26 April 2022, 17:24 WIB

DPD dan Yusril Gugat Ambang Batas Pencalonan Presiden ke MK


Indriyani Astuti |

PIMPINAN Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menguji ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Aa Lanyalla M. Mattalitti, Nono Sampono, Mahyudin, Sultan Baktiar Najamudin yang merupakan pimpinan DPD RI menjadi pemohon perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 tersebut.

Tak hanya pimpinan DPD, Partai Bulan Bintang (PBB) yang diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra selaku Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) dan Afriansyah Noor selaku Sekretaris Jenderal PBB tercatat sebagai pemohon II dalam perkara tersebut. Para pemohon menilai Pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945

Denny Indrayana selaku kuasa hukum para pemohon menyebutkan, meski permohonan atas uji ketentuan presidential threshold telah berkali-kali diajukan dan dinyatakan ditolak atau tidak diterima oleh MK, pihaknya berkeyakinan permohonan ini memiliki alasan berbeda dari permohonan sebelumnya. Denny menyebutkan bahwa pemohon I sebagai lembaga negara yang memiliki tugas dan tanggung jawab melindungi kepentingan daerah dan para anggotanya menilai pasal a quo yang mengatur ketentuan presidential threshold 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional menghalangi hak serta kewajiban pemohon I untuk memajukan dan memperjuangkan kesetaraan putra putri daerah dalam mencalonkan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden. Kehadiran ketentuan ini, sambungnya, hanya memberikan akses khusus kepada elite politik yang memiliki kekuatan tanpa menimbang kematangan kualitas dan kapabilitas serta keahlian setiap individu.

Terkait dengan pemohon II yang merupakan peserta Pemilu 2019 menilai pemberlakuan Pasal 222 UU Pemilu menghilangkan probabilitas partai politik untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden secara mandiri. Akibatnya, memunculkan fenomena yang menempatkan pemodal sebagai pihak yang paling berdaulat di Indonesia dan bukan lagi rakyat.

"Dengan melemahnya peran oligarki dalam kontestasi pemilu berimplementasi pada menguatnya pelaksanaan pemerintahan yang benar-benar dijalankan unutk kepentingan rakyat. Dengan demikian, kedaulatan rakyat akan lebih berpeluang untuk berdiri tegak di Indonesia," jelas Denny pada sidang yang digelar di Ruang Sidang Panel MK dengan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Wakil Ketua MK Aswanto serta Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Daniel Yusmic P Foekh.

Untuk itu, dalam petitumnya, para pemohon meminta agar mahkamah mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. "Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," tandas Denny.

Nasihat hakim

Terhadap permohonan itu, Hakim Konstitusi Daniel memberikan nasihat agar para pemohon menambahkan alasan permohonan yang perlu dielaborasi sehubungan dengan kerugian konstitusional dari masing-masing pemohon. Kemudian Daniel meminta agar para pemohon dapat memberikan argumentasi tentang Pasal 222 UU Pemilu perlu diujikan kembali ke MK, mengingat telah ada permohonan dan putusan sebelumnya.

"Berikutnya, legal standing pemohon I pada bagian lampiran, hal yang dicantumkan merupakan berita. Ini mungkin bisa dilengkapi dengan hasil rapat paripurna sehingga dapat dijadikan dokumen tambahan untuk bukti karena dalam hal ini pemohon I mewakili kelembagaan sehingga sangat mungkin mencantumkan bukti itu," jelas Daniel.

Wakil Ketua MK Aswanto dalam nasihatnya mengatakan agar para pemohon mempertimbangkan nebis en idem dalam pengecualian permohonan ini. Diharapkan para pemohon dapat menjabarkan perbedaan argumentasi konstitusionalnya. Ini juga harus dilakukan sesuai dengan format pada pengajuan permohonan ke MK. (OL-14)

BERITA TERKAIT