TAHUN ini merupakan Ramadan pertama saya di Tunisia tanpa lockdown akibat covid-19. Bagi warga Tunisia, menjalani puasa Ramadan tidak boleh berhenti di titik menahan lapar dan haus. Harus diikuti sikap empati, peduli, dan menumbuhkan kepekaan terhadap lingkungan sekitar.
Pada Ramadan pertama saya pada 2020 di Tunisia, saat itu sudah memasuki masa pandemi. Pergerakan semua warga Tunisia, termasuk saya dan teman-teman pelajar Indonesia, dibatasi.
Kami tidak bisa keluar rumah dengan leluasa, warung-warung dan pasar dibatasi jam operasionalnya, dan masjid-masjid pun ditutup. Walaupun semua orang hampir tidak bisa ke luar rumah, kepedulian dan cahaya kasih sayang warga Tunisia dapat secepat kilat masuk rumah kami, para pelajar Indonesia. Inilah yang membuat saya takjub.
Ketika itu, setiap hari saya dapat berbuka puasa dengan makanan siap santap, dibungkus, dan diantarkan langsung ke rumah oleh dermawan asal Tunisia.
Saya tidak mengenal mereka dan pasti mereka pun tidak mengenal saya. Namun, perbedaan warga negara dan ras tidak membatasi warga Tunisia untuk berbuat baik kepada siapa pun, khususnya kepada kami, warga Indonesia.
Ada juga warga ke rumah untuk mengirimkan sembako plus kurma yang menjadi pelengkap menu buka puasa saya dan teman-teman Indonesia lainnya. Kebaikan dan kepedulian warga Tunisia yang mereka wujudkan dengan berbagi senantiasa dapat saya rasakan. Begitu pun pada Ramadan kedua pada 2021, yang masih dalam suasana pandemi.
Kasih sayang mereka terhadap kami para pelajar Indonesia senantiasa mengalir, menemani kemuliaan bulan suci Ramadan. Tahun ini merupakan Ramadan ketiga saya di negeri berpenduduk sekitar 12 juta jiwa ini.
Berbeda dari dua kali Ramadan pada tahun sebelumnya, saya dapat leluasa pergi ke luar rumah, membeli takjil untuk berbuka, belanja berbagai kebutuhan ke pasar, juga dapat dengan tenang mengikuti salat Tarawih di masjid.
Istimewanya, walaupun suasananya berbeda dari tahun sebelumnya, prinsip dan nilai-nilai kebaikan warga Tunisia tidak berubah. Sikap empati dan peduli yang mereka wujudkan melalui kesalehan sosial dapat saya rasakan di luar rumah, pasar, dan di jalanan.
Saat sedang di pasar, tiba-tiba ada warga Tunisia menghampiri saya dan memberi buah kepada saya, dari apa yang telah mereka beli. Hal itu yang saya alami pada awal Ramadan ini.
Kebaikan dan kepedulian warga Tunisia tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Kenyataan tersebut menjadi karakter dan budaya warga Tunisia yang senantiasa melekat di benak saya.
Ramadan di Tunisia menghidupkan kemanusiaan kita. Itulah yang dapat saya ungkapkan setelah menjalani dan memasuki tahun ketiga Ramadan di negara paling utara di Benua Afrika ini. (H-1)