PEMBERITAAN terkait harta tidak wajar yang dimiliki aparatur sipil negara (ASN) Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Bea Cukai kian marak. Dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pun mengemuka. Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Rijadh Djatu Winardi mengatakan ada sejumlah modus tindak pencucian uang atau money laundering.
Tindak pencucian uang ialah tindakan menyembunyikan sumber uang atau kekayaan yang didapatkan secara ilegal. Dengan cara itu kekayaan yang didapatkan seolah-olah berasal dari sumber yang sah dan legal.
"Umumnya pencucian uang dilakukan dalam tiga tahapan yakni placement, layering, dan integration," ungkap pria yang akrab disapa Riri itu, Jumat (10/3).
Baca juga: KPK Ogah Komentar Soal Transaksi Mencurigakan Rp300 Triliun
Riri menyebut ada empat kemungkinan pelaku melakukan tindak pencucian uang. Pertama mereka yang melakukan tindak pidana, kemudian mencuci hasil tindak pidana tersebut. Tindak pidana tersebut sebagai tindak pidana asal dan mereka yang melakukan tindak pidana asal dengan mencuci uangnya sendiri.
Kedua, mereka yang melakukan tindak pidana asal, mencuci uangnya sendiri, dan mencuci hasil kejahatan lain. Ketiga, mereka yang menjalankan bisnis yang tidak melakukan tindak pidana asal, tetapi mencuci hasil kejahatan orang lain sebagai bagian dari bisnis mereka yang sah. Keempat, mereka yang mencuci hasil kejahatan orang lain sebagai satu-satunya kegiatan bisnis mereka.
Baca juga: Informasi Pemilikan Saham Pegawai Kemenkeu Belum Diterima
"Bentuk pencucian uang yang umum disebut smurfing atau structuring. Maksud smurfing atau structuring adalah tindakan pelaku kejahatan memecah sejumlah besar uang tunai menjadi beberapa simpanan kecil, seringkali menyebarkannya ke banyak akun berbeda untuk menghindari deteksi," katanya di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Riri mengungkapkan modus lain pencucian uang ada banyak, misalnya penggunaan perusahaan cangkang. Perusahaan cangkang adalah perusahaaan tanpa operasi aktif atau aset yang signifikan dan perusahaan ini digunakan untuk menyembunyikan dana hasil kejahatan.
"Modus lain adalah pencucian lewat perdagangan, pembelian surat berharga seperti saham, obligasi, dan barang mewah hingga aset digital seperti mata uang kripto," ucapnya.
Sayangnya sampai saat ini belum ada pedoman besaran uang yang masuk tindak pencucian uang. Meski nominal yang masuk transaksi mencurigakan Rp500 juta.
Jumlah itu, kata Riri, hanya panduan bukan penentuan transaksi itu sebagai TPPU. Untuk dikategorikan sebagai transaksi mencurigakan masih perlu diuji lagi, apakah benar sebagai transaksi yang berkaitan dengan tindakan pencucian uang.
Riri berpandangan pencucian uang tidak akan terjadi tanpa tindak kejahatan awal. Esensi dari pencucian uang selalu berkonotasi sebagai tindak kejahatan dan pencucian uang sebagai jalan suatu kejahatan persisten terus terjadi.
Sistem Pencegahan
Diperlukan sistem pencegahan dengan memonitoring transaksi mencurigakan. Hal ini sudah dilakukan perbankan. Ada juga kewajiban Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Sayangnya, kata Riri, LHKPN baru sebatas mekanisme transparansi, belum menjadi mekanisme akuntabilitas dimana ada proses penilaian kebenaran laporan.
"Kita juga berharap profesi-profesi lain, seperti akuntan, notaris, advokat, dan lainnya memiliki kewajiban untuk melaporkan transaksi mencurigakan yang melibatkan klien-klien mereka. Sayangnya, ada juga profesi yang belum masuk yang sebenarnya berkewajiban melaporkan transaksi mencurigakan, salah satunya adalah konsultan pajak," terangnya.
Riri mengakui Indonesia sudah memiliki UU No 8 Tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, Surat Edaran OJK Nomor 32-SEOJK.03-2017 tentang Penerapan Program APU PPT di Sektor Perbankan,Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 100/PMK.04/2018 dan no 81/PMK.04/2021 tentang penanganan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
"Sesungguhnya sudah ada usaha untuk mempersempit kesempatan tindak pencucian uang. Sayangnya belum sempurna terutama di tahapan pelaksanaan," jelasnya.
Dalam pengawasan ini banyak yang bisa terlibat. Seperti PPATK, Bank Indonesia, OJK, KPK, dan masyarakat. Kementerian Keuangan, kata Riri, berperan lebih pada pengawasan.
"Pengawasan prioritas kepada mereka yang memiliki jumlah kekayaan besar dan ada kenaikan harta signifikan. Berikutnya dengan melihat modus pencucian uang yang diduga dilakukan dan jika didapati bukti maka bisa dilakukan perluasan peran reporting entity," imbuhnya. (Z-3)