01 November 2022, 15:08 WIB

Menteri 'Nyapres' Tak Perlu Mundur Bakal Menyulitkan Presiden


Indriyani Astuti |

ANGGOTA Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Saan Mustopa mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai menteri yang tidak harus mengundurkan diri ketika mencalonkan sebagai presiden pada pemilihan umum (pemilu), berpotensi menyulitkan presiden.

Selain itu, menurut Saan putusan MK juga akan berdampak luas antara lain terganggungnya kerja pemerintahan, potensi penyalahgunaan kewenangan, dan penggunaan fasilitas negara.

“Kita menghargai dan menghormati apa yang sudah diputuskan oleh MK. Mungkin MK punya pertimbangan dan sifat putusannya final dan mengikat. Saya sendiri menyayangkan Putusan MK. Ketika menteri mundur dan hanya cuti tergantung presiden mengizinkan atau tidak itu tentu membuat dilema presiden. Di satu sisi presiden harus menghormati hak seseorang mencalonkan diri, di satu sisi presiden menyadari apabila menteri mundur kinerja di pemerintahan akan terganggu,” ujar Saan ketika dihubungi, Selasa (1/11)

MK pada putusan perkara nomor 68/PUU-XX/2022 yang diajukan Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda) menyatakan frase 'pejabat negara' dalam pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 2017 mewajibkan pejabat negara mengundurkan diri dari jabatannya saat mencalonkan diri sebagai presiden. Pengecualian diberikan kepada presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota dan menteri. MK menambahkan menteri atau pejabat setingkat menteri hanya mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari presiden.

Saan menambahkan jabatan menteri berbeda dengan kepala daerah. Kepala daerah tidak harus mundur saat mencalonkan diri kembali dan hanya cukup mengajukan cuti untuk kampanye di daerah yang menjadi fokus pemilihannya. Namun, sambung Saan, apabila menteri mencalonkan diri sebagai presiden, lingkup wilayah dia melakukan kampanye lebih luas, tidak cukup hanya dengan cuti.

Baca juga: Hari Ini, Haris dan Fatia Diperiksa dalam Kasus Pencemaran Nama Baik Luhut

“Menteri akan lebih fokus pada pemenangan di pemilu, berbeda dengan kepala daerah yang tidak harus mundur ketika maju mencalonkan diri kembali, wilayahnya kecil. Sedangkan pemilu presiden berskala nasional. Bagaimana dengan 34 provinsi dan 500 lebih kabupaten/kota, medannya luas. Banyak konsekuensi dari sisi apapun. Ketika seorang menteri maju sebagai calon presiden, pasti dia ingin menang. Dia akan maksimal dengan waktu yang lama. Tidak mungkin hanya kampanye satu minggu cuti. Membutuhkan waktu dan tidak hanya pada saat mendaftarkan diri di KPU,” paparnya.

Saan menilai meskipun keputusan pemberian izin pada menteri merupakan kewenangan presiden, ia berpendapat lebih baik presiden tegas mengganti menteri – menteri yang mencalonkan diri pada pemilihan presiden (pilpres).

“Direshuffle saja menterinya. Kalau pertimbangan MK tidak harus mundur, tetapi seizin presiden, presiden tegas saja siapa menteri yang maju di pilpres harus diberhentikan bukan memberikan izin cuti. Menurut saya itu jauh lebih bagus,” tukasnya. (OL-4)

BERITA TERKAIT