SOLIDARITAS Nasional untuk Rempang menemukan sejumlah dugaan adanya kekerasan dan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) terhadap masyarakat Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Dari hasil investigasi yang dilakukan pada September 2023.
Wakil Koordinator Kontras Andi Muhammad Rezaldy mengatakan beberapa pihak menyatakan tidak ada korban jiwa dalam peristiwa Rempang. Padahal berdasarkan temuan lapangan yang diungkapkan tersebut menyesatkan publik ditandai dengan munculnya sejumlah korban di lapangan.
"Kami menilai penggunaan gas air mata pun tidak dilakukan secara terukur. Salah satunya dibuktikan dengan ditembakannya gas air mata ke lokasi yang tidak jauh dari gerbang sekolah, yaitu SMPN 22 Galang dan SDN 24 Galang," ujarnya.
Baca juga : PBNU Sebut Akuisisi Paksa Tanah Warga Rempang oleh Pemerintah Hukumnya Haram
Lebih lanjut, laporan ini juga mengungkap fakta bahwa pengerahan aparat untuk mengawal pematokan tanah dilakukan secara berlebihan karena skalanya sangat besar.
Berdasarkan keterangan warga Rempang, diperkirakan setidaknya terdapat 60 kendaraan yang dikerahkan menuju lokasi di tanggal 7 September 2023 disertai dengan setidaknya 1.010 lebih personel yang terdiri dari Polisi, TNI, Satpol PP dan Ditpam BP Batam. Jumlah ini bahkan dipertegas oleh rilis yang dikeluarkan oleh Humas Polresta Barelang.
Baca juga : Warga Pulau Rempang Dipaksa Setujui Relokasi, Layanan Faskes dan Sekolah Dihentikan sejak Agustus
"Dari hasil investigasi yang dilakukan serta analisa mendalam, kami menyimpulkan peristiwa kekerasan di Rempang 7 September 2023 merupakan pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM," kata Andi.
Pihaknya mendesak pemerintah melakukan pendekatan berbasis dialog, respon cepat dan tanggap harus segera dilakukan guna mencegah keberulangan peristiwa kekerasan.
"Ini termasuk mengkaji ulang PSN (proyek strategis nasional) dalam hal implementasinya selama ini, kemudian merombak kebijakan pendekatan dengan meninggalkan model pengerahan aparat kekerasan negara. Hal yang tak kalah penting, pemulihan bagi para korban dan umumnya pada situasi yang belakangan terjadi. Harus dipastikan bahwa seluruh korban mendapatkan pemulihan yang layak dan efektif baik secara fisik maupun psikologis," tegasnya.
Teror
Fakta lain yang ditemukan juga menunjukkan kehadiran aparat telah nyata berimplikasi pada munculnya ketakutan di tengah masyarakat. Dari hasil pemantauan, setidaknya terdapat 5 posko penjagaan di Pulau Rempang Jalan Trans Barelang hingga daerah Sembulang.
"Kami mengidentifikasi bahwa sekitar 20 – 30 aparat gabungan ada di masing-masing posko. Ketakutan masyarakat semakin bertambah karena aparat rutin berpatroli di Pulau Rempang tanpa alasan yang jelas. Belum lagi, warga di 16 kampung diusir secara perlahan atas nama relokasi. Warga diminta untuk mendaftarkan dirinya serta membawa bukti-bukti kepemilikan tanahnya dari tanggal 11-20 September 2023 di dua tempat yakni Kantor Kecamatan Galang di Sembulang dan Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI)-kini berganti menjadi Kantor Koramil," paparnya.
Kantor Kecamatan Galang sebagai tempat pendaftaran relokasi pun juga difungsikan sebagai posko keamanan sejumlah aparat yang berasal dari Satuan Brimob, dipersenjatai secara lengkap dengan laras panjang beserta dengan motor.
Hal ini jelas berlebihan, mengingat situasi sudah diklaim aman. Penempatan aparat gabungan di fasilitas sipil seperti halnya kantor kecamatan tentu juga akan sangat problematik, mengingat kecamatan melingkupi berbagai urusan.
"Peristiwa ini juga diakui telah merugikan kehidupan ekonomi dan rutinitas masyarakat Rempang. Mata pencaharian masyarakat yang didominasi oleh nelayan pun harus terhenti.
Menurutnya warga memberikan berbagai kesaksian bahwa fokus utama mereka ialah mempertahankan kampung dari pematokan. Selain itu, aktivitas melaut jika pun dilakukan tidak akan efektif karena memikirkan nasib keluarga di rumah yang dikhawatirkan akan diamankan petugas.
Temuan penting lainnya untuk diketahui publik yakni tata kelola pemerintahan di Batam yang carut marut ditandai oleh peran ganda seorang Walikota yang juga mengepalai BP Batam.
Capital Violence
Berdasarkan sejumlah temuan yang ditemukan Solidaritas Nasional untuk Rempang mencoba melakukan identifikasi fenomena dalam berbagai poin analisis. Rangkaian kekerasan yang terjadi di Rempang merupakan bagian dari kekerasan yang berbasis pada kepentingan modal/kapital (Capital Violence).
Sikap pemerintah yang menganut watak developmentalis dan pembangunanisme sangat berbahaya dan meminggirkan hak-hak masyarakat. Selain itu, ketakutan yang terbangun di tengah-tengah masyarakat akibat kehadiran aparat adalah teror psikologis oleh Negara kepada masyarakat. Begitupun keterlibatan militer tidak sesuai prosedur sehingga harus dinyatakan sebagai operasi militer illegal.
"Situasi ini semakin parah diiringi dengan pendekatan keamanan yang mana melibatkan aparat keamanan. Tak jarang keterlibatan aparat untuk untuk mengakselerasi kepentingan bisnis dan investasi telah menimbulkan sejumlah pelanggaran HAM," ujar Wakil Koordinator Kontras Andi Muhammad Rezaldy
Praktik brutalitas aparat dan penggunaan kekuatan berlebihan mengakibatkan tindakan kekerasan. Penggunaan kekuatan berlebihan salah satunya tercermin dalam penembakan gas air mata di dekat fasilitas sipil seperti halnya sekolah. Belum lagi, pelanggaran hak atas partisipasi dan akses terhadap informasi yang sangat nyata. Masyarakat tidak dimintai persetujuannya sebelum proyek Eco-city ini berjalan dan mengorbankan tanah warga Rempang.
Peristiwa 7 September 2023 pun melahirkan penangkapan sewenang-wenang terhadap 8 masyarakat. Penangkapan terhadap massa aksi yang berpendapat kami anggap sebagai bentuk kriminalisasi masyarakat yang mempertahankan ruang hidupnya.
"Padahal Pasal 66 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 secara jelas menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata," imbuhnya.
Peristiwa di Rempang tegasnya harus dianggap sebagai permasalahan serius, sebab telah berdampak pada banyak aspek. Bibit-bibit memburuk dan berlanjutnya konflik telah terlihat paling tidak dari dua ciri yakni sentimen kesukuan yang terbangun dan dendam akibat kekerasan.
"Jika terus dibiarkan, bibit konflik berkepanjangan ini akan terus meluas dan membesar. Pemerintah harus segera mengambil solusi untuk mencegah jatuhnya korban lanjutan," cetusnya. (Z-4)