SEJAK ratusan tahun, Kota Semarang menjadi daerah paling toleran dan wajah pusat kota menjadi bukti kerukunan antarpenduduk multietnik, yakni meskipun berbeda keyakinan, budaya, ataupun suku bangsa, tetap rukun dan tidak pernah terdengar adanya perselisihan.
Wajah perkampungan di pusat kota, yaitu di seputar Pasar Johar dan Alun-Alun Kota Semarang cukup unik. Perkampungan terbentuk memutar ibu kota Kabupaten Semarang (sebelum menjadi Kota Semarang karena kabupaten pindah ke Ungaran) dengan beragam etnik. Di sebelah barat Kanjengan terdapat kampung masyarakat Jawa bernama Kauman ditandai Masjid Agung Kauman karena mayoritas penduduk orang Jawa muslim. Di sebelah utara, Kota Lama, peninggalan bangsa Eropa (Belanda) dengan dilengkapi Gereja Blenduk (GPIB Emanuel). Di sebelah timur dikenal dengan Kampung Pekojan berasal dari kata Koja merupakan panggilan etnik tertentu (Koja). Sebagian penduduk ialah etnik Timur Tengah (Arab) dan India, mayoritas warga beragam Islam dengan ditandai adanya Masjid Jami Pekojan dibangun sejak 1,5 abad lalu.
Di sisi selatan Kampung Pacinan. Warga di kawasan ini merupakan etnik keturunan Tiongkok, terlihat dari arsitektur bangunan rumah dan banyak berdiri tempat peribadatan berupa kelenteng, seperti See Hoo Kiong, Tay Kak Sie, Ling Hok Bio.
Saat Ramadan seperti saat ini, umat muslim di sisi timur maupun barat Pasar Johar dan alun-alun seperti tahun sebelumnya tetap menjalankan ibadah puasa beserta kegiatan keagamaan, seperti tarawih dan berbuka bersama. Warga etnik lain yang tinggal di sisi selatan, meskipun beda agama terlihat ikut membagikan takjil berbuka secara cuma-cuma untuk yang sedang beribadah puasa. "Kita bersama warga keturunan Tiongkok ikut bagikan takjil gratis untuk warga yang berpuasa setiap Ramadan," ujar Melawati, 25, warga di Jalan Gang Pinggir, Kota Semarang.
Ketika perayaan Imlek dipusatkan di Kampung Pacinan, warga berbeda agama tidak pernah menjadikannya masalah. Berbagai seni budaya ditampilkan warga keturunan Tiongkok justru menjadi hiburan dan tontonan penduduk sekitar. Pun ketika umat Nasrani merayakan hari besarnya, seperti Natal dan Paskah, Gereja Blenduk menjadi pusat peribadatan.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi dalam beberapa kesempatan mengungkapkan bahwa di ibu kota Jawa Tengah ini tidak ada mayoritas ataupun minoritas karena warga yang tinggal di sini berasal dari berbagai etnik, agama, dan budaya. "Warga yang ada di Kota Semarang adalah satu keluarga yang saling membantu, saling menolong, dan saling menghormati untuk bersama membangun daerah," kata Hendrar.
Bertepatan bulan Ramadan ini, kata Hendrar, toleransi semakin terlihat dan diharapkan tidak ada sweeping karena semangat kerukunan dalam satu keluarga. "Saling menghormati dan menghargai akan menjadi kunci kebersamaan tersebut," imbuhnya.