PERKUMPULAN untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut, pada awal 2023, banyak elite politik gaduh namun tidak memiliki politik gagasan.
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menerangkan kegaduhan para elite politik disebabkan adanya pemenuhan syarat dukungan pencalonan presiden.
"Elitis dan jauh dari orientasi gagasan," tegas Titi, saat menjadi pembicara dalam peluncuran buku 'Ritual Oligarki Menuju 2024' yang digelar LP3ES secara daring, dikutip Senin (30/1).
Baca juga: Soal Dana Kampanye Hitam, Bawaslu tak Boleh Tinggal Diam
Menurutnya, masa kampanye yang hanya 75 hari akan menyulitkan edukasi kepemiluan secara optimal. Tidak hanya itu, kata Titi, para elite politik pun sukar menghadirkan politik gagasan.
"Ingin masa kampanye pendek, tapi menghendaki sosialisasi pemilu pada masa tunggu," ujarnya.
"Hal itu sebagai upaya penghindaran pada akuntabilitas kampanye, terutama dana kampanye dan penegakan hukum yang berkeadilan," tambahnya.
Masa kampanye yang pendek dalam desain pemilu serentak, kata Titi, akan memicu pragmatisme caleg untuk melakukan jual-beli suara.
Menurut Titi, cara tersebut menjadi jalan pintas mendapat pemilih dan memenangkan suara mereka.
Titi menegaskan penyebaran hoaks pemilu pun menghantui pesta demokrasi pada 2024 mendatang. Bahkan jadi ancaman di tengah persaingan ketat dan ruang diskursus gagasan yang sempit bahkan nihil.
"Oknum curang pasti akan memanfaatkan segala cara untuk merebut dukungan dan suara pemilih," tegas Titi.
"Termasuk di antaranya dengan menyebarkan informasi hoaks yang bisa cepat memengaruhi pemilih, khususnya hal-hal yang berkaitan dengan aspek emosional, suku, agama hingga ras," pungkasnya. (OL-1)