UNDANG-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru diundangkan pada 2 Januari 2023. Namun, dalam Pasal 624 BAB XXXVII mengenai Ketentuan Penutup dinyatakan pula KUHP baru tersebut mulai berlaku setelah 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan atau mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
Demikian tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 36/PUU-XXI/2023 yang dibacakan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan yang digelar pada Kamis (25/5).
Permohonan itu diajukan oleh Leonardo Siahaan dan Ricky Donny Lamhot Marpaung yang menguji Pasal 237 huruf c, Pasal 100 ayat (1), dan Pasal 256 KUHP.
Baca juga : Wapres Nilai Putusan MK Bikin KPK Lebih Efektif
Suhartoyo menyebutkan terkait dengan keberlakuan KUHP baru ini telah dipertimbangkan pula dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya Putusan MK Nomor 1/PUU-XXI/2023, Putusan MK Nomor 7/PUU-XXI/2023, dan Putusan MK Nomor 10/PUU-XXI/2023.
Putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 28 Februari 2023 lalu. Karena permohonan para Pemohon diajukan pada 28 Maret 2023 dan diregistrasi Kepaniteraan pada 3 April 2023, serta perbaikan permohonannnya diterima pada 26 April 2023, sehingga pada saat permohonan ini diajukan, telah terdapat fakta KUHP baru yang dimohonkan pengujian secara hukum ini belum berlaku.
Baca juga : MK Kabulkan Penarikan Permohonan Uji Ketentuan Pajak Penghasilan
“Dengan demikian, unsur syarat adanya anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma undang-undang dan unsur adanya hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian konstitusional para Pemohon akibat berlakunya norma undang-undang ini belum terpenuhi karena belum berlakunya undang-undang yang bersangkutan. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon merupakan dalil yang terlalu dini (prematur),” ujar Suhartoyo.
Adapun, para Pemohon menyebutkan Pasal 237 huruf c KUHP serupa dengan Pasal 57 huruf d KUHP yang pernah dibatalkan MK. Ia menilai dengan memasukkan kembali pasal tersebut, Pemerintah menunjukkan ketidakpatuhan terhadap Putusan MK Nomor 4/PUU-X/2012.
Pemohon mendalilkan tidak ada pembedaan serupa sama sekali, tetapi yang menjadi ironis Pasal 57 huruf d KUHP sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 justru diberlakukan kembali dan dimasukkan kembali dalam KUHP yang tertuang dalam Pasal 237.
Artinya, lanjut Suhartoyo, Pemerintah tidak mematuhi dan tidak melaksanakan putusan MK yang sudah ada tertera Putusan Nomor 4/PUU-X/2012.
Dalam permohonannya, para Pemohon juga mempersoalkan mengenai sanksi pidana bagi orang yang hendak melakukan unjuk rasa maupun demonstrasi tanpa adanya izin sebagaimana tercantum dalam Pasal 256 KUHP.
Pemohon beranggapan pasal tersebut menimbulkan kerugian potensial dan dalam hal mengancam kebebasan berpendapat seperti termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945. Berdasarkan hal-hal tersebut, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 100, Pasal 237 huruf C dan Pasal 256 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. (Z-5)