BRIPTU Andreas telah dihukum dengan diberhentikan dengan tidak hormat. Sedangkan Bripda RPH yang menjadi selingkuhannya dijatuhi sanksi demosi dalam sidang kode etik.
Penjatuhan hukuman, menurut pengamat kepolisian Reza Indragiri Amriel, apalagi berupa pemberhentian tidak dengan hormat, dapat dinilai sebagai bentuk sanksi yang tepat. Alasannya, riset menemukan, pelaku perselingkuhan--tak terkecuali polisi--punya tendensi dua kali lebih tinggi untuk juga melakukan professional misconduct lainnya di tempat kerjanya.
"Jadi, pemecatan terhadap polisi yang berselingkuh diharapkan bisa lebih membersihkan organisasi," ujar Reza, dalam pesan whatsapp kepada mediaindonesia.com, Rabu (25/5).
Hasil studi itu bikin waswas karena, lewat riset lain, diketahui bahwa tingkat perceraian dalam lingkungan kepolisian lebih tinggi daripada perceraian di kalangan masyarakat sipil. Jadi, institusi kepolisian berhadapan dengan risiko tinggi bagi terjadinya berbagai penyimpangan. Spesifik, penyimpangan akibat ulah polisi yang menyeleweng.
"Tapi setidaknya simpulan itu bermanfaat. Yakni, profesionalisme kerja personel polisi bisa diramal berdasarkan kualitas perkawinan mereka," ungkap Reza.
Dalam kasus ini, jelas pakar psikologi forensik ini, ada persoalan lain: mengapa--dalam perselingkuhan sesama polisi itu--polisi lelaki dikenai hukuman lebih berat daripada polisi wanita (Polwan). Padahal, ketika kesetaraan gender dikampanyekan di mana-mana, semestinya pelaku perselingkuhan--baik perempuan maupun lelaki--diganjar dengan hukuman yang sama.
"Persepsi umum bahwa lelaki yang main gila adalah lebih bersalah daripada perempuan pezina merupakan sikap diskriminasi gender yang seharusnya dielakkan," tegas Reza. (OL-13)
Baca Juga: Polda Metro Jaya Pecat Anggotanya yang Terlibat Perselingkuhan