PILIHAN terhadap tokoh atau sosok lebih tinggi daripada gambar atau bendera partai politik.
Hal itu tergambar pada survei terbaru The Republic Institute yang dirilis, Minggu (2/1) bahwa ada penurunan pilihan masyarakat terhadap bendera atau gambar partai politik dan peningkatan pilihan terhadap aktor politik atau yang biasa disebut calon legislatif (caleg).
Peneliti The Republic Institute Sufyanto mengatakan dari 9 partai politik yang lolos ke parlemen pada pemilihan umum 2019, responden yang memilih gambar partai sangat kecil hanya direntang 13 % sampai 29% saja.
"Hasil survei menggambarkan peran partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi semakin rapuh," ujarnya melalui diskusi webinar "Catatan Awal Tahun 2022", Minggu (2/1).
Sufy memaparkan pada pemilu 2019, pilihan pada gambar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebesar 26,29% dan Calon Legislatif (Caleg) (73,71%), lalu untuk partai Gerindra memilih gambar partai 29,46% dan Caleg (70,54%), PDIP memilih gambar partai 26,57% dan Caleg 73,43%), Golkar (19,66% untuk gambar) dan Caleg 80,34%.
Sementara itu, NasDem (Gambar Partai 13,59% dan Caleg 86,41%), PKS (Gambar Partai 28,18% dan Caleg 73,82%), PPP (Gambar Partai 23,92% dan Caleg 76,08%), PAN (Gambar Partai 17,22% dan Caleg 82,76%), dan Demokrat (Gambar Partai 20,70% dan Caleg 79,30%).
Ia menjelaskan hasil survei yang dilakukan pada 11-21 Desember 2021 dengan melibatkan 1225 responden, menunjukkan tren itu kian menurun.
Pilihan masyarakat terhadap bendera atau simbol partai menurun 2,51% 7,91% jika dibandingkan pemilu 2019. Hanya ada 1 partai politik yang pilihan gambar partainya naik 1,23% saja yakni NasDem.
Sebagaimana data riset untuk PKB: Gambar partai 22,78%; Caleg 58,91%; belum menentukan 18,31%, Gerindra: Gambar Partai 24,54%; Caleg 57,74%; belum menentukan 17,72% PDIP: Gambar Partai 22,56%; Caleg 58,63%; belum menentukan18,81%, Golkar: Gambar Partai 16,18%: Caleg 65,54%; belum menentukan 18,28%,
Sementara itu, NasDem: Gambar Partai 14,80%; Caleg 71,61%; belum menentukan 13,58, PKS:Gambar Partai 18,27%; Caleg 59,02%; belum menentukan 22,71%, PPP: Gambar Partai 17,02%; Caleg 61,28%; belum menentukan 21,70%, PAN: Gambar Partai 14,71%; Caleg 67,98%; belum menentukan 17,31%, dan Demokrat: Gambar Partai 17,96%; Caleg 64,50%; belum menentukan 17,54.
Survei, terang Sufy, mempunyai margin of error sebesar 2,38% dan wawancara survei dilakukan melalui telefon.
Dari hasil survei tersebut, Sufy menuturkan dengan melemahnya instutusi partai politik, pengurus di pusat harus melibatkan tokoh lokal dalam penentuan kandidat calon legislatif yang diusung.
Tokoh lokal, ujarnya, umumnya menguasai daerah pemilihan sehingga partai bisa mendapatkan suara."Kalau tidak bisa akan kehilangan suara. Ini catatan bagi partai politik," ucap dia.
Adapun penyebab pergeseran pilihan tersebut, menurut Sufy antara lain dilatarbelakangi oleh perubahan kebiasaan masyarakat untuk memperoleh informasi politik dari media konvensional ke media baru yaitu media sosial.
Kini, ujar dia, masyarakat lebih mudah mendapatkan akses informasi tentang aktor politik yang sedang berkontestasi sebagai calon anggota legislatif (Caleg), dibanding dengan informasi institusi partai politik sebagai peserta pemilu.
Selain itu, faktor lain yang mempengaruhi ialah kualitas calon dan imbalan. Ketokohan/kepribadian 24,3%, kualitas calon 18,4%, imbalan materi 16,4%, program yang ditawarkan 8,5%, isu yang diangkat 7%, fatwa ulama 6,6%, kesamaan agama 5%, kesamaan parpol 1,8%, ikut keluarga 1,6%, kesamaan ormas 1,5%, kesukuan 1,5%, ikut teman 1,3%, selebihnya 8,8% tidak menjawab.
Lembaganya, terang Sufy, mendalami berapa besar imbalan mempengaruhi pilihan masyarakat. Hasilnya, 71% responden menjawab perlu adanya imbalan dari calon legislatif. Hanya 13,3% yang menjawab tidak perlu imbalan dan 15,7% menjawab belum tahu.
"Publik memandang imbalan seperti pertukaran politik dari suara yang dimiliki mereka," ucap Sufy.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof. Muhammad sepakat bahwa fungsi partai politik hanya bergairah ketika melakukan rekrutmen kader saja. Sementara, fungsi lain seperti pendidikan politik tidak.
"Temuan ini semakin menguatkan fungsi partai melemah sebagai pilar demokrasi," ucap dia.
Ia mengatakan akan lebih baik apabila partai politik tidak hanya mengandalkan tokoh. Tetapi juga membangun sistem yang kuat. Sehingga siapapun yang memimpin partai tersebut, imbuhnya, patai tetap berfungsi baik. (Ind/OL-09)