MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan praperadilan merupakan merupakan wewenang Pengadilan Negeri. Wewenang tersebut telah diperluas setelah adanya putusan MK sebelumnya.
"Praperadilan merupakan wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Selain itu, Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 telah memperluas kewenangan praperadilan, termasuk untuk memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan,” ujar Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dalam sidang MK, Kamis (25/5).
Pengujian konstitusionalitas frasa ‘penghentian penyidikan’ yang menjadi bagian dari proses penyidikan, telah diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Sederhananya, telah terdapat batasan bagi penyidik sehingga dapat menghentikan penyidikan, yaitu jika tidak terdapat cukup bukti; peristiwa yang menjadi objek penyidikan bukan merupakan tindak pidana; dan penyidikan dihentikan demi hukum.
Baca juga : MK Tolak Permohonan Pembatalan ‘Periksa Kejiwaan’ dalam Seleksi Panwaslu
Hal itu menjadi salah satu pertimbangan hukum Putusan Nomor 33/PUU-XXI/2023 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Sesuai dengan petitum permohonan, sambung Manahan, para Pemohon meminta perluasan batasan penghentian penyidikan termasuk pula penghentian apabila aparat penegak hukum tidak melakukan serangkaian tindak pemeriksaan sejak laporan dugaan tindak pidana korupsi disampaikan dengan jangka waktu satu tahun. Mahkamah menilai dikarenakan laporan para Pemohon belum sampai pada tahapan penyidikan, maka kendati permohonan ini dikabulkan, tidak akan berpengaruh apapun pada laporannya.
Baca juga : Penyelesaian Sengketa Pilpres di MK Tetap 14 Hari Kalender
Sementara jika laporan tersebut telah sampai pada tahap penyidikan dan permohonan dikabulkan, justru keadilan yang diharapkan para Pemohon tidak akan terwujud karena penyidikannya terhenti.
Selain itu, pasal a quo hanya mengatur pihak yang berhak mengajukan permohonan praperadilan yang objek pemeriksaannya mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Sehingga, Pasal 80 KUHAP tidak mengatur substansi penghentian penyidikan yang ingin diperluas para Pemohon.
Sedangkan pengaturan penghentian penyidikan yang dimaksud telah diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP.
Untuk mengungkapkan kasus tindak pidana korupsi dibutuhkan bukti permulaan yang cukup. Untuk itu, UU Tipikor mengamanatkan agar masyarakat berperan membantu penegak hukum dalam pengungkapan kasus tindak pidana korupsi.
Jika proses pencarian bukti awal telah memakan waktu satu tahun, kemudian penyidikannya dihentikan, maka perjuangan pemberantasan korupsi akan sia-sia. Terhadap kewajiban aparat atas laporan masyarakat ini telah diatur dalam Pasal 106 KUHAP.
Dengan demikian persoalan hukum yang didalilkan para Pemohon bukan merupakan persoalan konstitusionalitas norma Pasal 80 KUHAP terutama frasa ‘penghentian penyidikan’.
Sebab pada norma tersebut, lanjut Manahan, mengatur mengenai siapa yang berhak mengajukan praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan secara substansi telah diperiksa oleh Mahkamah dan diputus dalam Putusan MK Nomor 98/PUU-X/2012.
“Mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan Amar Putusan Nomor 33/PUU-XXI/2023, yang diajukan oleh Asep Muhidin dan Rahadian Pratama Mahpudin.
Sebagai tambahan informasi, dua orang warga Garut, Asep Muhidin, dan Rahadian Pratama Mahpudin, mempersoalkan norma Pasal 80 KUHAP yang menyatakan, 'Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.'
Pada persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (10/4) para Pemohon yang hadir secara daring menjelaskan pihaknya pernah mengajukan Permohonan Praperadilan sebanyak tiga kali. Kesimpulan pertimbangan pada ketiga Putusan tersebut adalah menolak permohonan Praperadilan disebabkan Kejaksaan belum melakukan serangkaian pemeriksaan dalam menanggapi laporan pengaduan masyarakat sehingga Majelis Hakim menilai prematur.
“Pemohon telah dirugikan secara konstitusional karena tidak adanya kepastian hukum dari lembaga Kejaksaan terhadap laporan pengaduan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti dengan segera dengan serangkaian pemeriksaan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP),” kata Asep Muhidin. (Z-5)