05 January 2023, 13:15 WIB

Hampir Tujuh Bulan, Tersangka Korupsi Satelit Kemenhan belum Ditahan


Tri Subarkah |

PENYIDIK koneksitas di bawah koordinasi Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (JAM-Pidmil) telah menetapkan tiga orang tersangka dalam dugaan korupsi pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur pada Kementerian Pertahanan (Kemenhan)  pada 2012 sampai 2021 sejak pertengahan Juni 2022. Namun, para tersangka belum ditahan sampai saat ini.

Ketiganya adalah Laksamana Muda (Purn) Agus Purwoto selaku mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kemenhan periode Desember 2013- Agustus 2016, Direktur Utama PT Dini Nusa Kusuma (DNK) Surya Cipta Witoelar, dan Komisaris Utama PT DNK Arifin Wiguna.

Pada 16 Desember 2022, penyidik koneksitas kembali menambah satu tersangka dalam perkara tersebut, yakni warga negara Amerika Serikat bernama Thomas van der Heyden. Seperti tiga tersangka sebelumnya, Thomas juga tidak ditahan.

JAM-Pidmil Anwar Saadi menegaskan kewenangan penahanan para tersangka ada di pihaknya. Pertimbangan belum dilakukannya penahanan karena para tersangka juga harus bertanggung jawab pada penyelesaian arbitrase yang sedang bergulir.

"Yang kita lihat bukan soal menahan orang, tapi perkaranya selesai, terutama pengembalian kerugian negara. Dalam konteks akibat dari adanya tuntutan arbitrase itu, mereka, para tersangka, harus ikut tanggung jawab," kata Anwar saat ditemui di Jakarta, Kamis (5/1).

Selain itu, pihaknya juga memastikan bahwa empat tersangka pengadaan Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) tidak melarikan diri. JAM-Pidmil telah bekerja sama dengan Jaksa Agung Muda Intelijen (JAM-Intel) untuk mencekal (cegah tangkal) para tersangka kabur dari Indonesia.

"Dan mereka wajib lapor. Kalau enggak lapor, kami ambil. Penasihat hukum juga sudah kita wanti-wanti," sambung Anwar.

Dugaan korupsi yang saat ini didalami penyidik koneksitas JAM-Pidmil berfokus pada dugaan rasuah sewa satelit Artemis milik perusahaan Avanti. Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) per 12 Agustus 2022, pengadaan itu merugikan negara sebesar Rp453,094 miliar.

Pada 2019 lalu, Avanti menggugat Indonesia melalui Pengadilan Arbitrase Internasional di London, Inggris. Pengadilan itu menjatuhkan putusan yang membuat negara telah mengeluarkan pembayaran sebesar Rp515 miliar.

Selain itu, gugatan juga datang dari Navayo lewat Pengadilan Arbitrase Singapore International Chamber of Commerce. Hasilnya pada 22 Mei 2021, pengadilan tersebut menjatuhkan putusan bahwa Kemhan harus membayar US$20,901 juta kepada Navayo.

Saat ini, Kemenhan melalui pengacara negara pada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (JAM-Datun) melakukan gugatan terhadap putusan pengadilan arbitrase Singapura tersebut melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (P-2)

BERITA TERKAIT