KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK)
bisa cepat mengusut kasus suap dan gratifikasi terkait izin usaha pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu karena proses aliran uang melalui transfer.
"Perkara ini bukti itu cepat didapatkan karena kita mendapatkan ada aliran-aliran uang yang kebetulan lewat transfer," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (28/7)
Alex mengatakan pihaknya tinggal memanggil sejumlah saksi untuk mengonfirmasi aliran dana transfer itu. Salah satu saksi yakni adik dari pemberi suap Henry Soetio.
"Diakui ada beberapa kali pemberian baik secara tunai maupun transfer. Disertai pula dengan bukti transfer itu," jelasnya.
Selain itu, sambung Alex, KPK bisa mengusut cepat kasus itu karena sudah mendalami aktivitas perusahaan yang terkait dengan kasus tersebut. Setelah semuanya dinilai memenuhi unsur pidana, penyidik KPK langsung melakukan ekspose untuk melakukan tindakan paksa.
"Kalau perkara suap sebenarnya, apalagi kalau diberikan lewat transfer, itu bisa sangat cepat karena bukti-buktinya itu mudah ditelusuri. Ada istilahnya jejak auditnya. Itu bisa ditelusuri," jelasnya.
Mardani diduga menyelewengkan kekuasaannya dalam pemberian izin usaha pertambangan di Kabupaten Tanah Bumbu. Bendahara Umum PBNU itu diduga memberikan karpet merah untuk mempercepat proses peralihan izin usaha pertambangan PT Bangun Karya Pratama Lestari dan PT Prolindo Cipta Nusantara.
Sejumlah dokumen tanpa kelengkapan administrasi dikeluarkan Mardani untuk mempercepat proses peralihan tersebut. Peralihan itu diyakini melanggar ketentuan Pasal 93 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Beleid itu menyebut pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain.
KPK juga meyakini Mardani meminta Hendry untuk mengurus izin pelabuhan untuk menunjang aktivitas operasional pertambangan. Usaha pertambangan itu juga diyakini telah dimonopoli PT Angsana Terminal Utama (ATU) yang juga milik Mardani.
Mardani juga diyakini sudah berkali-kali menerima duit dari Hendry dalam kurun waktu 2014 sampai 2020. Beberapa duit yang diterima diambil oleh orang kepercayaannya atau masuk dari perusahaan Mardani. Totalnya mencapai Rp104,3 miliar.
Dalam kasus ini, Mardani disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. (OL-8)