07 June 2023, 23:05 WIB

MA Seharusnya Nonaktifkan Hasbi Hasan


Widhoroso |

MAHKAMAH Agung (MA) bisa menonaktifkan Hasbi Hasan dari jabatannya sebagai Sekretaris MA setelah menjadi tersangka kasus dugaan suap. Penonaktifan Hasan Hasbi merupakan tanggung jawab moral dan etika MA     

Hal itu diungkapkan pakar Hukum Adminitrasi Negara (HAN) Universitas Bengkulu Beni Kurnia Ilahi. Ia mengatakan tindakan Hasan Hasbi sebagai pejabat publik merupakan bentuk perbuatan penyimpangan terhadap institusi peradilan.

"Perbuatannya mencoreng institusi peradilan. Jadi bukan hanya penegakan hukum, tapi harus ada penegakan etika dan moral yang dilaksanakan oleh Ketua MA," ujar Beni dalam keterangannya.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No, 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) menyatakan ketika seorang PNS berstatus sebagai tersangka dan ditahan, penegak hukum dapat mengintruksikan kepada pejabat pembina kepegawaian untuk memberhentikan sementara atau menonaktifkan pejabat tersebut.

Setelah keluar keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan menyatakan tersangka bersalah, dapat diambil tindakan pemberhentian secara tidak hormat. "Dalam kasus ini yang dapat memberhentikan adalah ketua MA," sambung Beni.

Beni berharap Presiden Joko Widodo memberikan rekomendasi kepada Ketua MA untuk menindak bawahannya yang tersangkut kasus korupsi. Apalagi selama ini institusi peradilan, khususnya MA dan lembaga peradilan dilevel bawah telah menjadi sorotan masyarakat sehingga perlu adanya sikap tegas Presiden untuk memperbaiki citra lembaga peradilan di Tanah Air.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman menyatakan kasus yang melibatkan Hasbi Hasan bukan hal baru di MA. Seja dulu, kasus penyimpangan kerap terjadi yang melibatkan sejumlah hakim agung, sekretaris, dan sejumlah pegawai MA.

Hal ini mengesankan adanya keterlibatan di semua level dengan berbagai posisi jabatan dalam kasus jual beli perkara. "Ini menunjukan telah terjadi kerusakan moral secara sistemik. Sudah seperti kanker yang menggegrogoti tubuh MA," kata Zaenur.

Dia menduga penyebab dari berulangnya kasus serupa di lingkungan MA disebabkan faktor kebiasaan. Terjadinya gratifikasi serta jual beli perkara menunjukan hal itu seakan telah menjadi budaya yang sudah berlangsung sejak dulu.

"Karena sudah menjadi budaya, faktor pertama adalah merubah kultur korup dari lembaga peradilan. Perlu perbaikin mendasar, perbaikan sistem pengawasannya, dan pengawasan internal oleh Bawas MA, dan eksternal KY," tandas Zaenur. (RO/R-2)

BERITA TERKAIT