BUPATI Kutai Kartanegara periode 2021-2026, Edi Damansyah, merasa dirugikan oleh berlakunya frasa “menjabat” dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Adapun UU Pilkada yang digugat, yakni Pasal 7 Ayat (2) huruf n berbunyi “belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota”.
Sidang pemeriksaan pendahuluan ini digelar pada Senin (16/1) yang diwakili oleh kuasa hukum penggugat, Muhammad Nursal. Pemohon secara faktual pernah “menjabat” sebagai Plt. Bupati Kutai Kartanegara pada 2016-2021, kemudian dilanjutkan sebagai Bupati Definitif pada 2016-2021. Setelah itu untuk periode 2021-2024, menjabat sebagai bupati yang terpilih melalui pemilihan langsung.
Nursal menilai hak konstitusional yang diberikan oleh UU dalam memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan tidak tegas. Hal itu lantaran terdapat keadaan kekaburan norma yang dapat menyebabkan terjadinya diskriminasi karena pemahaman dan pemaknaan yang berbeda.
Baca juga: Pemilu 2024 Harus Jaga Persatuan Bangsa
“Pemohon dirugikan oleh berlakunya undang-undang frasa “Menjabat” dalam UU a quo, kemudian frasa menjabat dalam pertimbangan putusan nomor 2 tahun 2009 menurut anggapan pemohon frasa menjabat dalam pertimbangan adalah frasa yang bias, kabur, tidak jelas dan bermakna ganda karena dapat dimaknai oleh gubernur, bupati definitif dapat dimaknai sebagai pelaksana tugas,” papar Nursal dalam sidang secara daring, Senin (16/1).
Menurutnya, pemohon tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan jika tidak dimaknai pembatasannya hanya untuk kepala daerah yang definitif. Dalam permohonnya, Nursal mengatakan, Pasal 7 Ayat (2) huruf n UU Pilkada dapat dimaknai bahwa Pemohon telah melalui masa jabatan Bupati selama dua periode berturut-turut, yakni dari 2016–2021 dan dari 2021–2026.
Berdasarkan UU Pilkada dapat dimaknai Pemohon telah terhitung selama satu periode pada tahap pertama (2016 – 2021) karena lebih dari 2,5 tahun menjabat sebagai Plt dan definitif sebagai Bupati (dihitung sekaligus 2 tahun, 10 bulan, 12 hari).
Kemudian pada tahap jabatan Bupati yang kedua (2021–2026/2024) juga telah terhitung satu periode, karena telah melalui masa jabatan 4 atau 5 tahun.
“Sehubungan dengan permohonan Pemohon dalam perkara ini, agar Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 untuk pembatasan masa jabatan kepala daerah selama 2 periode hanya berlaku pada pejabat kepala daerah defenitif, tidak berlaku pada jabatan kepala daerah Plt; apakah menyimpang atau bertentangan dari prinsip dan tujuan pemilihan oleh rakyat yang berdasarkan pada asas demokrasi?,” terangnya.
Baca juga: Sistem Proporsional Terbuka, MK Siap Jaga Independensi
“Pada kenyataan tidak demikian, karena fungsi pembatasan dimaksud tetap hadir dan dapat dilaksanakan, meskipun hanya pada jabatan defenitif,” sambung Nursal.
Ambigunya frasa tersebut, kata Nursal, berpotensi akan tercipta pejabat kepala daerah seumur hidup, ataupun prinsip demokrasi menjadi pemerintahan yang berdasarkan pewarisan (keturunan), dikarenakan untuk jabatan Plt.
Kepala daerah pun dapat dilakukan pembatasan untuk jabatan yang sama sebagai wakil kepala daerah dalam ihwal hendak mendaftar lagi sebagai calon wakil kepala daerah.
Nursal pun meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan dan menyatakan bahwa Pasal 7 Ayat (2) huruf n Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan UUD 1945.
Baca juga: MAKI Ajak Masyarakat Gugat UU PPSK ke MK
Menurutnya, Pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang kata “menjabat” dinyatakan hanya berlaku untuk yang menjabat sebagai Bupati definitif dan tidak termasuk untuk yang menjabat sebagai Plt. Bupati.
Menanggapi permohonan dari pemohon, Hakim Konstitusi Saldi mengatakan pemohon perlu menjelaskan perbedaan antara pejabat kepala daerah dengan pelaksana tugas.
“Sama tidak pejabat kepala daerah dengan pelaksana tugas? Nah itu yang harus saudara uraikan, sama tidak dengan istilah-istilah lain itu seperti pejabat sementara dan segala macamnya diuraikan, kalau anda tidak menguraikan ini akan menjadi sulit bagi kami untuk kemudian melihat pertentangannya dengan konstitusi,” ujar Saldi.
Selain itu, Saldi juga meminta pemohon untuk menyederhanakan permohonan pemohon. “Sederhanakan kembali permohonan ini yang paling penting adalah bagaimana kami bisa mengerti dengan apa yang saudara inginkan. Jadi tidak usah menguraikannya terlalu panjang juga,” tegasnya.(OL-11)