini. Kenapa sering ke masjid ini karena nyaman digunakan dan masjid ini menyimpan banyak sejarah tentang syiar Islam yang perlu kita ketahui,” imbuh Asdy.
Masjid Jami menyimpan banyak cerita tentang syiar islam di Palu. Masjid Jami merupakan masjid yang pertama dibangun di Palu pascamasuknya Islam di kota itu pada abad ke-17. Islam saat itu dibawa seorang ulama asal Minangkabau, Sumatra Barat, Syekh Abdullah Raqi atau lebih dikenal dengan nama Datuk Karama. Kemudian, ia bertemu dengan seorang tokoh di Kelurahan Baru bernama H Bora Hima. Datuk Karama menjelaskan soal Islam lalu mengislamkan H Bora Hima. “Setelah H Bora Hima beragama Islam, ia kemudian membangun masjid ini bersama warga sekitar pada tahun 1812. Masjid ini dibangun sebagai tempat berdakwa untuk mengajak warga Palu lainnya masuk Islam,” cerita Ketua Badan Pengurus Masjid Jami H Hardi kepada Media Indonesia, Jumat (8/4).
Pertama kali didirikan, Masjid Jami masih berukuran kecil dengan panjang dan lebar sembilan meter serta dinding dari kayu dengan beratapkan daun rumbia. Saat itu masjid masih disebut langgar karena tidak diselenggarakan salat Jumat. “Meski waktu itu masjid berukuran kecil, banyak warga Palu yang dimuslimkan dan kemudian beribadah lima waktu di masjid tua ini,” ungkap Hardi.
Terus berjalannya waktu, Masjid Jami kemudian dipugar. Pemugaran terakhir pada 1992 mengubah ukuran masjid menjadi panjang dan lebar 25 meter. Bangunannya pun bertingkat. “Dan pada 2004, dibangunlah menara yang ada saat ini. Menara itu tinggi 30 meter, ya, lebih tinggi daripada kubah masjid," imbuh Hardi.
Hingga kini, masjid yang terdapat makam pendiri masjid di sisi barat dan makam warga sekitar di selatannya itu selalu ramai ditempati ibadah oleh umat Islam. “Yang datang ibadah di sini bukan hanya warga sekitar, tapi ada juga warga dari luar Palu,” sambung Penasihat Masjid Jami, Husein Hi Moh Shaleh.
Masjid Jami tidak hanya dijadikan sebagai tempat ibadah salat semata, tetapi juga masih tetap dijadikan tempat dakwa oleh sebagian kelompok jemaah, termasuk dijadikan sebagai pusat pengajian oleh anak-anak warga sekitar masjid. “Untuk pengajian dilakukan di lantai dua masjid dan kegiatan keagamaan lainnya di lantai satu,” jelas Husein. (M Taufan SP Bustan/H-3)